Jumat, 02 Maret 2012

MENGENAL LEBIH DEKAT BAGIAN ADMINISTRASI AKADEMIK (BAAK) STKIP PERSADA KHATULISTIWA SINTANG

solagracia-mardhawani-civic

Biro Administrasi Akademik (BAAK) pada STKIP Persada Khatulistiwa adalah unsur pembantu pimpinan dibidang administrasi akademik yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Ketua STKIP-Persada Khatulistiwa Sintang melalui PK 1. Dalam pelaksanaan tugas dan tanggungjawabnya, BAAK sering kali menjadi sorotan dari berbagai pihak, terutama terkait dengan tugas pelayanannya yang langsung berhadapan dengan mahasiswa. Berdasarkan hasil evaluasi lembaga 5 tahunan dibawah pimpinan Ketua STKIP-PK Sintang, Prof. Dr. Hamid Dharmadi, M.Pd dan Ketua Yayasan BPKB Sintang Bapak Drs. Y.A.T. Lukman Riberu, M.Si pada tahun 2011 dilakukan penyegaran kembali dengan merolling unit kerja, menambah personil staf pada beberapa bagian yang dianggap perlu, serta memantapkan kembali visi dan misi BAAK.

Dalam perjalanannya selama ini, kritikan dan masukan dari berbagai pihak kepada BAAK yang kami terima dijadikan sebagai suatu masukan yang sifatnya membangun demi terwujudnya visi dan misi BAAK kedepan. Keinginan untuk menjadikan BAAK sebagai pusat layanan yang bersih dan bermutu telah diupayakan dengan berbagai terobosan. Kini BAAK dengan segala keterbatasanya berupaya memberikan yang terbaik melalui Motto: Melakukan pekerjaan sebagai salah satu bentuk pelayanan dan kasih mengacu kepada visi-misi STKIP-Persada Khatulistiwa Sintang. Berdasarkan motto tersebut, BAAK selalu melakukan evaluasi kinerja baik melalui Kepala Bagian BAAK Mardawani, S.Pd.,M.Pd, maupun unsur pimpinan, khususnya PK 1 Bapak Drs. Rafael Suban Beding, M.Si.

Sebagai salah satu bagian terdepan yang berhubungan langsung dengan kegiatan mahasiswa, BAAK menjadi pusat layanan kegiatan yang secara rutin dan berkesinambungan memberikan pelayanan administrasi. Suka duka dalam melaksanakan tugas BAAK juga dirasakan oleh para personil, terutama para staf. Tidak jarang para staf dihadapkan pada tingkah laku mahasiswa yang cukup menguji kesabaran. Misalnya, ada yang tidak sabar dalam mengantri, ada kesalahpahaman ketika sedang ada pekerjaan yang harus diprioritaskan para staf dianggap mempersulit, sampai-sampai pada hari libur (minggu) pernah ada mahasiswa yang memaksa untuk dilayani, dan lain sebagainya. Namun semua itu bisa terlewati karena kami menyadari sepenuhnya bahwa itu adalah konsekuensi dari tugas dan tanggung jawab pengabdian.

Menyadari akan pentingnya peranan BAAK sebagai jantung dari keseluruhan kegiatan lembaga STKIP-PK Sintang, saat ini lembaga berupaya terus memantapkan kembali kinerja BAAK dengan berbagai langkah, diantaranya dengan: (1) memperhatikan kesejahteraan staf dengan mengangkat menjadi pegawai tetap; (2) melengkapi personil staf, dimana BAAK secara kuantitas saat ini personilnya terdiri dari satu orang Kepala Bagian, lima orang staf Prodi, satu orang staf Prasarana, stu orang staf EPSBED dan satu orang staf Ketenagaan, serta; (3) dari segi kualitas jenjang pendidikan, para staf terdiri dari dua orang Strata Dua (S2), tiga orang Strata Satu (S1), dan tiga orang Diploma Tiga (D3).

Adapun visi dan misi BAAK yang diharapkan dapat diwujudkan pada periode 2011-2014 adalah sebagai berikut:

VISI

Biro Administrasi Akademik menjadi pusat pelayanan akademik yang prima terhadap seluruh civitas akademik (cepat, tepat, prosedural, bersih dan mudah) sesuai dengan perkembangan dan kemajuan IPTEKS.

MISI

1. Memberikan layanan akademik secara optimal melalui tenaga yang profesional terhadap civitas akademik baik secara manual maupun digital.

2. Memberikan layanan informasi akademik yang optimal melalui prosedur yang singkat, tepat, bersih dan mudah.

3. Menyempurnakan data base dan peningkatan informasi data yang akurat sesuai dengan kebutuhan.

Demi mewujudkan visi dan misi BAAK kami berharap seluruh civitas dan elemen terkait untuk berpartisipasi mengawal pelaksanaan tugas dan tanggungjawab pada BAAK, baik selaku Kepala Bagian maupun para Staf, karena kritikan dan masukan yang bersifat membangun itulah yang akan menentukan kualitas kinerja BAAK kedepan.

Minggu, 24 Januari 2010

Perhatikan Dengan Siapa Anda Bergaul


solagracia-mardhawani-civic

PERHATIKAN DENGAN SIAPA ANDA BERGAUL
Jangan kamu sesat:
Pergaulan yang buruk merusak kebiasaan yang baik
1 Korintus 15:33

Hidup Anda sebagian besar ditentukan oleh orang-orang yang berasama-sama dengan Anda. Jika Anda berlari bersama seekor srigala, Anda akan belajar cara melonglong. Tapi jika Anda bergaul dengan elang, Anda akan belajar cara membumbung tinggi di angkasa.

Amsal 13:20 berkata, “siapa bergaul dengan orang bijak menjadi bijak, tetapi siapa berteman dengan orang bebal menjadi malang”. Wajah seseorang dipantulkan oleh cermin, namun seperti apa Anda sesungguhnya dicerminkan oleh orang-orang yang bergaul erat dengan Anda-entah itu baik, entah itu buruk. Percaya atau tidak: hampir semua kesedihan berasal dari hubungan dengan orang yang salah. Semakin sedikit Anda berhubungan dengan orang yang negative, semakin banyak kemajuan yang bisa Anda capai. Setiap kali Anda kompromi dengan kekurangan orang lain, berarti Anda sedang menambah kekurangan Anda. Lebih baik Anda sendiri daripada berteman dengan orang tidak baik.

