Selasa, 13 Oktober 2009

DAFTAR DOSEN STKIP-PK SINTANG

solagracia-mardhawani-civic
DAFTAR DOSEN STKIP-PK SINTANG YANG SEDANG TUGAS BELAJAR DI UNIVESITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG
TAHUN ANGKATAN 2007/2008 DAN 2008/2009

Angkatan 2007/2008
NO NAMA SPESIFIKASI
1 Debora Kroningtyas, S.Pd Pendidikan Bahasa Indonesia
2 Florentina Esti R, S.Si Pendidikan IPA Biologi
3 Herimaturida, S.Pd Pendidikan IPS Umum
4 Kardius Rici H, S.Pd Pendidikan IPS Ekonomi
5 Yakobus Bustami, S.Si Pendidikan IPA Biologi
JUMLAH 5


Angkatan 2008/2009
NO NAMA SPESIFIKASI
1 Benediktus Ege, S.Pd Pendidikan IPA Biologi
2 Desi Triana R, S.Pd Pendidikan IPS Ekonomi
3 Eliana Yunita S, S.Pd Pendidikan Dasar IPS
4 Hilarius Jago D, S.Si Pendidikan IPA Biologi
5 Mardawani, S.Pd Pendidikan Kewarganegaraan
JUMLAH 5

Jumat, 25 September 2009

STKIP-PD Sintang: Tetap Berharap Saat Anda Terluka

solagracia-mardhawani-civic

TETAP BERHARAP SAAT ANDA TERLUKA

Ada kalanya kita pernah mengalamikekecewaan pada saat kita sedang mengalami masa-masa sulit karena sepertinya tidak ada jawaban doa kita. Namun janganlah biarkan luka hati anda membuat anda berhenti berharap. Ada sepuluh alasan mengapa kita harus tetap berharap pada Tuhan:

Tuhan benar-benar memegang kendali
Tuhan adalah Tuhan, maka tidak ada kejadian yang terlepas dari pengetahuan dan izin Tuhan. Ketika sukar untuk membayangkan mengapa Tuhan membiarkan beberapa hal yang menyakitkan terjadi, karakter-Nya ditampakkan dalam Alkitab dan melalui ujian dari berbagai generasi membawa kita pada kesimpulan bahwa Tuhan dapat dan bersedia untuk menopang anda selama waktu-waktu yang paling buruk sekalipun. “Bahkan kami merasa, seolah-olah kami telah dijatuhi hukuman mati. Tetapi hal itu terjadi, supaya kami jangan menaruh kepercayaan pada diri kami sendiri, tetapi hanya kepada Allah yang membangkitkan orang-orang mati.”
(2 Korintus 1:9).

Ada kehidupan kekal yang datang
”Sebab aku yakin bahwa penderitaan zaman sekaang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita”. (Roma 8:18). ” ia juga akan meneguhkan kamu sampai kepada kesudahannya, sehingga kamu tak bercacat pada hari Tuhan kita Yesus Kristus” (1 Korintus 1:8).

Kisah hidup belum berakhir
Waktu demi waktu, Alkitab merekam situasi tanpa harapan yang pada akhirnya berakhir dalam suatu kemenangan. Pikirkan tentang sakitnya Ayub, penghianatan Yusuf oleh saudara-saudaranya, perzinahan Daud dan banyak lagi yang disembuhkan dipikiran, tubuh dan roh. Kitab Kejadian 50:19-20 mengisahkan tentang cerita Yusuf: tetapi Yusuf berkata kepada mereka “janganlah takut, sebab aku inilah pengganti Allah? Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakanya untuk kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar”.

Tuhan sendiri tidak menyerah untuk andaJangan menyerah mengikuti Tuhan sebab Dia mempunyai rencana yang baik bagi setiap kita. “sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepada mu hari depan yang penuh harapan”. (Yeremia 29:11).

Ada tujuan dalam rasa sakitMintalah Tuhan untuk menyatakan maksud-Nya ketika anda diijinkan melewati kesulitan dalam hidup. Itu adalah pertanyaan masuk akal yang bisa diajukan. Seringkali, jawaban datang dalam proses ketika anda berurusan dengan keadaan sekeliling anda. “Saudara-saudaraku, anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh kedalam berbagai-bagai pencobaan, sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan. Dan biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apapun”. (Yakobus1:2-4).

Anda dicintai
Bahkan orang yang paling tidak dikasihi di dunia ini sesungguhnya amat dikasihi oleh Tuhan. Itulah sebabnya Allah membiarkan putra Tunggal-Nya mati dengan mengerikan untuk memperbaiki hubungan manusia dan Tuhan. Tuhan begitu mengasihi anda. Dia melihat rasa sakit anda dan Ia menangis bagi anda. “Roh Tuhan Allah ada padaku, oleh karena Tuhan telah mengurapi aku; Ia telah mengutus aku untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang sengsara, dan merawat orang-orang yang remuk hati, untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan kepada orang-orang yang terkurung kelepasan dari penjara, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan dan hari pembalasan Allah kita, untuk menghibur semua orang berkabung, untuk mengaruniakan kepada mereka perhiasan kepala ganti abu, minyak untuk pesta ganti kain kabung, nyanyian puji-pujian ganti se,mangat yang pudar, supaya orang menyebutkan mereka “pohon terbatin kebenaran”, “tanaman Tuhan” untuk memperlihatkan keagungan-Nya.” (Yesaya 61:1-3).

Doa anda Tuhan dengar“Adakah seorang dari padamu yang memberikan batu kepada anaknya, jika ia meminta roti, atau memberikan ular, jia iameminta ikan? Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang disorga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya.” (Matius 7:9-10).

Anda tidak menghadapi semua sendirian
“Karena Allah telah berfirman: “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau.” sebab itu dengan yakin kita dapat berkata: ”Tuhan adalah penolongku. Aku tidak akan takut. Apakah yang dapat dilakukan manusia terhadap aku?” (Ibrani 13:5b-6)

Orang lain telah melaluinya-anda juga tentu bisa
Cobalah untuk menghubungkannya dengan orang lain yang telah melalui situasi yang serupa. Anda akan menemukan harapan, kekuatan dan semanagat. Dan bilamana seorang dapat dikalahkan, dua orang akan dapat bertahan. Tali tiga lembar tak mudah diputuskan. (Pengkhotbah 4:12).

Jangkau orang lain yang juga tengah berjuang
Letakkan focus anda pada orang lain dan investasikan hidup anda untuk dirinya. Anda mungkin menemukan bahwa kedamaian pikiran anda menjadi sumber pengharapakan untuk dirinya. ”Terpujilah Allah, Bapa Tuhan kita Yesus Kristu, Bapa yang penuh belas kasihan dan Allah sumber segala penghiburan, yang menghibur kami dalam segala penderitaan kami, sehingga kami sanggup menghibur mereka, yang berada dalam bermacam-macam penderitaan dengan penghiburan yang kami terima sendiri dari Allah.” (2 Korintus 1:3-4).

Dikutip Dari: Berita Singkat GBI Setiabudhi Bandung
Tahun ke-6/Edisi No. 38/20 September 2009

Kamis, 10 September 2009

Membangun Jiwa Profesionalisme Calon Guru Dalam Menghadapi Tantangan Zaman

solagracia-mardhawani-civic
MEMBANGUN JIWA PROFESIONALISME DIRI CALON GURU DALAM MENGHADAPI TANTANGAN ZAMAN Oleh: Mardawani S. Pd