Jika Anda merasa mundur dua langkah setiap kali berusaha membuat kemajuan satu langkah, hal itu bisa dikarenakan Anda telah mencampuradukkan pergaulan baik dan buruk dalam hidup Anda.

Jika seorang pemalas tidak membuat Anda merasa terganggu, mungkin itu tandanya bahwa Anda sama seperti dia.

Pilihlah siapa yang akan menjadi teman dekat Anda dengan hati-hati. Pepatah kuno berkata, “orang yang berbaring bersama anjing akan bangun bersama kutunya”. Thomas Carlyle mengatakan, “tunjukkanlah kepada saya orang yang Anda hormati, dan saya akan tahu orang seperti apa Anda, karena hal itu menunjukkan pada saya sosok manusia ideal Anda, dan bahwa Anda ingin menjadi seperti itu”.

(Sumber: Steven Wijaya: GBI Setia Budhi).

Minggu, 27 Desember 2009

Rencana Penelitian Dosen STKIP-PK Sintang


solagracia-mardhawani-civic

A. Judul Penelitian
PEMBINAAN SEMANGAT NASIONALISME INDONESIA DALAM MENGHADAPI TANTANGAN KOSMOPOLITANISME DAN ETNISITAS MELALUI PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (Studi Pada SMP Negeri 01 Entikong, Wilayah Perbatasan Indonesia-Malaysia)


Oleh: Mardawani (0808220)

Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia tahun 2009

B. Latar Belakang Penelitian
Bangsa Indonesia sebagai sebuah negara yang berada di bawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah genap berusia 64 tahun sejak kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, sampai saat ini dihadapkan pada sebuah tantangan besar yakni bagaimana mempertahankan semagat nasionalisme bangsa Indonesia dalam mengisi dan mempertahankan kemerdekaanya. Sebagai sebuah negara yang terdiri dari beranekaragam suku, agama dan ras, serta wilayahnya yang sangat luas terdiri atas ribuan pulau, bangsa Indonesia harus tetap memiliki daya pengikat yang dapat mempererat persatuan dan kesatuan bangsa yang disebut nasionalisme. Namun tantangan ini semakin dirasakan manakala bangsa kita dihadapkan pada dua kekuatan utama yang dapat menghimpit semangat nasionalisme, yakni kosmopolitanisme yang seiringan dengan globalisasi, serta etnisitas yang beriringan dengan etnosentrisme. Bahkan sejalan dengan dunia yang semakin menglobal (globalizing world) dalam tradisi ilmu sosial kosmopolitanisme dianggap sebagai oposisi dari nasionalisme (Kalidjernih, 2009:1).


Dalam memasuki era globalisasi ini, mau tidak mau bangsa kita harus mampu berkompetisi di dunia yang cenderung tanpa batas. Globalisasi selalu identik dengan konsep pengurangan kedaulatan sebuah negara, penghilangan batas wilayah sebuah negara, kecanggihan teknologi, penyempitan ruang dunia dan pengembangan transaksi perdagangan berdasarkan kepada pemikiran perdagangan bebas. Dalam pandangan Kenichi Ohmae sebagaimana yang dikutip Angraeni (2009: 11) misalnya globalisasi bukan saja membawa ideologi yang bersifat global dalam hal ini demokrasi liberal di kalangan penduduk dunia, tetapi juga turut mengancam proses pembentukan negara bangsa, karena globalisasi pada intinya ingin mewujudkan negara tanpa batas (Borderless). Globalisasi tidak hanya mendatangkan dampak positif, tetapi juga membawa dampak negatif. Karena itulah menurut Mazlish dan Buultjes dalam Anggraeni (2009: 11) menyebutkan ”starting point for global history” adalah menguatnya fenomena globalisasi itu sendiri yang berdimensi luas membawa harapan dan kecemasan. Dalam keadaanya yang sedemikian, globalisasi membawa pengaruh kosmopolitanisme. Seperti yang dikemukakan oleh Tilaar (2002: 4) dampak negatif globalisasi, pertama-tama ialah globalisasi akan dapat mengancam budaya bangsa. Budaya kosmopolitan yang dihasilkan oleh globalisasi akan muncul dan dapat mematikan budaya lokal suatu bangsa. Dewasa ini kosmopolitanisme bukan sekedar globalisasi tetapi sudah kepada penyempitan ruang gerak (Kalidjernih 2009). Fenomena tersebut sekarang mulai mengikis semangat nasionalisme warga negara.


Sejalan dengan hal tersebut sebagaimana kita ketahui sesungguhnya bahwa masalah nasionalisme bangsa Indonesia sangatlah kompleks, kepercayaan diri dan kebanggaan akan simbol budaya bangsa sendiri semakin menurun akhir-akhir ini. Dalam istilah Kumoro (2006:5) kondisi ini disebutkan bahwa nasionalisme bangsa kini terasa kian meredup sinarnya. Terutama semangat nasionalisme pada masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan dengan negara lain pada dekade terakhir ini sudah mulai menunjukan gejala semakin memudar. Hal ini terlihat dari adanya fenomena yang terjadi di lingkungan masyarakat perbatasan, dengan kehadiran produk-produk negara lain baik secara fisik maupun non-fisik, serta lemahnya wawasan kebangsaan masyarakat perbatasan semakin membuktikan. Kondisi ini tidak hanya terjadi pada masyarakat dewasa, namun juga terjadi pada anak-anak usia sekolah, yang bahkan tidak tahu mengenai identitas nasionalnya. Namun sebaliknya, simbol budaya asing justru lebih diminati dan semakin populer di kalangan generasi muda saat ini. Tilaar (2002:1) Perubahan global yang sedang terjadi, kini merupakan suatu revolusi global yang melahirkan suatu gaya hidup (a new life style). Gaya hidup global cepat diserap oleh masyarakat akibat majunya arus informasi yang dihasilkan oleh teknologi.


Lebih lanjut dikatakan bahwa karakteristik gaya hidup tersebut ialah kehidupan dunia yang dilandasi oleh persaingan sehingga meminta masyarakat dan organisasi didalamnya untuk membenahi diri mengikuti perubahan-perubahan cepat yang terjadi. Ini berarti manusia Indonesia harus dipersiapkan untuk menghadapi masyarakat global. Senada dengan pendapat di atas, Komalasari (2007:554) mengatakan saat ini disinyalir bahwa nasionalisme Indonesia rapuh dalam menghadapi gejala-gejala muthakir berupa solidaritas parochial dan kekuatan eksternal akibat pengaruh globalisasi, baik kekuasaan kolonial, penetrasi transnasional corporation, multinational corporation, maupun lembaga-lembanga internasional lainya.
Sementara disisi lain ancaman akan nasionalisme muncul dari masyarakat dalam ruang yang lebih sempit, yaitu suatu sifat kedaerahan atau nasionalisme yang sempit berupa kesukuan (etnisitas). Banyak studi yang terkait dengan konflik yang bernuasa etnik, dan agama di beberapa daerah di Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah akibat dari lemahnya pemahaman dan pemaknaan tentang konsep kehidupan berbangsa dan bernegara. Konflik akan muncul apabila tidak ada distribusi nilai yang adil kepada masyarakat. Perbedaan ras pada masyarakat menjadi penanda awal yang secara budaya sudah dilabelkan hambatan-hambatannya, yakni prasangka rasial. Prasangka rasial ini sangat sensitif karena melibatkan sikap seseorang ataupun kelompok etnik tertentu terhadap etnik lain. Prasangka ini juga bisa muncul oleh situasi sosial, sejarah masa lalu, stereotipe dan etnosentrisme yang menjadi bagian dalam kebudayaan kelompok tertentu. Dengan kata lain dinamika dan perkembangan masyarakat Indonesia kedepan sangat dipengaruhi oleh hubungan-hubungan antar etnis.
Realitas itu diperparah dengan lemahnya civic nationalism bangsa sehingga mengakibatkan suburnya semangat ethno-nationalism di masyarakat. Ethno-nationalism ialah bentuk nasionalisme yang berbasis identitas-identitas primordial, seperti etnis, suku, dan ras. Akan tetapi, dalam pengertian lebih luas, ethno-nationalism didefinisikan sebagai doktrin yang melekat pada suatu kelompok masyarakat yang merasa memiliki perbedaan budaya, sejarah, maupun prinsip-prinsip hidup tersendiri sehingga mereka merasa perlu memiliki sebuah pemerintahan sendiri. Ethno-nationalism dapat pula dibaca sebagai bentuk hilangnya loyalitas dari suatu kelompok masyarakat tertentu terhadap sebuah ikatan yang lebih besar, yakni bangsa dan negara Indonesia. Jika fenomena ethno-nationalism berlangsung dalam jangka waktu lama, bukan mustahil bila riwayat NKRI akan berujung pada disintegrasi sebagaimana pernah dialami Uni Soviet.


Negara Indonesia yang terdiri atas beranekaragam suku, agama dan ras sangat rentan menjadi ancaman terhadap nasionalisme. Suka atau tidak suka, entah dengan alasan teoritis maupun ilmiah, gambaran tentang perbedaan yang sedang kita alami dalam masyarakat mengungkapkan bahwa dari dasar-dasarnya berasal dari kelompok tertentu yang kita sebut kelompok etnik (Liliweri, 2005:5). Berdasarkan suatu temuan pada hasil Riset Demos Tersedia [Online] pada http://www.demos.or.id/TEMPO/4Demos_6Mar05.pdf, dalam Komalasari (2007: 560), yang dilakukan dengan mewawancarai 798 responden tentang bagaimana kelompok-kelompok masyarakat sekitar mereka melaksanakan identifikasi diri, ditemukan 10% responden mengidentifikasikan diri berdasarkan agama, 14% berdasarkan desa, 18% berdasarkan provinsi, 19% berdasarkan bangsa Indoensia, dan 39% berdasarkan suku (etnis). Data tersebut menunjukan bahwa masyarakat bangsa Indonesia lebih suka mengidentifikasikan diri sebagai komunitas suku (39%) dari pada sebagai orang Indonesia (19%). Lebih lanjut Komalasari menyatakan bahwa fakta ini dapat melahirkan ancaman berupa munculnya bentuk-bentuk relasi dalam masyarakat yang ekslusif, yang pada akhirnya dapat menjadi bibit bagi munculnya konflik-konflik horizontal antar kelompok masyarakat. Hal inilah yang terjadi di Kalimantan Barat, sebagai salah-satu provinsi yang dihuni oleh sekitar 85 etnik (Garna, 1991, Hidayah, 1996) dalam Liliweri 2005:8), dan berada di daerah yang berbatasan langsung dengan negara lain mempunyai kecenderungan rawan konflik yang dapat memudarkan rasa nasionalisme.
Tercatat telah berulangkali terjadi konflik etnis dalam sejarah kalimantan Barat dalam beberapa dekade secara berulang, menurut Adi Prasetijo (2008:2), yakni:
Misalnya pada masa Hindia Belanda ada beberapa kasus konflik yang melibatkan etnis Tionghoa, Dayak, dan Melayu. Kemudian pada masa setelah kemerdekaan pada tahun 1950 yang melibatkan etnis Tionghoa dan Melayu. Dan puncaknya memang kasus konflik etnis tahun 1997-1999 yang melibatkan etnis Madura, Melayu, dan Dayak. Konflik etnis yang menelan jiwa hingga ribuan nyawa melayang dan jutaan orang kehilangan tempat tinggal dan hartanya. Sedikit banyak fakta ini menunjukkan bahwa Kalimantan Barat memang rawan terhadap potensi-potensi konflik yang bersifat keetnisan yang dapat memudarkan semangat nasionalisme anak bangsa yang ada disana.