Abad 21 sebagai abad postmodern menuntut setiap orang untuk memiliki kompetensi atau kemampuan profesional pada bidangnya masing-masing, tidak terkecuali kita selaku calon guru atau guru pada umumnya. Bahkan para ahli mengatakan abad 21 sebagai abad pengetahuan karena pengetahuan akan menjadi landasan utama segala aspek kehidupan manusia. (Lihat:Trilling dan Hood, 1999). Abad pengetahuan merupakan suatu era dengan tuntutan yang lebih rumit dan menantang. Suatu era dengan spesifikasi tertentu yang sangat besar dampaknya terhadap dunia pendidikan dan lapangan kerja. Perubahan-perubahan yang terjadi selain karena perkembangan teknologi yang sangat pesat, juga diakibatkan oleh perkembangan yang luar biasa dalam ilmu pengetahuan, psikologi, dan transformasi nilai-nilai budaya. Dampaknya adalah perubahan cara pandang manusia terhadap manusia, cara pandang terhadap pendidikan, perubahan peran orang tua/guru/dosen dan masyarakat, serta perubahan pola hubungan antar mereka. Lebih lanjut, dikemukakan bahwa perhatian utama pendidikan di abad 21 adalah untuk mempersiapkan manusia yang berkompetensi dan berdaya saing untuk hidup dan kerja bagi masyarakat. Tantangan abad ini mau tidak mau akan memaksa kita untuk senantiasa mengembangkan diri untuk mampu mengimbangi arus globalisasi tersebut. Dengan perkataan lain tuntutan profesionalisme seseorang sangat diperlukan di era sekarang.
Menurut para ahli, profesionalisme menekankan kepada penguasaan ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya. Maister (1997) mengemukakan bahwa profesionalisme bukan sekadar pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih merupakan sikap, pengembangan profesionalisme lebih dari seorang teknisi bukan hanya memiliki keterampilan yang tinggi tetapi memiliki suatu tingkah laku yang dipersyaratkan layaknya seorang pekerja profesional.
Dalam abad 21 ini tuntutan kemajuan semakin tinggi tingkatanya, persoalan kehidupan masyarakat semakin kompleks. Pengembangan profesionalisme guru menjadi perhatian secara global, karena guru memiliki tugas dan peran bukan hanya memberikan informasi-informasi ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan juga membentuk sikap dan jiwa yang mampu bertahan dalam era hiperkompetisi. Tugas guru adalah membantu peserta didik agar mampu melakukan adaptasi terhadap berbagai tantangan kehidupan serta desakan yang berkembang dalam dirinya. Pemberdayaan peserta didik ini meliputi aspek-aspek kepribadian terutama aspek intelektual, sosial, emosional, dan spiritual. Tugas mulia itu menjadi berat karena bukan saja guru harus mempersiapkan generasi muda memasuki abad pengetahuan, melainkan harus mempersiapkan diri agar tetap eksis, baik sebagai individu maupun sebagai profesional. Terlebih bagi guru Pendidikan Kewarganegaraan, saat ini tantangan kita cukup berat sesuai dengan motto utama Pendidikan Kewarganegaraan membentuk insan indonesia ”Smart and Good Citizens” tidak mudah kita wujudkan tanpa kemampuan profesionalisme yang memadai. Tujuan civic education adalah partisipasi yang bermutu dan bertanggung jawab dalam kehidupan moral sosial politik dan masyarakat baik ditingkat lokal, maupun nasional. Hasilnya adalah dalam masyarakat demokratis kemungkinan mengadakan perubahan sosial akan selalu ada, jika warga negaranya mempunyai pengetahuan, kemampuan dan kemauan untuk mewujudkannya. Partisipasi warga negara dalam masyarakat demokratis, harus didasarkan pada pengetahuan, refleksi kritis dan pemahaman serta penerimaan akan hak-hak dan tanggung jawab. Partisipasi semacam itu memerlukan (1) penguasaan terhadap pengetahuan dan pemahaman tertentu, (2) pengembangan kemampuan intelektual dan partisipatoris, (3) pengembangan karakter atau sikap mental tertentu, dan (4) komitmen yang benar terhadap nilai dan prisip fundamental demokrasi. Dalam civic education juga didalamnya mengembangkan tiga komponen utama yang harus dimiliki oleh warga negara, yakni: pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge); kecakapan kewarganegaraan (civic skills); dan watak-watak kewarganegaraan (civic dispositions).
Tanggungjawab guru untuk membentuk warga negara yang baik adalah cikal bakal lahirnya generasi yang mampu menghadapi tantangan zaman. Untuk itu jelas disini bahwa guru dituntut memiliki kemampuan profesionalisme. Tanggung jawab membentuk warga negara yang baik sebenarnya bukan hanya beban guru PKn, tetapi merupakan tanggung jawab semua komponen bangsa Indonesia.
Bila kita menilik kembali berkaitan dengan hal tersebut profesionalisme bukan sesuatu yang datang dan terbentuk dengan sendirinya. Prefesionalisme muncul lewat proses yang tidak mudah, sesorang tidak akan mungkin menjadi seorang pendidik yang profesional apabila ia tidak pernah memupuk dirinya sebagai pribadi yang berkualitas sejak dini. Membentuk diri menjadi sesorang yang profesional membutuhkan kreativitas diri terhadap berbagai kegiatan hingga menjadi mahasiswa/i plus sejak dibangku kuliah. Di masa mahasiswa kita dapat mulai memupuk diri agar kelak menjadi seorang yang profesional. Menjadi mahasiswa/i plus yang dapat memanajemen diri dengan baik adalah suatu hal yang mudah kedengarannya, tetapi tidak semua orang dapat melaksanakannya. Setidaknya dari pengalaman orang-orang yang sukses menjadi guru yang profesional, saya menyimpulkan ada beberapa hal yang perlu dimanajemen dengan baik oleh seorang calon guru untuk sukses, antara lain adalah sebagai berikut :
1.Waktu ; manajemen waktu sangat penting untuk diperhatikan bila mana kita dihadapkan dengan keterbatasan waktu, dibangku kuliah waktu tatap muka sangat terbatas sekali yang berarti cukup banyak waktu luang. Justru waktu itulah yang menentukan keberhasilan seorang mahasiswa/i. Karena tidak sedikit orang yang salah memanfaatkan waktu yang semestinya dimanfaatkan secara efektif untuk menyelesaikan tugas-tugas, menambah ilmu, atau kegiatan-kegiatan lainnya yang dapat menambah keterampilan dirinya malahan terbuang begitu saja. Disinilah manajemen diri sangat diperlukan.
2.Pengeluaran ; manajemen pengeluaran berkaitan dengan bagaimana kita dapat mengatur keuangan yang tersedia, sebab alokasi uang yang sudah ditentukan akan memperlancar proses kegiatan seorang mahasiswa/i. Apabila keuangan yang dimiliki tidak tersedia mencukupi tidak masalah apabila seorang mahasiswa mencari tambahan sumber dana asalkan tidak menganggu tugas utama untuk belajar, misalnya menjadi guru les, menulis artikel di koran atau majalah, mencari pekerjaan paroh waktu, dan sebagainya.
3.Pergaulan ; manajemen pergaulan adalah penting, apalagi hampir 85% mahasiswa berada di kota lain untuk melanjutkan study. Tidak jarang seorang mahasiswa gagal membangun pergaulan yang baik, misalnya jatuh pada pergaulan bebas, obat-obatan terlarang, atau hanya menghabiskan waktu untuk pergaulan dan mengabaikan tugas utama sebagai mahasiswa. Ini jelas tidak akan terjadi jika kita memiliki manajemen pergaulan yang benar. Bahkan sebenarnya pergaulan itu cukup membantu kesuksesan seseorang jika dimanajemen dengan baik. Dunia kampus memang penuh warna, para mahasiswanya datang dari berbagai penjuru lndonesia, dengan latar belakang keluarga dan budaya yang berbeda. Ada yang baik tentunya ada juga yang buruk. Oleh karena itu, diperlukan strategi dalam memilih dan memilah kawan dekat.
4.Perilaku ; manajemen perilaku ini sangat diperlukan oleh seorang mahasiswa terutama mahasiswa Pkn, tantangan menjadi guru pendidikan moral adalah tanggungjawab yang mencakup sikap dan perilaku. Tidak hanya penguasaan ilmu dan pengetahuan secara teoritis, profesionalisme guru moral juga ditentukan oleh sikap dan perilaku yang mencerminkan moral pribadinya. Tidak sedikit calon guru pendidikan moral sendiri gagal dalam menampilkan perilaku yang baik di tengah kehidupannya di masyarakat.
Selain itu, banyak kegiatan yang yang dapat diikuti sebagai ajang membentuk diri menjadi seorang pribadi profesional. Misalnya isi diri dengan ilmu, iman, dan keterampilan. Yang kemudian saya jabarkan menjadi sebagai berikut:
a.Isi diri dengan Intellegent Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ), dan Spiritual Quotient (SQ) secara seimbang.
b.Bangun niat untuk selalu mengabdikan diri, senantiasa jadikan kritik dan saran sebagai alat menuju penyempurnaan diri.
c.Bekerja keras dan jangan mudah menyerah untuk selalu maju dari ketertinggalan.
d.Menjadi “pelayan” yang baik bagi semua orang serta selalu berpikiran kritis dalam menghadapi berbagai masalah.
e.Menanamkan disiplin diri (self dicipline) dalam ketepatan waktu dan tempat dimana kita harus memposisikan diri.
f.Berani merubah paradigma dari paradigma lama yang memandang belajar sebagai alat mencapai sesuatu, kepada paradigma baru yang memandang belajar sebagai kebutuhan atau konsep “belajar sepanjang hayat”
g.Tidak hanya menguasai ilmu yang diajarkannya, tetapi juga menguasai ilmu-ilmu penting yang menjadi nilai plus bagi guru, misalnya mempelajari bahasa asing, menguasai IPTEK/TI (dunia komputer dan internet), dan kreativitas lainnya sesuai kemampuan yang ada pada guru tersebut. Dua kegiatan yang tak boleh terlupakan untuk dikembangkan oleh guru, yaitu menulis dan meneliti, sehingga memacu guru akan terus membaca dan melakukan refleksi pada setiap kegiatan pembelajaran.
h.Calon guru dan guru harus mempunyai sifat tegas, jujur, adil, bijaksana serta memenuhi hak dan kewajiban secara selaras, dan memprioritaskan kepentingan orang banyak.
i.Serta kegiatan-kegiatan positif lainnya, yang tidak penulis jabarkan secara detil pada bagian ini.

« Rekan-rekan ku seperjuangan, para guru dan calon guru bahwa pada hakikatnya jiwa profesional memang tidak dimiliki semua orang, tetapi mulailah dari diri sendiri untuk belajar menjadi seorang yang profesional sejak dini«
(Dari berbagai sumber)

Senin, 25 Mei 2009

Kecerdasan Pemilih

solagracia-mardhawani-civic
KECERDASAN DALAM MEMILIH
Oleh : Mardawani, S.Pd

A. Pemilu dan Penawaran Produk
Pemilu tidak jauh berbeda dengan kita belanja bahan kebutuhan hidup atau makanan di pasar swalayan. Dalam masa kampanye ini banyak produsen politik (partai) menawarkan dan menjual produk-produknya. Mulai dari caleg, visi dan misi partai, sampai kepada kandidat presiden.
B. Posisi Caleg Dalam Hukum Pasar
Ketika dalam hukum ekonomi atau hukum pasar, pada saat penawaran melimpah sementara permintaan sedikit, maka harga akan menjadi murah. Dilain pihak, hanya nilai atau barang politik banyak yang dianggap sekedar dagelan dalam meramaikan bursa politik. Bila di masa lalu menjadikandidat caleg adalah kehormatan dimata masyarakat, saat ini menjadi caleg banyak ditafsirkan sebagai orang-orang yang sedang mencari pekerjaan.
C. Kemasan Produk Politik
Khawatir tidak laku, produsen politik mengubah strategi pemasaran, mengubah kemasan produk, rumusan visi dan misi, serta juga produk unggulan (capres). Proses kemasan merupakan cara utama meraih simpati masyarakat. Kemasan dan Isi Produk Bentuk luar dari suatu substantif potensi kemasan berbeda dengan isinya adalah hal yang biasa. Walau dalam ukuran tertentu kemasan dapat mendukung dan menggambarkan kualitas isi produk, namun peluang kemasan tidak menggambarkan kualitas ini adalah suatu kebiasaan; artinya pembeli tidak boleh terjebak oleh kemasan atau bungkusan luar.
D. Cerdas Dalam Memilih
Pada konteks inilah kebutuhan untuk bisa menunjukkan sikap yang cerdas dalam memilih menjadi suatu kebutuhan dasar. Salah dalam memilih barang bukan hanya dirinya yang dirugikan, namun daerah, masyarakat, bangsa dan negara pun jauh lebih rugi dari apa yang diterimanya pada waktu itu. Kecerdasan dalam memilih menjadi faktor penting dalam proses menjatuhkan pilihan politik. Bagaimana strategi kita memilih barang di pasar politik? Meminjam logika sentiment politik, pemilih harus waspada bahwa:
1. Berbelanja itu harus sesuai kebutuhan, jangan ikut-ikutan apalagi terpengaruh oleh pihak lain.
2. Produk yang dipromosikan dengan masing-masing hadiah yang melimpah merupakan indikasi produk itu kurang laku di pasaran. Maka hati-hatilah dengan janji politik.
3. Pikirkan sematang mungkin produk yang akan di beli ketika sudah di beli barang itu harus dikonsumsi selama lima tahun. Bila enak maka enak dirasakan selama lima tahun, namun bila tidak, maka dampaknya akan dirasakan mungkin bisa lebih dari lima tahun.
Simpul Kata:
 Kecerdasan dalam memilih menunjukkan kecerdasan dan kematangan kita dalam berpolitik.
 Dengan kecerdasan dalam memilih akan menyumbangkan pada usaha mewujudkan bangsa Indonesia yang beradab dan demokratis.
 Untuk bisa memilih dengan cerdas tentu seseorang harus melek politik.