Secara nasional Kalimantan Barat menempati urutan tiga besar sebagai salah satu daerah yang cukup tinggi tingkat konflik, terutama konflik etnis. Data United Nation Developmen Program-Badan Perencanaan Nasional (UNDP-Bappenas) menunjukkan bahwa pada periode 1990 hingga 2003, konflik dengan kekerasan di Indonesia mengakibatkan kematian 10.758 orang, dengan proporsi terbesar yaitu konflik yang bersifat etno-komunal (antar etnik, agama dan sekte agama) sebesar 89.3 persen atau menelan 9.612 korban. Konflik terjadi di 14 propinsi dimana kasus tertinggi terjadi di Maluku Utara (72 insiden dan 2.794 korban jiwa); Maluku (332 insiden dan 2.046 korban jiwa) dan Kalimantan Barat (78 insiden dan 1.515 korban jiwa).


Fenomena nasionalisme Indonesia dengan segala problematikanya saat ini menjadi sebuah bahan kajian yang penting untuk diperhatikan. Salah satu aspek yang penting didalamnya menyangkut hubungan antara nasionalisme dengan fenomena kebangkitan sentimen primodialisme atau etnisitas didaerah perbatasan. Hal ini karena tidak dapat dipungkiri bahwa semangat kembali ke nilai-nilai primordial dirasakan makin tumbuh dan menguat setelah reformasi berlangsung persoalan kebangkitan sentimen primodialisme, baik dalam ekspresi keetnisan maupun keagamaan, penting untuk dipahami sebab eksistensi nasionalisme sebagai sumber semangat untuk mempersatukan keragaman masyarakat dan seluruh teritorial bangsa, dapat goyah ketika sentimen primordial menguat dan menunjukan ekpresi perlawananya.


Letak wilayah Kalimanatan Barat yang berbatasan langsung dengan negara Malaysia bukan tidak mungkin bahwa kondisi ini semakin menghimpit semangat nasinalisme anak bangsa, terutama anak-anak yang merupakan bagian dari masyarakat di daerah yang berbatasan langsung dengan negara lain. Pada hal nasionalisme sebuah bangsa menentukan arah pergerakan bangsa tersebut kepada pilihan yang lebih buruk atau baik. Tanpa adanya nasionalisme, tidak akan ada visi, tidak akan ada kedaulatan, dan tidak akan ada perubahan bagi bangsa ini (Therik, 2007). Untuk itu lah nasionalisme dan semangat kebangsaan perlu dibina, baik oleh individu warga negara maupun pemerintah.


Pada hakikatnya permasalahan ini tidak perlu dibiarkan terjadi berlarut-larut, kita harus mengkajinya terutama dari segi Pendidikan Kewarganegaraan. Sebab nasionalisme dan semangat kebangsaan tidak dapat terpelihara dengan sendirinya, melainkan perlu pembinaan secara berkesinambungan dari berbagai pihak, baik individu, kelurga, sekolah maupun masyarakat. Daerah perbatasan khususnya perlu mendapat pembinaan yang berkesinambungan tersebut terutama melalui strategi preventif dalam pembelajaran di sekolah yang dilakukan sejak dini. Bagi masyarakat daerah perbatasan semangat nasionalisme yang semakin menurun akibat pengaruh kosmopolitanisme dan etnisitas adalah hal utama yang harus mendapat perhatian. Dalam kaitannya dengan hal ini, Tri Poetranto dalam Buletin Puslitbang Strahan Balitbang Dephan (2008 : 4-6) mengemukakan nilai strategis mengapa daerah perbatasan perlu diperhatikan pembinaanya, antara lain:

1. Daerah perbatasan mempunyai pengaruh penting bagi kedaulatan negara.
2. Daerah perbatasan merupakan faktor pendorong bagi peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat sekitarnya
3. Daerah perbatasan mempunyai keterkaitan yang saling mempengaruhi dengan kegiatan yang dilaksanakan di wilayah lainnya yang berbatasan dengan wilayah maupun antar negara.
4. Daerah perbatasan mempunyai pengaruh terhadap kondisi pertahanan dan keamanan, baik skala regional maupun nasional.

Di sisi lain, semangat nasionalisme dalam suatu bangsa yang terbangun sejak jaman kemerdekaan lalu masih tetap relevan dengan dunia masa kini. Bagi Indonesia, rumusan paham kebangsaan nasional Indonesia telah tercantum dengan jelas dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu membangun sebuah negara kebangsaan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, membina persahabatan dalam pergaulan antar bangsa, menciptakan perdamaian dunia yang berlandaskan keadilan, serta menolak penjajahan dan segala bentuk eksploitasi, yang bertentangan dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Upaya mengembangkan paham kebangsaan itu, dengan sendirinya akan menyesuaikan diri dengan tantangan perubahan zaman. Namun, esensinya sama sekali tidak berubah. Nasionalisme harus memperkuat posisi ke dalam, dengan memelihara dan mempertahankan kedaulatan dan integritas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Nasionalisme yang harus dibangkitkan kembali adalah nasionalisme yang diarahkan untuk mengatasi semua permasalahan, bagaimana bisa bersikap jujur, adil, disiplin, berani melawan kesewenang-wenangan, tidak korup, toleran, dan lain-lain. Bila tidak bisa, artinya kita tidak bisa lagi mempertahankan eksistensi bangsa dan negara dari kehancuran total. (Abubakar, 2008). Untuk mencegah agar tidak terjadi hal-hal yang demikian maka sebaiknya kita harus mengupayakan secara sistematis, pragmatis, integrated dan berkesinambungan melalui pendidikan kewarganegaraan.


Pendidikan kewarganegaraan diharapkan mampu meningkatkan kesadaran masyarakat akan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Pendidikan kewarganegaraan sebagai sarana untuk membangkitkan semangat nasionalisme, yang dapat dilakukan dengan senantiasa memupuk rasa persatuan dan kesatuan bangsa dan bernegara dalam kehidupan bermasyarakat. Kehendak bangsa untuk bersatu dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia merupakan syarat utama dalam mewujudkan nasionalisme nasional. Di samping itu, perlu dikembangkan semangat kebanggaan dan kebangsaan dalam tiap individu rakyat Indonesia. Kebanggaan yang harus dikembangkan adalah kebanggaan yang dapat dirasakan oleh seluruh bangsa, sehingga kehendak untuk bersatu masih tetap berakar di dalam hati sanubari demi terciptanya nasionalisme.


Berkaitan dengan hal di atas, pendidikan kewarganegaraan memiliki peranan penting dalam upaya mengembangkan masyarakat Indonesia yang tetap memiliki semangat nasionalisme yang tinggi dalam menghadapi tantangan kosmopolitanisme dan etnisitas. Lebih lanjut dikatakan dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional (Sisdiknas) pasal 37, pendidikan kewarganegaraan merupakan nama mata pelajaran wajib untuk kurikulum pendidikan dasar dan menegah dan mata kuliah wajib untuk kurikulum pendidikan tinggi. Ketentuan ini dijelaskan lagi pada bagian penjelasan dari Undang-Undang tersebut bahwa ”pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air”. Di sana jelas menunjukkan bahwa pendidikan kewarganegaraan memegang peranan penting dalam membina semangat nasionalisme indonesia dalam wujud semangat kebangsaan dan cinta tanah air.


Dalam kaitanya dengan pengajaran PKn perlu dikembangkan pengajaran PKn yang bersifat maksimal yang ditandai oleh: “Thick, inclusive, activist, citizenship education, participative, proses-led, values-based, interactive interpretation, more difficult to achieve and meansure in practice”. Maksudnya adalah didefinisikan secara luas , mewadahi berbagai aspirasi dan melibatkan berbagai unsure masyarakat, kombinasi pendekatan formal dan informal, dilabel “citizenshipeducation”, menitikberatkan pada partisipasi siswa melalui pencarian isi dan proses interaktif di dalam maupun luar kelas, hasilnya lebih sukar dicapai dan diukur karena kompleknya hasil belajar (David Kerr, 1995: 5-7, Winataputra dan Budimansyah, 2007: 28) .
Pertimbangan akan pentingnya pembinaan semangat nasionalisme melalui pendidikan kewarganegaraan diperkuat oleh hasil penelitian terdahulu Litbang Kompas (2002), Triardianto dan Suhardiman (2002:321, Fajar (2003:137), Komalasari (2007561-562), dan Anggraeni (2009) yang menunjukkan bahwa nasionalisme bangsa Indonesia perlu mendapat pembinaan yang berkesinambungan guna menghadapi berbagai tantangan dewasa ini.


Dari uraian di atas, maka penulis terdorong untuk mengkaji lebih mendalam tentang masalah yang berkaitan dengan pentingnya: Pembinaan Semangat Nasionalisme Indonesia Dalam Menghadapi Tantangan Kosmopolitanisme dan Etnisitas Melalui Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (Studi Pada SMP Negeri 01 Entikong, Wilayah Perbatasan Indonesia-Malaysia)

C. Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang masalah di atas, dapat peneliti rumuskan suatu masalah pokok atau focus penelitian yakni “Bagaimana pembinaan semangat nasionalisme Indonesia dalam menghadapi tantangan kosmopolitan dan etnisitas melalui pembelajaran pendidikan kewarganegaraan?”
Agar penelitian ini lebih terarah dan memudahkan dalam penganalisaan terhadap hasil penelitian, maka masalah pokok tersebut dijabarkan dalam beberapa sub-sub masalah sebagai berikut:
1. Metode apakah yang digunakan oleh guru PKn untuk menerapkan konsep pembinaan semanagat nasionalisme Indonesia siswa di SMP Negeri 01 Entikong, wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia?
2. Bagaimanakah tantangan kosmopolitanisme dan etnisitas yang ada dalam masyarakat Entikong, wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia?
3. Upaya apakah yang dilakukan guru PKn dalam pembinaan semangat nasionalisme Indonesia siswa untuk menghadapi tantangan kosmopolitan dan etnisitas?
4. Hambatan apakah yang dihadapi oleh guru PKn dalam pembinaan semangat nasionalisme Indonesia di SMP Negeri 01 Entikong, wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia?
Sub-sub masalah di atas dapat penulis jadikan sebagai pertanyaan pokok penelitian.

D. Definisi Konsep
Dalam judul penelitian ini, terdapat lima konsep utama, yakni semagat nasionalisme, kosmopolitanisme, etnisitas, pendidikan kewarganegaraan dan wilayah perbatasan.
1. Pembinaan
Pembinaan adalah usaha suatu proses pengendalian profesional terhadap semua unsur agar unsur tersebut berfungsi sehingga rencana pencapaian tujuan dapat terlaksana secara efektif, efisien dan sempurna.

2. Semangat Nasionalisme Indonesia
Semangat adalah suatu perasaan atau keinginan yang bergelora untuk melakukan sesuatu. Sedangkan nasionalisme adalah suatu paham yang mengacu pada keadaan jiwa yang berupa keinsyafan dan kesadaran berbangsa, bernegara dan bertanah air yang lahir secara alamiah karena kesamaan sejarah, kebersamaan kepentingan, rasa senasib dan sepenanggungan dalam menghadapi masa lalu, kini dan akan datang yang dapat diwujudkan oleh sikap yang ditunjukkan oleh seseorang dalam bentuk mengutamakan kepentingan bangsa, negara, dan tanah air daripada kepentingan yang lainnya.
Dengan demikian maka pembinaan semangat nasionalisme dapat diartikan sebagai suatu upaya kepada pembinaan semangat agar memiliki keinsyafan dan kesadaran untuk mengutamakan kepentingan bangsa, negara, dan tanah air daripada kepentingan yang lain dalam menghadapi masa lalu, masa kini maupun masa yang akan datang.

2. Kosmopolitanisme
Kosmopolitanisme merujuk kepada suatu gagasan atau paham yang menyatakan bahwa semua manusia, tanpa memandang latar belakangnya, adalah anggota dari sebuah komunitas yang disebut warga dunia. Kosmopolitan merupakan pemusatan masyarakat menjadi satu visi yang cenderung kepada suatu budaya tertentu, yang disebut budaya dunia. Kosmopolitanisme dipicu oleh globalisasi yang melahirkan kehidupan tanpa batas.