Dikutip dari perkuliahan Filsafat & Teori Demokrasi: tgl 20 Mei 2009-05-25
Oleh: Prof. DR. H. Idrus Affandi,SH, M.Pd

Rabu, 20 Mei 2009

Perkembangan PKn (civic education): STKIP-PK Sintang

solagracia-mardhawani-civic
PERKEMBANGAN CIVIC EDUCATION ATAU PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DI INDONESIA
Menganalisis perkembangan civic education di Indonesia dengan cermat, ternyata baik istilah yang dipakai, isi yang dipilih dan diorganisasikan, dan strategi pembelajaran yang diguakan untuk mata pelajaran Civics atau PKn atau PMP atau PPKn yang berkembang secara fluktuatif hampir empat dasawarsa (1962-1998) itu menunjukan indikator telah terjadinya ketidakajekan dalam kerangka berfikur, yang sekaligus mencerminkan telah terjadinya krisis konseptual, yang berdampak pada terjadinya krisis oprasional kurikuler. (Hal ini juga pernah dialami Amerika Selatan). Namun negara itu sekarang sudah mampu menanggulangi masalah krisis konseptal tersebut). Disamping itu penyelenggaraan PKn di Indonesia masih terbatas, dilakukan di sekolah sebagai program kurikuler, sedang di masyarakat dan keluarga belum terdapat program ber-PKn, jika pun ada hanya dilakukan secara sporadis. Coba jelaskan strategi apa yang anda tawarkan agar PKn dapat diselenggarakan secara komprehensive sehingga dapat berdampak baik pada pembentukan warganegara Indonesia yang cerdas dan baik (smart and good citizen). Jelaskan pula latar pemikiran apa yang mendasari strategi yang anda tawarkan tersebut.
Menurut Nu’man Somantri (1972), istilah Civics dan Civics Education telah muncul masing-masing dengan nama: (a) Kewarganegaraan (1957); (b) Civics (1962); dan (c) Pendidikan Kewargaan Negara (1968). Sebagai mata pelajaran di tingkat persekolahan pada saat itu, Kewarganegaraan (1957) membahas tentang cara memperoleh dan kehilangan kewargaan negara, sedangkan Civics (1962) lebih banyak membahas tentang sejarah kebangkitan nasional, UUD, pidato-pidato politik kenegaraan, terutama diarahkan untuk “nation and character building” – bangsa Indonesia. Pada masa pemerintahan Orde Baru, mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan (1968) telah membuang dan menghilangkan bahan-bahan pelajaran yang bersifat indoktrinasi serta melakukan perubahan materi dan metode penyampaian. Pada tahun 1975, nama pendidikan kewarga-negaraan berubah menjadi Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Mata pelajaran ini diberikan mulai dari Sekolah Dasar (SD), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) sedangkan di tingkat Perguruan Tinggi diberikan mata kuliah Pendidikan Pancasila. Pada tahun 1994, nama mata pelajaran ini berubah lagi menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Perubahan ini didasarkan atas bunyi UUSPN No.2/1989 pasal 39 ayat (2) yang menyatakan bahwa “Isi kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan wajib memuat: (a) pendidikan Pancasila; (b) pendidikan Agama; dan (c) pendidikan kewarganegaraan. Setelah bergulir reformasi terjadi revitalisasi terhadap mata pelajaran PPKN yang didasarkan pada UU No 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS PPKn diubah menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn).
Menurut Udin S. Winataputra. Sebagai mata pelajaran di sekolah, pendidikan kewarganegaraan telah mengalami perkembangan yang fluktuatif, baik dalam kemasan maupun substansinya. Pengalaman tersebut di atas menunjukkan bahwa sampai dengan tahun 1975, di Indonesia kelihatannya terdapat kerancuan dan ketidakajekan dalam konseptualisasi civics, pendidikan kewargaan negara, dan pendidikan IPS. Hal itu tampak dalam penggunaan ketiga istilah itu secara bertukar-pakai. Selanjutnya, dalam Kurikulum tahun 1975 untuk semua jenjang persekolahan yang diberlakukan secara bertahap mulai tahun 1976 dan kemudian disempurnakan pada tahun 1984, seba­gai pengganti mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara mulai diperkenalkan mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasi­la (PMP) yang berisikan materi dan pengalaman belajar mengenai Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) atau "Eka Prasetia Pancakarsa". Perubahan itu dilakukan untuk mewadahi missi pendidikan yang diamanatkan oleh Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengama­lan Pancasila atau P4 (Depdikbud:1975a, 1975b, 1975c). Mata pelajaran PMP ini bersifat wajib mulai dari kelas I SD s/d kelas III SMA/Sekolah Kejuruan dan keberadaannya terus dipertahankan dalam Kurikulum tahun 1984, yang pada dasarnya merupakan penyempurnaan Kurikulum tahun 1975. Di dalam Undang-Undang No 2/1989 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN), yang antara lain Pasal 39, menggariskan adanya Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai bahan kajian wajib kurikulum semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan.
Sebagai implikasinya, dalam Kurikulum persekolahan tahun 1994 diperkenalkan mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) yang berisikan materi dan pengalaman belajar yang diorganisasikan secara spiral/artikulatif atas dasar butir-butir nilai yang secara konseptual terkandung dalam Pancasila. Bila dianalisis dengan cermat, ternyata baik istilah yang dipakai, isi yang dipilih dan diorganisasikan, dan strategi pembelajaran yang digunakan untuk mata pelajaran Civics atau PKN atau PMP atau PPKn yang berkembang secara fluktuatif hampir empat dasawarsa (1962-1998) itu, menunjukkan indikator telah terjadinya ketidakajekan dalam kerangka berpikir, yang sekaligus mencerminkan telah terjadinya krisis konsep­tual, yang berdampak pada terjadinya krisis operasional kurikuler. Krisis atau dislocation menurut pengertian Kuhn (1970) yang bersifat konseptual tersebut tercermin dalam ketidakajekan konsep seperti: civics tahun 1962 yang tampil dalam bentuk indoktrinasi politik; civics tahun 1968 sebagai unsur dari pendidikan kewargaan negara yang bernuansa pendidikan ilmu pengetahuan sosial; PKN tahun 1969 yang tampil dalam bentuk pengajaran konstitusi dan ketetapan MPRS; PKN tahun 1973 yang diidentikkan dengan pengajaran IPS; PMP tahun 1975 dan 1984 yang tampil menggantikan PKN dengan isi pembahasan P4; dan PPKn 1994 sebagai penggabungan bahan kajian Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang tampil dalam bentuk pengajaran konsep nilai yang disaripati­kan dari Pancasila dan P4. Krisis operasional tercermin dalam terjadinya perubahan isi dan format buku pelajaran, penataran guru yang tidak artikulatif, dan fenomena kelas yang belum banyak bergeser dari penekanan pada proses kognitif memorisasi fakta dan konsep.
Tampaknya semua itu terjadi karena memang sekolah masih tetap diperlakukan sebagai socio-political institution, dan masih belum efektifnya pelaksanaan metode pembelajaran serta secara konseptual, karena belum adanya suatu paradigma pendidikan kewarganegaraan yang secara ajeg diterima dan dipakai secara nasional sebagai rujukan konseptual dan operasional.
Keadaan ini mirip dengan situasi yang juga pernah dialami di Amerika Serikat, dimana “Civics, Civic/Citizenship Education, Social Studies/Social Science Education” sejak kelahirannya tahun 1880-an sampai dengan terbitnya dokumen akademis NCSS (1994) “Curriculum Standards for Social Studies: Expectations of Excellence”. Tampaknya mereka kini telah berhasil mengatasi krisis konseptual dan kurikuler. Setidaknya mereka kini telah mencapai suatu konsensus akademis dan programatik yang pada gilirannya akan memandu terjadinya proses kurikulum yang lebih koheren.
Bagi Indonesia konsensus serupa sangatlah penting dan didambakan untuk mendapatkan paradigma yang cocok mengenai pendidikan bidang sosial di sekolah. Namun sampai dengan saat ini rasanya belum juga tercapai. Sampai dengan saat ini sesuai dengan kurikulum persekolahan tahun 1994, terdapat tiga jenis pendidikan bidang sosial yakni Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang diwajibkan untuk semua jenis, jalur dan jenjang pendidikan; Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) sebagai bendera dari kelompok mata pelajaran ilmu bumi, sejarah nasional, dan sejarah umum pada jenjang pendidikan dasar; dan mata pelajaran sosial yang berdiri sendiri secara terpisah seperti geografi, sejarah, ekonomi, sosiologi, antropologi, dan tata negara di sekolah menengah.
Dalam upaya mencari kesepakatan, yang kalau bisa dapat melahirkan “curriculum standards” seperti di Amerika Serikat, ada beberapa pertanyaan yang perlu dicari bersama-sama jawabannya, antara lain: Tujuan pendidikan nasional yang mana yang secara logis seyogyanya menjadi garapan utama bidang pendidikan sosial ? Bagaimana paradigma dasar bidang pendidikan sosial di sekolah ? Bila bidang pendidikan sosial itu perlu diwadahi oleh lebih dari satu mata pelajaran, bagaimana menetapkannya ? Bila telah ditetapkan adanya beberapa mata pelajaran sosial di sekolah bagaimanakah keterkaitannya satu dengan yang lainnya ? Dan bagaimanakah jati diri dari masing-masing mata pelajaran itu sehingga benar-benar memiliki keunikan yang nantinya harus dapat dilihat dari visi, missi, dan strateginya
Untuk menjawab semua pertanyaan tersebut, tampaknya perlu diadakan pengkajian khusus terhadap perkembangan pemikiran mengenai pendidikan kewarganegaraan di Indonesia sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 sampai dengan tahun 1999 sebagai titik akhir abad ke 20. Hal itu dapat dilihat dari cita-cita, konsep, nilai, prinsip yang secara konseptual tersurat dan atau tersirat dalam berbagai dokumen resmi, yang memang merupakan pilar-pilar pendidikan nasional Indonesia, sebagaimana dituangkan dalam buku “Lima Puluh tahun Perkembangan Pendidikan Indonesia” (Djojonegoro:1996), dan berbagai dokumen resmi lainnya sejak tahun 1995 sampai sekarang.
Di dalam teks Proklamasi, yang merupakan rumusan “the highest political decision” bangsa Indonesia, pada kalimat pertama dengan tegas dinyatakan “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia”. Dengan proklamasi tersebut berarti kita pada saat itu memasuki kehidupan bermasyarakat-bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Selanjutnya di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang disyahkan oleh dan dalam Rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945, selain ditegaskan kembali tentang pertimbangan pokok dan pernyataan kemerdekaan Indonesia, sebagaimana tersurat dalam alinea pertama, kedua, dan ketiga, juga dinyatakan tujuan dan dasar negara Indonesia, sebgaimana tertuang dalam alinea keempat. Dalam alinea tersebut dengan tegas dinyatakan bahwa pemerintah negara Indonesia dibentuk untuk: “…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abdi dan keadilan sosial,…” (Republik Indonesia, 1945 dalam BP7 Pusat:1994). Jika dikaji dengan cermat, tujuan yang ketiga, yakni “…mencerdaskan kehidupan bangsa”, secara tersirat mengandung arti bahwa kehidupan yang perlu dibangun itu adalah kehidupan masyarakat-bangsa Indonesia yang cerdas.
Sebagaimana lebih jauh ditegaskan dalam alinea tersebut, kehidupan masyarakat-bangsa tersebut ditata dengan Undang-Undang Dasar negara Indonesia, dalam susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat. Di situ juga tersirat bahwa negara Republik Indonesia adalah negara demokrasi yang berdasarkan hukum. Lebih lanjut ditegaskan bahwa yang menjadi dasar kehidupan masyarakat-bangsa Indonesia adalah :”Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Dengan kata lain, kehidupan masyarakat-bangsa Indonesia yang hendak diwujudkan adalah masyarakat-bangsa yang cerdas, religius, adil dan beradab, bersatu, demokratis, dan sejahtera. Karakteristik internal-konseptual masyarakat tersebut, pada dasarnya sangat koheren dengan konsep dan nilai “masyarakat madani”.Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, maka “Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran”, dengan “mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang” (Pasal 31 UUD 1945). Di dalam pasal tersebut tersirat adanya upaya yang sengaja untuk mengembangkan warga negara yang cerdas, demokratis , dan religius, yang secara programatik merupakan tujuan dan missi dari pendidikan kewarganegaraan dalam arti yang sangat luas, atau “citizenship education” menurut Cogan (1996). Penegasan mengenai tujuan dan missi tersebut secara konsisten terus dipertahankan dalam berbagai dokumen resmi yang berkenaan dengan pendidikan di Indonesia, seperti akan dibahas lebih lanjut dalam uraian berikutnya.
Di dalam usulan yang diajukan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat atau BP KNIP tanggal 29 Desember 1945 (Djojonegoro,1996:73) ditekankan bahwa “1. Untuk menyusun masyarakat baru perlu adanya perubahan pedoman pendidikan dan pengajaran. Paham perseorangan yang pada saat itu berlaku haruslah diganti dengan paham kesusilaan dan peri kemanusiaaan yang tinggi. Pendidikan dan pengajaran harus membimbing murid-murid menjadi warganegara yang mempunyai rasa tanggung jwab” (Cetak miring dari penulis). Kemudian oleh Kementrian PPK dirumuskan tujuan pendidikan “…untuk mendidik warga negara yang sejati yang bersedia menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk negara dan masyarakat”, dengan sifat-sifat sebagai berikut. ”Perasaan bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa; Perasaan cinta kepada alam; Perasaan cinta kepada negara; Perasaan cinta dan hormat kepada ibu dan bapak; Perasaan cinta kepada bangsa dan kebudayaan; Perasaan berhak dan wajib ikut memajukan negaranya menurut pembawaan dan kekuatannya; Keyakinan bahwa orang menjadi bagian tak terpisah dari keluarga dan masyarakat; Keyakinan bahwa orang yang hidup dalam masyarakat harus tunduk pada tata tertib; Keyakinan bahwa pada dasarnya manusia itu sama derajatnya sehingga sesama anggota masyarakat harus saling menghormati, berdasarkan rasa keadilan dengan berpegang teguh pada harga diri; dan Keyakinan bahwa negara memerlukan warga negara yang rajin bekerja, mengetahui kewajiban, dan jujur dalam pikiran dan tindakan.” (Djojonegoro, 1996:75-76)
Dari semua karakteristik tersebut, karakteristik perasaan bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa, cinta kepada negara, cinta kepada bangsa dan kebudayaan, berhak dan wajib ikut memajukan negaranya, keyakinan hidup tak terpisah dari keluarga dan masyarakat, keyakinan harus tunduk pada tata tertib, keyakinan sama derajat dengan sesama anggota masyarakat, mengetahui kewajiban, dan jujur dalam pikiran dan tindakan, pada dasarnya termasuk ke dalam bingkai tujuan dan missi pendidikan untuk pengembangan warga negara yang cerdas, demokratis, dan religius, yang merupakan garapan dari bidang pendidikan kewarganegaraan.
Hakikat tujuan pendidikan tersebut, di dalam Undang-Undang No.4 tahun 1950, Bab II,Pasal 3 (Djojonegegoro,1996:76) dirumuskan menjadi “ membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air”. (Cetak miring dari penulis). Disitu pun, hakikat pengembangan warga negara yang “cerdas, demokratis, dan religius” secara konsisten dipertahankan.
Di dalam kurikulum atau Rencana Pelajaran Sekolah Rakyat tahun 1947, walaupun hakikat tujuan membentuk warga negara yang cerdas,demokratis, dan religius itu sudah ditegaskan, ternyata tidak diwadahi oleh mata pelajaran khusus dengan nama semacam kewarganegaraan, tapi tampaknya diwadahi oleh mata pelajaran Didikan Budi Pekerti mulai dari kelas I s/d VI , dan Pendidikan Agama mulai kelas IV s/d VI. Di dalam Kurikulum SMP tahun 1962 juga hanya diwadahi oleh Budi Pekerti yang diintegrasikan kedalam semua mata pelajaran dan usaha sekolah, mata pelajaran Agama yang diatur oleh Kementrian Agama, dan Kelompok Pengetahuan Sosial yang mencakup Ilmu Bumi dan Sejarah. Sedangkan di dalam Kurikulum SMA tahun 1950/1951, kelihatannya diwadahi oleh mata pelajaran Tata Negara, Sejarah, dan Ilmu Bumi. (Djojonegoro,1996:96-100)
Pada tahun 1954 dikeluarkan Undang-Undang no12 tahun 1954 tentang dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah, yang pada dasarnya merupakan pemberlakuan kembali UU No 4 tahun 1950 di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam kurun waktu berlakunya undang-undang tersebut terbit Keputusan Presiden RI No.145 Tahun 1965, yang isinya antara lain menetapkan tujuan pendidikan nasional untuk “…melahirkan warga negara sosialis, yang bertanggung jawab atas terselenggaranya Masyarakat Sosialis Indonesia , adil dan makmur baik spirituil maupun materiil dan yang berjiwa Pancasila …” (Djojonegoro,1996:103). Tujuan tersebut, tampaknya bersifat ambivalen karena menekankan pada pengembangan warga negara sosialis, dan yang berjiwa Pancasila, dan memberi indikasi masuknya paham komunisme, yang memang pada saat itu masuk melalui PGRI non-vak sentral yang beraliran kiri. Pada era inilah di SMP dan SMA muncul mata pelajaran “Civics” yang isinya didominasi oleh materi indoktrinasi Manipol USDEK. Walaupun namanya pelajaran Civics, yang mestinya secara programatik mengembangkan civic virtue dan civic culture, dan berorientasi pada pengembangan warga negara yang cerdas, demokratis, dan religius, dalam kenyataanya digunakan untuk kepentingan indoktrinasi penguasa pada saat itu.
Keadaan ini berlangsung sampai tumbangnya pemerintahan Orde Lama dan lahirnya pemerintahan Orde Baru, yang kemudian menerbitkan Kurikulum SD tahun 1968, dan Kurikulum SMP dan SMA tahun 1969. Dalam Kurikulum SD 1968 muncul mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara yang mencakup Ilmu Bumi dan Sejarah Indonesia, dan Civics (Pengetahuan Kewargaan Negara), dan dalam Kurikulum SMP dan SMA muncul mata pelajaran Kewargaan Negara. Mata pelajaran tersebut, serta merta diisi dengan materi UUD 1945 , Ketetapan MPRS/MPR, serta dokumen resmi lainnya dengan misi utama untuk meningkatkan pemahaman terhadap UUD 1945 serta berbagai Ketetapan MPRS/MPR. Keadaan tersebut berlangsung sampai berlakunya Kurikulum SD,SMP,SMA,SPG tahun 1975/1976 (Winataputra:1978).
Jika dianalisis secara cermat, baik ide, instrumentasi, maupun praksisnya, walaupun namanya sudah menjadi Pendidikan Kewargaan Negara, yang dapat diidentikkan dengan Civic Education di Amerika Serikat, nuansa kurikulernya masih kental dengan sifat indoktrinasi dengan sedikit aplikasi pendekatan yang demokratis. Harus dikatakan bahwa pengembangan civic virtue dan civic culture, sesungguhnya belum banyak mendapat perhatian. Keadaan ini juga belum mendapat dukungan kajian akademis yang memadai, karena memang program pendidikan guru pendidikan kewargaan negara yang ada di IKIP/STKIP/FKIP baru saja (mulai tahun 1966) berubah nama menjadi Jurusan/Program Studi “Civic Hukum”, yang kurikulumnya lebih bernuansa pendidikan hukum dan tata negara, ditambah sedikit materi tentang “Civic Education”. Dengan sendirinya penelitian yang ada pun tampaknya belum mendukung berkembangnya paradigma “civic education” yang khas untuk kondisi Indonesia. Oleh karena itu dapat dipahami mengapa kurikulum Pendidikan Kewargaan Negara begitu dengan mudah berubah menjadi Pendidikan Moral Pancasila, tanpa kerangka paradigmatik “civic education” yang secara akademis solid, dan secara pedagogis adaptip untuk Indonesia.
Dalam kondisi belum berkembangnya paradigma civic education untuk Indonesia, pada tahun 1975/1976 muncul mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang visi dan misinya berorientasi pada value inculcation dengan muatan nilai –nilai Pancasila dan UUD 1945. Kondisi ini bertahan sampai disempurnakannya Kurikulum PMP tahun 1975/1976 menjadi Kurikulum PMP tahun 1984, dengan visi dan misi yang sama namun dengan muatan baru Pedoman Pemahaman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila ( P-4) atau Eka Prasetya Pancakarsa, dengan 36 butir nilai Pancasila sebagai muatannya. Namun demikian visi dan misinya masih kental dengan “value inculcation”, yang pada dasarnya merupakan improvisasi dari “unavoidable indoctrination”. Yang perlu dicatat, adalah dengan berubahnya Pendidikan Kewargaan Negara (PKN) menjadi Pendidikan Moral Pancasila (PMP) baik menurut Kurikulum tahun 1975/1976 maupun Kurikulum tahun 1984, pengembangan civic virtue dan civic culture dalam praksis demokrasi, yang seyogyanya menjadi jati diri PKN, berubah menjadi pendidikan prilaku moral, yang dalam kenyataannya lepas dari konteks pendidikan cita-cita, nilai, dan konsep demokrasi. Hal ini terjadi, seperti juga pada perubahan kurikulum 1968 menjadi kurikulum 1975, antara lain karena belum berkembangnya paradigma “civic education” yang melandasi dan memandu pengembangan kurikulumnya.
Keadaan itu ternyata terus berlanjut sampai berubahnya Kurikulum PMP 1984 menjadi Kurikulum Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) tahun 1994, yang walaupun namanya mencakup kajian pendidikan Pancasila dan pendidikan kewarganegaraan sesuai dengan Undang-Undang No 2 tahun 1989, tetapi karakteristik kurikulernya sangat kental dengan pendidikan moral Pancasila, yang didominasi oleh proses value inculcation dan knowledge dissemination.
Hal tersebut dapat disimak dari profil kurikulum PPKn 1994, yang menunjukkan karakteristik sebagai berikut (Depdikbud:1993).
Di SD PPKn bertujuan untuk Menanamkan sikap dan prilaku dalam kehidupan sehari-hari yang didasarkan kepada nilai-nilai pancasila baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat,dan memberikan bekal kemampuan untuk mengikuti pendidikan di SLTP” (Depdikbud,1993:1). Sementara itu di SLTP, PPKn bertujuan untuk Mengembangkan pengetahuan dan kemampuan memahami dan menghayati nilai-nilai Pancasila dalam rangka pembentukan sikap dan prilaku sebgai pribadi, anggota masyarakat dan warga negara yang bertanggung jawab serta memberi bekal kemampuan untuk mengikuti pendidikan di jenjang pendidikan menengah” (Depdikbud, 1994:2). Sedangkan di SMU, PPKn bertujuan untuk Meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan kemampuan memahami, menghayati, dan meyakini nilai-nilai Pancasila sebagai pedoman berprilaku dam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sehingga menjadi warga negara yang bertanggung jawab dan dapat diandalkan, dan memberi bekal kemampuan untuk belajar lebih lanjut ”(Depdikbud, 1994b:2).
Dari analisis terhadap perkembangan pendidikan kewarganegaraan di Indonesia sampai dengan saat ini, dapat dikatakan bahwa baik dalam tataran konseptual maupun dalam tataran praksis terdapat kelemahan paradigmatik yang sangat mendasar. Yang paling menonjol adalah kelemahan dalam konseptualisasi pendidikan kewarganegaraan, penekanan yang sangat berlebihan terhadap proses pendidikan moral yang behavoristik, ketakkonsistenan penjabaran dimensi tujuan pendidikan nasional kedalam kurikulum pendidikan kewarganegaraan, dan keterisolasian proses pembelajaran nilai Pancasila dengan konteks disiplin keilmuan dan sosial-budaya. Oleh karena itu pendidikan kewarganegaraan seyogyanya dikembangkan sebagai pendidikan demokrasi konstitusional Indonesia yang religius dan mencerdaskan (sesuai amanat UUD 1945 dan UU No.20 Tahun 2003) dan bersifat multidimensional dan ditangani secara profesional karena diyakini bahwa “democracy cannot teach itself and it is not inherrited – it is learned as a life-long learning ptrocess” (Gandal and Finn:1996, CIVITAS:2000, Winataputra:2001)
Untuk Indonesia tampaknya pendidikan kewarganegaraan yang bersifat “exclusive and formal” dalam dunia persekolahan dan pendidikan tinggi masih perlu dipertaahankan, namun harus mulai dikembangkan menjadi program pendidikan yang mensintesiskan secara harmonis pendekatan “content-related” dan “process-led” serta “value-based”, yang berarti juga meminimumkan modus “didactic transmission” dan mengoptimalkan penerapan prinsip “participative and interactive”. Dengan kata lain PKn Indonesia yang kini bersifat “minimal” itu seyogyanya dikembangkan menjadi PKn yang “moderate”, sehingga ia berubah dari paradigma “education about democracy” menjadi “education in democracy”. Dalam konteks itu maka kelas PKn seyogyanya dikembangkan sebagai “laboratory for democracy” dan masyarakat sebagai ”open global classroom”. Oleh karena berbagai kegiatan “co-curricular” dan kegiatan “extra curricular”seperti debat publik, praktik belajar, kajian sosial, aksi sosial, dan simulasi dengan pendapat seyogyanya digalakkan karena secara psiko-pedagogis dan sosio-kultural sangat potensial mengembangkan karakter warganegara yang cerdas, partisipatif, dan bertanggungjawab melalui pengembangan aneka ragam “instructional effects” dan “nururant effects” (Winataputra: 1998; 2001, Suryadi:1998, Joyce and Weill:1966)
Untuk memfasilitasi perubahan paradigmatik PKn dari kategori “minimal” ke “moderate” tersebut diperlukan hal-hal sebagai berikut. Kurikulum berbasis karakter yang berorientasi pada pengembangan “civic intelligence, civic participation, and civic responsibility”dalam konteks kehidupan demokrasi konstitusional Indonesia. Aneka ragam pendekatan dan model belajar dan pembelajaran yang mengkombinasikan kegiatan intra, ko, dan ekstra kurikuler dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia sebagai kelas global yang terbuka. Akses yang luas bagi para siswa, mahasiswa, dan pemuda terhadap berbagai sumber informasi tercetak, terrekam, tersiar, dan elektronik. Wawasan, sikap, dan kemampuan para guru, tutor, dosen dalam konteks kehidupan demokrasi konstitusional Indonesia yang sehat.
Untuk kondisi Indonesia pendidikan kewarganegaraan yang bersifat “exclusive dan formal” dalam dunia persekolahan masih perlu tetap dipertahankan, namun harus dikembangkan menjadi program pendidikan yang mengkombinasikan “content-related” dan “process-Led” artinya meminimumkan “didactic transmission”dan meningkatkan penerapan prinsip “participative and interactive. Dengan kata lain PKn Indonesia yang “Minimal” seyogyanya dikembangkan menjadi PKn yang “moderate” sehingga ia mulai berubah dari “education about democracy” menjadi “education in democracy”. Belum perlu kita berangan-angan melompat ke “education for democracy” karena memang proses pendidikan bersifat “developmental” sejalan dengan perkembangan individu dan masyarakatnya. Untuk menuju kepada PKn sebagai “ education in democracy” yang religius dan mencerdaskan diperlukan hal-hal sebagai berikut:
• Kurikulum yang berorientasi pada pengembangan “civic intelligence, civic participation, and civic responsibility” bukan yang berbasis kompetensi dalam arti sempit terbatas pada prilaku yang secara “behavioral” terukur. Karena itu KBK seyogyanya diartikan sebagai “Kurikulum Berbasis Kepribadian”.
• Model-model Pembelajaran Kreatif dan Demokratis yang memungkinkan peserta didik secara aktip mengkaji gagasan, instrumentasi, dan praksis demokrasi dan berlatih menerapkan konsep dan prinsip demokrasi secara kontekstual sebagai bagian integral dari proses belajar.
• Pelatihan dosen/guru dalam bentuk “site-based workshop” yang memungkinkan para guru secara bersama-sama mempraktekkan model-model belajar yang kreatif dan demokratis itu, kemudian menerapkan model itu dalam koridor “penelitian tindakan kelas”. Dengan cara itu para dosen/guru akan semakin “well educated and trained”
• Aneka bahan belajar bahan tercetak, terekam, tersiar, dan elektronok mengenai PKn yang memungkinkan para peserta didik bukan hanya memahami substansi tetapi juga melakukan penerapan substansi dalam konteks yang relevan, termasuk melaksanakan proses demokrasi. Kerjasama antar dosen/guru PKn dengan sumber-sumber keahlian PKn “civic education expert center” seperti Jurusan PPKn di LPTK, LSM dalam dan luar negeri melalui penggunaan jaringan teknologi informasi yang tersedia