3. Etnisitas
Dalam konsep ini yang dimaksud oleh penulis sebagai etnisitas adalah suatu kelompok sosial masyarakat atau suatu golongan manusia yang anggota-anggotanya mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya, biasanya berdasarkan garis keturunan, budaya, keturunan, adat-istiadat, agama, bahasa yang sama serta tinggal dalam satu kawasan tertentu sehingga memiliki sifat dan pandangan tertentu yang identik dengan kelompoknya tersebut.

4. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
Pembelajaran pada hakekatnya merupakan suatu proses penyampaian pengetahuan yang bertujuan membentuk manusia berbudaya melalui proses pewarisan dan upaya mempersiapkan peserta didik menjadi masyarakat yang baik. Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan diri yang beragam dari aspek agama, sosial kultural, bahasa, usia dan suku bangsa untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945 (Depdiknas, 2003:7).
Dari pengertian keduanya tersebut, maka yang dimaksudkan oleh penulis dengan pembelajaran pendidikan kewarganegaraan adalah proses belajar mengajar atau interaksi timbal balik antara guru dan siswa, siswa dengan siswa yang memfokuskan pada pembentukan siswa menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil dan berkarakter nasional.

5. Wilayah Perbatasan
Wilayah perbatasan adalah suatu daerah yang posisi/letaknya berbatasan lansung secara geografis dengan suatu kawasan (negara) lain. Masyarakat perbatasan adalah suatu kesatuan-kesatuan khusus dalam masyarakat yang menurut kategori sosial, golongan sosial, komunitas kelompok dan perkumpulan yang saling berinteraksi dan memiliki ikatan khusus dan bertempat tinggal di wilayah perbatasan (Gaspersz, 2008). Sedangkan yang dimaksud dengan masyarakat perbatasan di sini adalah orang-orang (Warga negara Indonesia) yang merupakan masyarakat bangsa Indonesia yang bertempat tinggal di wilayah perbatasan Indonesia dengan Malaysia.

E. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Secara umum, penelitian ini bertujuan menggali dan mengungkapkan pembinaan semangat nasionalisme Indonesia dalam menghadapi tantangan kosmopolitanisme dan etnisitas melalui pembelajaran pendidikan kewarganegaraan di SMP N 01 Entikong, wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia .

2. Tujuan Khusus
Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk mengali, mengungkapkan dan menganalisis informasi tentang:
1. Metode yang digunakan oleh guru PKn untuk menerapkan konsep semanagat nasionalisme Indonesia siswa di SMP Negeri 01 Entikong, wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia
2. Tantangan kosmopolitanisme dan etnisitas yang ada dalam masyarakat Entikong, wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia
3. Upaya yang dilakukan guru PKn dalam pembinaan semangat nasionalisme Indonesia siswa untuk menghadapi tantangan kosmopolitan dan etnisitas di SMP N 01 Entikong, wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia.
4. Hambatan yang dihadapi oleh guru PKn dalam pembinaan semangat nasionalisme Indonesia di SMP Negeri 01 Entikong, wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia

F. Signifikasi dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat baik secara keilmuan (teoritik) maupun secara empirik (praktis). Secara teoritik, penelitian ini akan menggali dan mengungkapkan pembinaan semangat nasionalisme Indonesia dalam menghadapi pengaruh kosmopolitanisme dan etnisitas melalui pembelajaran pendidikan kewarganegaraan yang akan menghasilkan kerangka dasar secara konseptual tentang pembelajaran yang dibutuhkan bagi pembinaan semangat nasionalisme Indonesia melalui pendidikan kewarganegaraan.
Dari temuan tersebut diharapkan dapat memberikan manfaat praktis bagi berbagai pihak, terutama sebagaimana yang diuraikan berikut:
1. Para akademisi atau komunitas akademik, khususnya dalam bidang pendidikan kewarganegaraan sebagai bahan kontribusi bagi pengembangan semanagat nasionalisme Indonesia.
2. Para pengembanga kurikulum pendidikan kewarganegaraan, baik pada tingkat pendidikan dasar, menegah, maupun pendidikan tinggi.
3. Para pengambil kebijakan, khusunya yang terkait dengan program pembinaan semangat nasionalisme Indonesia dalam menghadapi pengaruh kosmopolitanisme dan etnisitas.

G. Kerangka Konseptual
Nasionalisme apabila dilihat dari asal katanya berasal dari kata ”nation” yang diambil dari bahsa latin ”natio” yang berarti bangsa atau negara, yang apabila di berikan akhiran ”isme” menjadi paham kebangsaan. Nasionalisme juga berasal dari teori negara bangsa atau nation-state yang berpengaruh pada dunia modern. Dalam hal ini nasionalisme disebut sebagai suatu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (nation) dengan mewujudkan suatu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia (Wikipedia, 2006). Sejalan dengan pendapat di atas, Hans Konh sebagaimana yang terjemahkan oleh Mertodipuro (1984: 11) mendefinisikan:
Nasionalisme adalah suatu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan. Perasaan yang sangat mendalam akan suatu ikatan yang erat dengan tanah tumpah darahnya, dengan tradisi-tradisi setempat dan penguasa-penguasa resmi di daerahnya selalu ada di sepanjang sejarah dengan kekuatan yang berbeda-beda.

Dilain pihak Bradat (1994:41), menegaskan definisinya tentang nasionalisme sebagai nation state, bahwa:
”Nationalisme is the theory of the nation state, and as such it has had an enormous impact on the modern world...nation is a sosiological term referring to a group of people who have a sense of union with one another. State is a political term that includes four element: people, territory, government, and sovereignty...yet, several theories of the origin of the state have had an impact on ntionalism as ideology”

Artinya, Nationalisme adalah teori dari negara bangsa, dan sepertinya hal ini yang telah mempunyai suatu dampak mahabesar pada dunia modern... bangsa adalah suatu istilah sosiological merujuk pada sekelompok orang-orang yang mempunyai suatu rasa perserikatan satu sama lain. Negara adalah satu istilah politik yang termasuk empat elemen: orang-orang, wilayah, pemerintah, dan kedaulatan... namun, beberapa dari teori asal negara yang telah mempunyai suatu dampak pada pada nasionalisme sebagai idologi. Istilah nasionalisme oleh beberapa pakar sering dikaitkan dengan istilah-istilah seperti rasa kebangsaan, paham kebangsaan, semangat kebangsaan, dan yang tidak menyebutkanya secara harfiah.
Dalam konsep nasionalisme sebagai rasa kebangsaan, Poerwadarminta. M. Said dan Junimar Affan (1987:272) menyatakan bahwa nasionalisme sebagai rasa kebangsaan, adalah kesadaran diri yang meningkat berwujud kecintaan kepada tanah air dan bangsa sendiri. Sementara Kansil (1986:20), menyatakan bahwa salah satu kriteria kekuatan bangsa adalah nasionalisme dan rasa kebangsaan dalam arti kesadaran dan loyalitas pada kebangsaannya.
Selanjutnya, nasionalisme dalam arti paham kebangsaan dikemukan oleh Anshari (1988:191), nasionalisme adalah paham kecintaan terhadap tanah air, kecintaan pada negara, negeri dan bangsa sendiri. Dalam pandangan Islam, sejalan dengan hal tersebut, negara dan negeri adalah anugrah dan nikmat dari Allah yang harus disyukuri setiap bangsa dengan cara: menjaga, memelihara, dan membela negara dan negeri terhadap penjajahan bangsa sendiri, bangsa lain dan umat lain; menggunakan negara dan negeri ini.


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996:648) dan WJS Poerwadarminta (1976:648) dijelaskan bahwa nasionalisme adalah paham (ajaran) untuk mencintaai bangsa dan negara, kesadaran bersama, mempertahankan dan mengabdikan identitas-integritas, kemakmuran dan kekuatan bangsa itu ; semangat kebangsaan. Konsep ini menunjukkan adanya makna rasa kebangsaan dan paham kebangsaan serta keduanya membentuk terhadap semangat kebangsaan. Selanjutnya menurut Sarjono Poespawardojo (1995:16) nasionalisme berkaitan dengan paham kebangsaan yang menyatakan loyalitas tertinggi terhadap masalah-masalah duniawi dari setiap negara yang ditujukan kepada negara bangsa.
Sementara nasionalisme dalam pengertian semangat kebangsaan dapat dilihat seperti pada Ensiklopedia Populer Politik Pembangunan Pancasila menyatakan nasionalisme adalah etnosentris yang gejalanya seperti semangat nasional, kebanganggaan nasional, patriotisme untuk mensoladiritasikan diri dengan suatu kelompok yang senasib. Siswono dan Faisal Tanjung dalam Supriyogi (1997:28) menyebutkan bahwa semangat kebangsaan merupakan tekad sejati seluruh masyarakat bangsa untuk membela dan rela berkorban bagi kepentingan bangsa dan negara.


Adapun nasionalisme dalam pengertian umum yang tidak disebutkan secara harfiah yang dikemukakan pada Ensiklopedia Indonesia Jilid 4 Halaman 2338, yakni sikap politik dan sosial dari kelompok masyarakat yang mempunyai kesamaan bahasa, budaya, wilayah, cita-cita dan tujuan. Muhamad (2000:45) menyebutkan nasionalisme sebagai kriteria yang dijadikan dasar kewarganegaraan adalah kultur, etnisitas, bahasa dan wilayah geografis. Sementara itu, Silvert dalam Anthony D. Smith (1997:30) menyatakan ”nasionalisme the acceptence of state as the impersonal and ultimate arbiter of human affars. Secara bebas dapat diartikan sebagai penerimaan terhadap Negara sebagai bahan bersifat individu dan penentu tujuan akhir dari hubungan antar manusia.


Ada beberapa hal yang dapat menimbulkan sikap nasionalisme menurut Kumoro dalam artikelnya, yakni Perasaan senasib dan Ethno-nationalism. Dalam studi ilmu politik, pembahasan mengenai nasionalisme tak bisa lepas dari nation itu sendiri. Ernest Renan melalui tulisannya yang amat terkenal, What is a Nation? mengatakan, nation adalah jiwa dan prinsip spiritual yang menjadi sebuah ikatan bersama, baik dalam hal kebersamaan maupun dalam hal pengorbanan. Pemikiran Ernest Renan ini amat memengaruhi alur berpikir dari pemikir-pemikir sesudahnya, salah satunya Benedict Anderson. Benedict Anderson memaknai imagined community sebagai cikal bakal munculnya konsep nasionalisme. Melalui konsep imagined community dapat diidentifikasi beberapa unsur terbentuknya nasionalisme, yaitu adanya kesamaan perasaan senasib, kedekatan fisik/nonfisik, terancam dari musuh yang sama, dan tujuan bersama. Berbekal semangat itulah nasionalisme Indonesia lahir sebagai sebuah ikatan bersama. Dalam konteks ini, nasionalisme menjadi amunisi dalam menentang hegemoni kolonialisme.


Ethno-nationalism seperti dikatakan Francis Fukuyama-kepercayaan merupakan social capital terpenting di masyarakat. Nasionalisme etnik adalah bentuk nasionalisme yang berbasis identitas-indentiatas primordial seperti etnis, suku dan ras. Nasionalisme dapat berarti pula hilangnya loyalitas suatu masyarakat tertentu terhadap bangsa dan Negara.
Dari berbagai pendapat di atas tentang nasionalisme baik dalam arti rasa kebangsaan, paham kebangsaan, semangat kebangsaan, dan lainnya, pada hakikatnya mengacu kepada pengertian yang sama, yakni bermakna mendahulukan dan mengutamakan kepentingan bangsa, negara, dan tanah air daripada kepentingan yang lain. Perekat nasionalisme dari pendapat para pakar tersebutpun umumnya saling melengkapi yaitu; bahasa, adat, sejarah, keturunan, kepentingan, cinta tanah air, kesamaan wilayah, kesamaan cita-cita, rasa kesatuan dan persatuan, kesamaan tujuan, bahkan terkadang juga agama.