DAFTAR PUSTAKA


Budimansyah, Dasim dan Suryadi, Karim . (2008), PKN dan Masyarakat Multikultural, Bandung : Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Pendidikan Indonesia.

Cogan, John J & Derricott, Ray (1998), Citizenship for the 21st Century; an International Presfectives on Education, Kogan Pages.

Sumantri, N. (2005). Menggagas Pembahruan Pendidikan IPS. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Ubaedillah, dkk (2008). Pendidikan Kewargaan. Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah dan Prenada Media Group.

Winataputra, Udin S dan Budimansyah, Dasim (2007), Civic Education: konteks, landasan, bahan ajar dan kultur kelas, Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan, Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia

Winataputra, Udin S (2001), Jati diri Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Wahana Sistemik Pendidikan Demokrasi, Program Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia

Selasa, 12 Mei 2009

Mengapa Harus Ada Pengajaran PKn atau PPKn Disekolah dan Masyarakat?


solagracia-mardhawani-civic
MENGAPA HARUS ADA PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
PKN atau PPKN?

Pertanyaan ini seringkali menjadi sesuatu yang lazim muncul dalam benak siswa, bahkan mungkin guru yang mengajarkan PKn pun ternyata belum yakin memberikan jawaban apa yang tepat bagi pertanyaan tersebut. Tidak heran bila demikian banyak kalangan yang tidak pedulikan PKn. Ini terbukti dari adanya pandangan streotif sebagian besar orang bahwa mata pelajaran PKn adalah pelajaran yang di nomor duakan, atau dianggap mudah. Padahal PKn penting sekali dalam rangka membangun jati diri bangsa. Tujuan pembelajaran PKn untuk menciptakan konsep ”Smart and Good Citizen” mungkin niscaya tanpa pemahaman yang baik dari semua pihak. Oleh sebab itu maka dapat saya katakan jelas disini bahwa PKn bukan pelajaran yang dapat di nomor duakan, PKn adalah isu penting yang harus dikaji oleh semua pihak. PKn tidak dapat disamakan dengan pelajaran Sejarah, Sosiologi, Agama atau mata pelajaran lainnya. PKn di Indonesia yang kurikulernya bersifat separate tidak dapat diintegrasikan dengan mata pelajaran lain. PKn harus diajarkan secara khusus.
Dalam kepustakaan asing ada dua istilah teknis yang dapat diterjemahkan menjadi Pendidikan Kewargnegaraan yakni civic education dan Citizenship Education. Cogan (1999:4) mengartikan civic education sebagai "...the foundational course work in school designed to prepare young citizens for an active role in their communities in their adult lives". Atau suatu mata pelajaran dasar di sekolah yang dirancang untuk mempersiapkan warganegara muda, agar kelak setelah dewasa dapat berperan aktif dalam masyarakatnya. Sedangkan citizenship education atau education for citizenship oleh Cogan (1999:4) digunakan sebagai istilah yang memiliki pengertian yang lebih luas yang mencakup "...both these in-school experiences as well as out-of school or non-formal/informal learning which takes place in the family, the religious organization, community organizations, the media,etc which help to shape the totality of the citizen".
Dalam tulisan ini istilah pendidikan kewarganegaraan pada dasarnya digunakan dalam pengertian yang luas seperti "citizenship education" atau "education for citizenship" yang mencakup pendidikan kewarganegaraan di dalam lembaga pendidikan formal (dalam hal ini di sekolah dan dalam program pendi­dikan guru) dan di luar sekolah baik yang berupa program penataran atau program lainnya yang sengaja dirancang atau sebagai dampak pengiring dari program lain yang berfungsi memfasilitasi proses pendewasaan atau pematangan sebagai warganegara Indonesia yang cerdas dan baik. Di samping itu, juga konsep pendidikan kewarganegaraan digunakan sebagai nama suatu bidang kajian ilmiah yang melandasi dan sekaligus menaungi pendidikan kewarganegaran sebagai program pendidikan demokrasi. Ada beberapa faktor yang dapat dijadikan alasan mengapa PKn penting diajarkan:
a. Aspek Historis ;
1) Kebangkitan Nasional (1908),sebagai tonggak kebangkitan bangsa Timur dan bangkitnya nilai kolektif kebangsaan yang secara aspek cultural dapat meningkatkan motivasi serta secara structural dapat mengubah mental perjuangan.
2) Sumpah Pemuda (1928),yang dapat memberikan gambaran nilai-nilai perjuangan bangsa secara praksis kehidupan yang serba multidimensi. Namun tetap memiliki standar pemersatu yaitu satu tumpah darah,bangsa dan bahasa.
3) Proklamasi Kemerdekaan (1945),sebagai jembatan emas bagi seluruh aspek kehidupan bangsa, 4). Peristiwa Kejatuhan Rezim ORBA (1998), momentum dimulainya era reformasi yang menyeluruh di Indonesia.
b. Aspek Legalistik:
1) Pesan Konstitusional,yaitu untuk membangun nation and character building.
2) UUSPN,”…mewujudkan warga Negara yang demokratis dan bertanggungjawab” ( Tujuan Nasional ). Sikap Demokratis itu not in herateges,maka harus diajarkan melalui proses pembelajaran.
c. Aspek Epistemologi:
1) Di USA,citizenship transmission dalam social studies
2) Cogan mengungkapkan melaluintradisi citizenship education
3) Tradisi di Indonesia,civic education lebih khusus. Hal ini memiliki kelebihan dari segi subyek pembelajarannya sangat tegas,tetapi memiliki kelemahan dalam hal terlalu banyak menyita waktu.
d. Aspek Pedagogis:
1) Kurikulum mulai dari SD sampai PT ada dan tegas.
2) Sebagai Pendidikan Demokrasi,maka harus diajarkan/dibinakan karena tidak diwariskan/diturunkan begitu saja. Hal ini sejalan dengan pendapat Alexis de Toqueville,yaitu :”The habits of the mind,as wellas “habits of the hearth”,the disposition that inform the democratic ethos,are not inherited.
e. Aspek Sosio-Politis:
1) Pancasila sebagai Landasan Idiil harus dipahami secara nalar,tidak hanya sebagai “Parrot Like”.
2) Trend Masyarakat Madani Indonesia agar terwujud.
3) Memperkokoh NKRI yang sudah merupakan harga mati atau final.


DAFTAR PUSTAKA


Budimansyah, Dasim dan Suryadi, Karim . (2008), PKN dan Masyarakat Multikultural, Bandung : Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Pendidikan Indonesia.

Cogan, John J & Derricott, Ray (1998), Citizenship for the 21st Century; an International Presfectives on Education, Kogan Pages.

Ubaedillah, dkk (2008). Pendidikan Kewargaan. Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah dan Prenada Media Group.

Winataputra, Udin S (2001), Jati diri Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Wahana Sistemik Pendidikan Demokrasi, Program Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia.

Winataputra, Udin S dan Budimansyah, Dasim (2007), Civic Education: konteks, landasan, bahan ajar dan kultur kelas, Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan, Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.

PKn Sebagai Disiplin Ilmu


solagracia-mardhawani-civic
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan Kewarganegaraan mengalami perubahan nama sejak kurikulum 1957 sampai sekarang. Beberapa istilah yang pernah digunakan antara lain mulai dari Civics, Kewarganegaraan, Pendidikan Kewargaan Negara, Civics dan Hukum, Pendidikan Moral Pancasila, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, dan Pendidikan Kewarganegaraan. Meskipun demikian Pendidikan Kewarganegaraan pada hakikatnya mempunyai substansi yang sama, yakni berkaitan dengan pengajaran politik, demokrasi, hak dan kewajiban warganegara.
Pada masa sekarang kehadiran Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) harus betul-betul dimaknai sebagai jalan yang diharapkan akan mampu mengantar bangsa Indonesia menciptakan demokrasi, good governance, negara hukum dan masyarakat madani yang diidealkan seluruh masyarakat. (TIM ICCE, 2005). Pendidikan Kewarganegaraan secara subsatantif bertujuan mendidik warganegara yang cerdas dan sadar akan hak dan kewajibannya dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Pendidikan kewarganegaraan masuk sebagai mata kuliah dari sejak lama yang bermula pada tahun 1907 dipelopori oleh W.A. Dunn yang disebut gerakan Community Civics. Gerakan ini sebagai wujud keinginan lebih fungsionalnya pelajaran (mata kuliah) civics bagi para peserta didik (siswa dan mahasiswa) dengan menghadapkan mereka kepada lingkungan atau kehidupan mereka sehari-hari dalam hubungannya dengan ruang lingkup lokal, nasional, maupun internasional. Perkembangan pengajaran civics atau pendidikan kewarganegaraan selanjutnya tidak terlepas dari pengajaran civics di Amerika sejak tahun 1790, seperti yang dikemukankan oleh Numan Somantri (Suriakusumah,1992) “pengajaran civics mulai diperkenalkan tahun 1790 di Amerika Serikat dalam rangka meng-Amerikakan bangsa Amerika atau terkenal dengan Theory of Americanization”
Berdasarkan fenomena tersebut maka Pendidikan Kewarganegaraan (Civics) kemudian dikaji secara lebih mendalam, baik sebagai Pendidikan Disiplin Ilmu maupun Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Pendidikan Disiplin Ilmu atau/Pendidikan Disiplin Bidang Studi.
B. Rumusan Masalah
Dari apa yang telah dipaparkan di atas, untuk lebih menfokuskan kajiannya maka penulis memaparkan makalah ini dengan permasalahan umum “bagaimanakah kedudukan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Pendidikan Disiplin Ilmu?”. Dengan sub-sub masalah sebagai berikut:
1. Apakah yang dimaksud dengan Pendidikan Disiplin Ilmu?
2. Apakah Pendidikan Kewarganegaraan masuk kedalam sebuah disiplin ilmu?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini secara umum adalah untuk mendeskripsikan lebih mendetail tentang konsep pemahaman akan kedudukan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Pendidikan Disiplin Ilmu. Dan secara khusus adalah sebagai salah satu bentuk partisipasi dalam menyelesaikan tugas perkuliahan yang diberikan oleh dosen Pengampuh mata kuliah Landasan dan Teori Pendidikan Kewarganegaraan.
D. Metode Penulisan
Dalam mengkaji permasalahan di atas, penulis menggunakan metode analisis literatur kepustakaan dan data-data yang bersumber dari media internet yang dipadukan dengan hasil analisa penulis.

BAB II
PEMBAHASAN
MEMAHAMI KEDUDUKAN PKN SEBAGAI PENDIDIKAN DISIPLIN ILMU

A. Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) Sebagai Pendidikan Disiplin Ilmu
Pendidikan kewarganegar¬aan dalam pengertian sebagai citizenship education, secara substantif dan pedagogis didesain untuk mengembangkan warganegara yang cerdas dan baik (smart and good citizenship) untuk seluruh jalur dan jenjang pendidikan. . Sampai saat ini bidang itu sudah menjadi bagian inheren dari instrumentasi serta praksis pendidikan nasional Indonesia dalam lima status. Pertama, sebagai mata pelajaran di sekolah. Kedua, sebagai mata kuliah di perguruan tinggi. Ketiga, sebagai salah satu cabang pendidikan disiplin ilmu pengetahuan sosial dalam kerangka program pendidikan guru. Keempat, sebagai program pendidikan politik yang dikemas dalam bentuk Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Penataran P4) atau sejenisnya yang pernah dikelola oleh Pemerintah sebagai suatu crash program. Kelima, sebagai kerangka konseptual dalam bentuk pemikiran individual dan kelompok pakar terkait, yang dikembangkan sebagai landasan dan kerangka berpikir mengenai pendidikan kewarganegaraan dalam status perta¬ma, kedua, ketiga, dan keempat. Sebagai salah satu cabang pendidikan disiplin ilmu pengetahuan sosial dalam kerangka program pendidikan guru dalam statusnya yang ketiga yakni sebagai pendidikan disiplin ilmu (Somantri:1998), pendidikan kewarganegaraan merupakan program pendidikan disiplin ilmu sosial sebagai program pendidikan guru mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan di LPTK (IKIP/ STKIP/ FKIP) Jurusan atau Program Studi Civics dan Hukum pada tahun 1960-an, atau Pendidikan Moral Pancasila dan Kewarganegaraan (PMPKn) pada saat ini. Bila dikaji dengan cermat, rumpun mata kuliah pendidi¬kan kewarganegaraan dalam program pendidikan guru tersebut pada dasarnya merupakan program pendidikan disiplin ilmu pengetahuan sosial bidang pendidikan kewarganegaraan.
Secara konseptual pendidikan disiplin ilmu ini memusatkan perhatian pada program pendidikan disiplin ilmu politik, sebagai substansi induknya. Secara kurikuler program pendidikan ini berorientasi kepada pengadaan dan peningkatan kemampuan profesional guru pendidikan kewarganegaraan. Dampaknya, secara akademis dalam lembaga pendidikan tinggi keguruan itu pusat perhatian riset dan pengembangan cender¬ung lebih terpusat pada profesionalisme guru. Sementara itu riset dan pengembangan epistemologi pendidikan kewarganegar¬aan sebagai suatu sistem pengetahuan, belum banyak mendapat¬kan perhatian. Disiplin ilmu pendidikan lebih kepada pendidikan tentang ilmu pendidikan seperti misalnya fakultas ilmu pendidikan. Sedangkan pendidikan disiplin ilmu mengacu kepada fakultas lainnya seperti pendidikan MIPA, pendidikan IPS, Pendidikan Jasmani, Pendidikan Bahasa, dan lain sebagainya.
Program pendidikan disiplin ilmu bidang studi ilmu sosial dirumuskan sebagai “program pendidikan yang menyeleksi disiplin ilmu-ilmu social dan humaniora yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan” (hlm. 19, Dokumen ISPI, 1995). Rumusan akademik tentang pendidikan disiplin ilmu/bidang studi tersebut bertujuan untuk memberikan manfaat bagi pencapaian tujuan dan program pendidikan, khususnya untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah. Akan tetapi, karena pendidikan keguruan mempunyai fungsi mengembangkan akademik tingkat perguruan tinggi dan harus dapat menerapkannya untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah, maka karakter pendidikan disiplin ilmu yang dibina harus memperhatikan dan mempelajari segala sesuatu yang berkenan dengan sifat peserta didik, kurikulum, buku pelajaran, serta sekolah pada tingkat pendidikan dasar dan menegah.
Sama halnya dengan disiplin ilmu pendidikan, pendidikan disiplin ilmu atau bidang studi harus merujuk kepada tiga unsur disiplin ilmu, yakni;
1. A community of scholars who choose to call themselves by a particular name,
2. A body of thinking, speaking and above all, writing by these scholars, which consist of facta, concepts, generalizations and theories,
3. A method of approach to knowledge, i.e process whereby these scholars acquire, organize, and use their knowledge (Dufty, 1986:154)
Rujukan ketiga unsur disiplin ilmu tersebut hendaknya diikuti oleh masyarakat ilmiah ilmu pendidikan yang melalui pendekatan syntactical structure dan conceptual structur menghasilkan berbagai penelitian pendidikan. Pendidikan disiplin bidang studi merupakan suatu synthentic discipline, baik dilihat dari perkembangan akademik IKIP maupun peningkatan mutu pendidikan dasar dan menengah serta kemungkinan penugasan di luar bidang kependidikan sekalipun (Wider mandate, Numan Somantri, 2001)
Disiplin ilmu pendidikan dan pendidikan disiplin ilmu dituntut untuk berinteraksi dalam keseluruhan jaringan ilmu, teknologi, dan seni demi pemecahan masalah pembangunan nasional. Hal ini hanya dapat dilakukan apabila Disiplin Ilmu Pendidikan dan Disiplin Pendidikan ilmu tidak terlalu melihat pendidikan secara mikro seperti prosese belajar mengajar di kelas, melainkan harus meleburkan diri secara makro dan inter-serta trans-disipliner dengan berbagai disiplin ilmu lainnya. Adapun cirri-ciri dari Pendidikan Disiplin Ilmu dalam banyak kepustakaan dapat dirangkum sebagai berikut:
1. Pendidikan Disiplin Ilmu adalah hasil rekayasa “intercross-, dan trans-discipliner” antara Disiplin Ilmu Pendidikan dengan disiplin ilmu “murni” (di universitas) untuk tujuan pendidikan dasar, menengah, dan Fakultas Pendidikan (bidang studi).
2. Pendidikan Disiplin Ilmu merupakan seleksi, adaptasi, modifikasi dari hubungan inter-discipliner antara Disiplin Ilmu Pendidikan dan disiplin ilmu (universitas) yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan. (NCSS).
3. Pendidikan Disiplin Ilmu “is conceive as the subject matter of the academic disciplines somehow selected, simplifield, adapted, and modified for school instruction” (NCSS).
4. Pendidikan Disiplin Ilmu ada juga yang menyebutnya “middle studies” karena berdiri pada dua disiplin ilmu, yaitu sains dan humaniora (Earl Johnson).
Selanjutnya menurut Numan Somantri (2001):
pendidikan Disiplin Ilmu adalah suatu batang tubuh disiplin (baru) yang menyeleksi konsep, generalisasi dan teori dari struktur disiplin-disiplin ilmu (universitas) dan Disiplin Ilmu Pendidikan yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan. Karena tujuan akhir Pendidikan Disiplin Ilmu adalah tujuan pendidikan itu sendiri, maka keterkaitan Pendidikan Disiplin Ilmu ini sangat luas di antaranya dengan agama, filsafat ilmu, filsafat pancasila, sains, teknologi dan masalah-masalah social yang dihadapi.
Sebagai batang tubuh disiplin baru, Pendidikan Disiplin Ilmu tetap memiliki sifat-sifat disiplin ilmu dan berinteraksi dengan disiplin ilmu pendidikan:
1. Pendidikan Disiplin Ilmu harus menciptakan “a community of scholars”.
2. Pendidikan Disiplin Ilmu harus merupakan “a body of thinking, speaking, and above all, writing by these scholars which consist of fact, concepts, generalizations, and theories”.
3. Pendidikan Disiplin Ilmu harus merupakan “a method of approach to knowledge, i.e a process whereby these scholars acquire, organize, and use their knowledge” (Dufty, 1986).
Dalam forum komunikasi Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial di Yogyakarta tahun 1991, dirumuskan tentang Disiplin Ilmu Soaial sebagai berikut:
Pendidikan Disiplin Ilmu Sosial adalah seleksi dari struktur disiplin akademik ilmu-ilmu social yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk mewujudkan tujuan pendidikan FPIPS dalam kerangka pencapaian tujuan nasional yang berdasarkan Pancasila, sesuai dengan Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Berkaitan dengan hal di atas maka kedudukan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai bagian dari pendidikan disiplin ilmu social, tidak terlepas dari konsep disiplin ilmu social itu sendiri, Pendidikan Kewarganegaraan merupakan pendidikan disiplin ilmu social yang tidak tidak dapat dipisahkan dari pendidikan disiplin ilmu politik dan hukum yang juga bernaung di bawah pendidikan disiplin ilmu sosial. Pendidikan kewarganegaraan sebagai suatu bentuk kajian lintas-bidang keilmuan ini pada dasarnya telah memenuhi kriteria dasar-formal suatu disiplin (Dufty,1970; Somantri:1993) yakni mempunyai community of scholars, a body of thinking, speaking, and writing; a method of approach to knowledge dan mewadahi tujuan masyarakat dan warisan sistem nilai (Somantri:1993). Ia merupakan suatu disiplin terapan yang bersifat deskriptif-analitik, dan kebijakan-pedagogis. Jika dilihat dari pandangan Kuhn (1970) secara paradigmatik, pendidikan kewarganegaraan baru memasuki pre-paradigmatic phase atau proto science. Untuk dapat menggapai statusnya sebagai normal science diperlukan berbagai penelitian dan pengembangan lebih lanjut oleh anggota komunitas ilmiah “pendidikan kewarganegaraan” sehingga dapat melewati proses artikulasi sosialisasi-pengakuan-falsifikasi-validasi-pengakuan sebagai disiplin yang matured. Di samping itu, juga konsep pendidikan kewarganegaraan digunakan sebagai nama suatu bidang kajian ilmiah yang melandasi dan sekaligus menaungi pendidikan kewarganegaran sebagai program pendidikan demokrasi.
Sedangkan Ilmu Kewarganegaraan sebagai disiplin ilmu bertujuan untuk mengemangkan konsep, teori mengenai peranan warga negara dalam berbagai aspek kehidupan. Dengan kata lain berkenaan dengan demokrasi politik yang meliputi hak dan kewajiban, kegiatan dasar manusia, yang diorganisir secara ilmiah, pdagogis, dan psikologis. Sehingga dengan orientasi yang fundamental tersebut, diharapkan terbentuknya warga negara yang baik dapat direalisasikan secara optimal.
Dalam kajiannya sebagai salah satu dari pendidikan disiplin ilmu, istilah Pendidikan Kewarganegaraan sering disamakan dengean Ilmu Kewarganegaraan. Namun sebenarnya, Pendidikan Kewarganegaraan cakupannya lebih luas dari pada Ilmu Kewarganegaraan , terkait dengan tujuan Pendidikan Kewarganegaraa yang merupakan disiplin ilmu sebagai bentuk pembelajaran dari proses dan cara pembinaan terhadap warga negara menjadi warga Negara yang baik dengan acuan disiplin ilmu dari Ilmu kewarganegaraan. karena antara Pendidikan Kewarganegaraan dan Ilmu Kewarganegaraan adalah satu rangkaian disiplin ilmu yang saling berkaitan maka diperlukan sebuah konsep dimana antara Pendidikan Kewarganegaraan dan Ilmu Kewarganegaraan saling mengisi satu sama lain. Sehingga terjalin hubungan konsep yang berkesinambungan.
B. Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Disiplin Ilmu
Pendidikan Kewarganegaraan (Civics) sebagai suatu ilmu Kewarganegaraan memenuhi syarat sebagai sebuah ilmu seperti ilmu pengetahuan lainnya. Civics juga merupakan kumpulan dari berbagai macam pengalaman-pengalaman dan pengetahuan-pengetahuan dari para pakar, khususnya ilmu politik yang dipadukan secara harmonis dan telah diuji kebenarannya. Menurut pandangan para pakar ilmu pengetahuan, suatu pengetahuan dapat disebut sebagai ilmu apabila suatu pengetahuan memenuhi persyaratan-persyaratan seperti bersifat objektif, sistematis, eksperimental, memperluas pengetahuan, dan memiliki metode. (Suriakusumah, 1992).
1. Objektif
Artinya bahwa kesimpulan yang ditarik bebas dari perasaan-perasaan maupun prasangka-prasangka perseorangan, serta menjauhi hal-hal yang bersifat subjektif. Memang civics mempelajari perilaku manusia yang selalu penuh dengan dinamika, sehingga sulit diramalkan secara ilmiah. Namun demikian setiap ilmu berusaha menyederhanakan bahan penelitiannya. Dewasa ini ilmu-ilmu social termasuk didalamnya civics/Pendidikan Kewarganegaraan itu sendiri telah mengembangkan berbagai teknik kuantitatif penggunaan konsep-konsep, generalisasi-generalisasi, serta teori-teori yang dapat diuji secara empiris.
2. Sistematis
Dalam arti ilmu berupaya melihat sejumlah observasi yang kompleks dalam hubungan yang logis. Guna melihat keseluruhan dunia kenyataan, Pendidikan Kewarganegaraan membentuk berbagai macam teori-teori maupun pengertian-pengertian dari para ahli, yang dapat memberikan pegangan dalam mempelajari keadaan lingkungan sekitarnya.
3. Eksperimental
Kesimpulan yang ditarik sebagai suatu hasil penelitian seyogyanya merupakan hasil percobaan, sebab dengan eksperimenlah dapat diperoleh kesimpulan yang seobjektif mungkin berdasarkan pengujian yang berulang-ulang. Dalam teori perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan dapat dipelajari banyaknya eksperimen yang dilakukan oleh para ahli dalam upaya meningkatkan persatuan dan kesatuan bansa sesuai dengan perkembangan serta tuntutan perubahan zaman.
4. Memperluas Pengetahuan
Artinya suatu pengetahuan tidak berhenti setelah dipecahkannya suatu masalah, akan tetapi pemecahan masalah tersebut kiranya memberi kesempatan membuka suatu permasalahan baru. Demikian pula dengan civics, para pakar tidak berhenti pada suatu masalah yang telah mereka pecahkan, justru dengan pengetahuan itulah mereka berusaha mengetahui bahwa ada sesuatu yang lain yang belum mereka ketahui. Hal ini dapat dilihat dari perkembangannya pelajaran civ cs, baik di Negara-negara asing maupun di Indonesia yang berkaitan dengan isi maupun peristilahannya.
5. Memiliki Metode
Hakikat ilmu yang utama adalah sebagai suatu metode pendekatan terhadap keseluruhan dunia empiris, yaitu dunia kenyataan yang dapat dikenal oleh manusia melalui berbagai macam pengalamannya. Civics tumbuh dan berkembang berdasarkan pengalaman-pengalaman empiris manusia dalam hubungannya dengan negaranya masing-masing. Dari berbagai macam pengalaman tersebut dilakukanlah berbagai cara pendekatan yang dari waktu ke waktu diharapkan menjadi lebih baik serta bermanfaat.
Selain itu, sebuah ilmu juga harus memiliki unsur ontologi, epistimologi dan aksiologi. Pendidikan kewarganegaraan sebagai suatu bidang kajian ilmiah pendidikan disiplin ilmu yang bersifat terapan. Oleh karenanya pendidikan kewarganegaraan juga memiliki ketiga unsur tersebut. Ketiga unsur tadi akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Unsur Ontologi
Unsure ontologi pendidikan kewarganegaraan memiliki dua dimensi, yakni objek telaah dan objek pengembanngan (Winataputra, 2001). Objek telaah adalah keseluruhan aspek idiil, instrumental, dan praksis. Yang dimaksud dengan aspek idiil pendidikan kewarganegaraan adalah landasab dan kerangka filosofik yang menjadi titik tolak sekaligus sebagi muaranya pendidikan kewarganegaraan Indonesia. Yang termasuk ke dalam aspek idiil disini adalah landasan dan tujuan pendidikannasonal yangtertuang dalam UUD 1945 dan UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Sementara itu, yang dimaksud dengan aspek instrumental pendidikan kewarganegaraan adalah sarana programatik kependidikan yang sengaja dibangun dan dikembangkan untuk menjabarkan substansi aspek-aspek idiil. Yang termasuk ke dalam aspek instrumental tersebut adalah kurikulum, bahan belajar, guru, media, dan sumber belajar, alat penilaian belajar, ruang belajar dan lingkungan.
Adapun yang dimaksud dengan praxis dalam bahasa Latin, pendidikan kewarganegaraan adalah perwujudan nyata dari sarana programatik pendidikan yang kasat mata, yang pada hakikatnya merupakan penerapan konsep, prinsip, prosedur, nilai, dalam pendidikan kewraganegaraan sebagai dimensi yang berinteraksi dengan keyakinan, semangat dan kemampuan para praktisi, serta konteks pendidikan kewarganegaraan yang didikat oleh substansi idiil sebagai dimensi pronesis yakni truth and justice (Carr and Kemis: 1986 dalam Budimansyah & Suryadi). Yang termasuk ke dalam praksis pendidikan kewarganegaraan adalah interaksi belajar di kelas dan atau di luar kelas dan pergaulan social-budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang memberi dampak edukatif kewarganegaraan.
Sedangkan objek pengembangan pendidikan kewarganegaraan adalah ranaha social-psikologis, yakni keseluruhan potensi social peserta didik yang oleh Bloom (1956), Kratzwohl (1962), Simpson (1967), dikategorikan sebagai ranah kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik, yang secara programatik diupayakan untuk ditingkatkan kualitas dan kuatitasnya melalui kegiatan pendidikan.
Aspek kepribadian warganegara yang perlu dikembangkan adalah menjadi insane berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah (Visi Pendidikan Nasional menurut UU No. 20 tahun 2003). Sejalan dengan hal ini Depdiknas berhasrat untuk menghasilkan insan Indonesia yang cerdas komprehensif dan kompetitif. Cerdas komprehensif meliputi cerdas spiritual, cerdas emosional, cerdas social, cerdas intelektual, dan cerdas kinestetik. Sedangkan maksud manusia kompetitif adalah memiliki kepribadian unggul dan gandrung akan keunggukan, bersemangat juang tinggi, mandiri, pantang menyerah, inovatif, produktif, sadar mutu, berorientasi global, pembelajar sepanjang hayat.
2. Unsur Epistimologi
Epistimologi pendidikan kewarganegaraan mencakup metodologi penelitian dan metodologi pengembangan. Metodologi penelitian digunakan untuk mendapatkan pengetahuan baru melalui metode penelitian kuantitatif dan metode penelitian kualitatif. Sedangkan metode pengembangan digunakan untuk mendapatkan paradigma pedagogis dan rekayasa kulikuler yang relevan guna mengembangkan aspek-aspek social-psikologis peserta didik dengan cara mengorganisasikan berbagai unsure instrumental dan kontekstual pendidikan. Metode penelitian dan metode pengembangan dapat pula diperlakukan secara terintegrasi sebagai kegiatan penelitian dan pengembangan, seperti dalam bentuk kegiatan penelitian tindakan atau “action research”.
3. Unsur Aksiologi
Aksiologi pendidikan kewarganegaraan adalah berbagai manfaat dari hasil penelitian, hasil pengembangan, dan/atau hasil penelitian dan pengembangandalam bidang kajian pendidikan kewarganegaraan yang telah dicapai bagi kepentingan dunia pendidikan, khususnya bagi dunia persekolahan dan pendidikan tenaga kependidikan. Salah satu contoh penting manfaattersebut adalah dikembangkannya berbagai model pembelajaran nilai yang merupakan salah satu misi dari pendidikan kewarganegaraan.


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari paparan permasalahan di atas, maka dapat disimpukan beberapa hal yang berkaitan dengan kedudukan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Pendidikan Disiplin Ilmu, antara lain:
1. Pendidikan kewarganegar¬aan dalam pengertian sebagai citizenship education, mempunyai lima status yakni; sebagai mata pelajaran di sekolah; sebagai mata kuliah di perguruan tinggi; sebagai salah satu cabang pendidikan disiplin ilmu pengetahuan sosial dalam kerangka program pendidikan guru; sebagai program pendidikan politik dan Pancasila; dan sebagai kerangka konseptual dalam bentuk pemikiran ndividual dan kelompok pakar terkait, yang dikembangkan sebagai landasan dan kerangka berpikir mengenai pendidikan kewarganegaraan dalam status perta¬ma, kedua, ketiga, dan keempat.
2. Secara konseptual pendidikan disiplin ilmu ini memusatkan perhatian pada program pendidikan disiplin ilmu politik, sebagai substansi induknya.
3. Secara pendidikan disiplin ilmu kurikuler program pendidikan ini berorientasi kepada pengadaan dan peningkatan kemampuan profesional guru pendidikan kewarganegaraan.
4. Program pendidikan disiplin ilmu bidang studi ilmu social dirumuskan sebagai “program pendidikan yang menyeleksi disiplin ilmu-ilmu social dan humaniora yang diorganisasikan dan sajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan
5. Pendidikan Kewarganegaraan memenuhi syarat sebagai suatu disiplin ilmu.
B. Saran
Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Pendidikan Disiplin Ilmu perlu mendapat kajian yang lebih spesifik lagi dari kita selaku kaum ilmuan. Hal ini mengingat kompleksnya permasalahan yang terdapat di dalamnya, yang menuntut kita untuk mengkaji lebih mendalam, baik secara konseptual maupun kontekstual pemahaman yang menyeluruh bila kita ingin Pendidikan Kewarganegaraan tetap eksis dalam perkembangan selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA
Sumantri, N. (2005). Menggagas Pembahruan Pendidikan IPS. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Suriakusumah. (1992). Pengantar Pendidikan Kewarganegaraan dan Masalah Warganegara. Bandung: IKIP Bandung.
TIM ICCE UIN JAKARTA. (2005). Pendidikan Kewarganegaraan Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyarakat Madani. Jakarta: Prenada Media.
ProdiPKNSPsUPI. Powered by WordPress | Talian designed by VA4Business, Virtual Assistance for Business who's blog can be found at Steve Arun's Virtual Marketing Blog.