Menurut Sjamsuddin (1993: 38), nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang berpondasi berdasarkan Pancasila. Artinya, nasionalisme tersebut bersenyawa dengan sila-sila Pancasila, diantaranya apa yang disebut oleh Bung Karno sebagai Socio-Nationalisme. Nasionalisme yang demikian menghendaki penghargaan, penghormatan, dan toleransi dalam kerangka persatuan nasional. Maka dapat dikatakan bahwa nasionalisme bangsa Indonesia berbeda dengan nasionalisme yang dianut oleh negara-negara yang individualis. Semangat nasionalisme Indonesia dan negara-negara Asia pada umumnya adalah nasionalisme yang muncul sebagai reaksi terhadap penindasan penjajahan kolonial.


Lebih lanjut Sjamsuddin (1993: 38) menegaskan bahwa nasionalisme merupakan kekuatan bagi bangsa-bangsa yang terjajah yang kelak akan membuka masa depan gemilang bagi bangsa tersebut. Masih menurut Sjamsuddin, nasionalisme yang digagas oleh Soekarno tersebut mencerminkan rasa anti terhadap kolonialisme dan imperialisme. Nasionalisme yang diyakininya adalah lahir dari “nasionalismeku adalah perikemanusiaan”. Jadi nasionalisme yang hidup dan berkembang dalam perdamaian bangsa-bangsa. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh R. Mudhiyardjo (2001: 196) mengenai ciri-ciri nasionalisme Indonesia, yakni sebagai berikut:
a) Nasionalime kerakyatan/persatuan yang anti penjajahan. Kemerdekaan yang dirumuskan bangsa Indonesia adalah pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia , dan bukan pernyataan kemerdekaan perseorangan.
b) Nasionalime kerakyatan/persatuan yang patriotik, yang religius. Nasionalisme Indonesia lahir dari perjuangan gerakan kemerdekaan Indonesia dan bersumber dari Rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan keinginan luhur untuk membentuk kehidupan kebangsaan yang bebas.
c) Nasionalime kerakyatan/persatuan yang berdasarkan Pancasila. Nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang bersendikan kedaulatan rakyat yang berdasarkan Pancasila, yang dalam pelaksanaanya bertujuan melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia untuk mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut menciptakan perdamaian dunia yang abadi dan berkeadilan sosial.

Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa semangat nasionalisme Indonesia adalah semangat nasionalisme yang mencerminkan penolakan terhadap segala sistem kolonialisme dan imperialisme. Nasionalisme yang berdasarkan nilai-nilai luhur pancasila dan bukan atas dasar golongan atau etnis tertentu.
Disisi lain, dalam perkembangannya nasionalisme bangsa Indonesia menghadapi tantangan globalisasi yang berupaya menyatukan budaya dunia kearah tertentu yang dinamakan kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme yang berkembang di dunia Barat terdiri dari tiga aliran utama, yakni kosmopolitanisme moral, kosmopolitanisme politik dan kosmopolitanisme kultural. Ketiganya pada prinsipnya mengacu kepada sebuah pengertian bahwa universalime atau penyatuan manusia di dunia menjadi satu komunitas yang disebut sebagai warga dunia. Menurut Delanty dalam Kalidjernih (2009: 9) Konsep kosmopolitan dapat dikenali melalui dua arus, yakni sebagai konsepsi kuat kewarganegaraan dan demokrasi. Pendekatan ini melihat kosmopolitan sebagai manifestasi fundamental konteks politis yang dihadirkan globalisasi. Dalam pendekatan normatif ini, terdapat komitmen kuat terhadap universalisme. Dahlan sebagaimana yang dikutip Darmawan (2008:255) menegaskan bahwa proses globalisasi berjalan sangat cepat sehingga mendorong perubahan pada lembaga, pranata dan nilai-nilai sosial budaya. Oleh karena itu, globalisasi dapat pula mengubah perilaku manusia, gaya hidup (life style), dan struktur masyarakat menuju ke arah kesamaan (konvergensi) global yang menembus batas-batas etnik, agama, daerah, wilayah, bahkan negara.
Nasionalisme dan kosmopolitan merupakan dua sisi yang saling berkaitan. Bila nasionalisme menyangkut paham kebangasaan berupa kesetiaan warga negara terhadap negaranya, maka kosmopolitan sebaliknya merujuk kepada bahwa seseorang merasa adalah bagian keseluruhan secara global sehingga seringkali hilang identitasnya sebagai warganegara suatu bangsa. lebih lanjut dalam kaitannya dengan hal tersebut, Kalidjernih (2009: 4), menyatakan bahwa kosmopolitanisme merujuk kepada suatu paham atau gagasan bahwa semua manusia, tanpa memandang latar belakangnya adalah adalah anggota dari sebuah komunitas.
Selanjutnya Qomariyah (2007) menyatakan bahwa:
Globalisasi memicu bangkitnya suatu budaya global kosmopolitan yang akan semakin menelan dan mengikis budaya dan identitas nasional dan imperialisme budaya asing yang telah menyerang budaya asli Indonesia. Budaya asing yang mulai merasuki jiwa bangsa kita semakin melemahkan rakyat akan identitasnya dan kesadaran berbangsa kita. Mereka terombang- ambing dalam arus yang selalu bergerak cepat. Globalisasi ini juga yang dapat menyebabkan merosotnya nasionalisme. Globalisasi menyebabkan munculnya konsumerisme massa, di mana manfaat material banyak diperlukan oleh penduduk di seluruh pelosok dunia, dan produk teknologi, serta modal Barat mencari pasar baru. Arus komoditas dan daya tarik konsumerisme membuat batas nasional dan aturan pemerintah menjadi semakin tidak berdaya dan tidak relevan.

Lebih lanjut, Dalam seminar nasioanal Refleksi Kebangsaan Menuju Visi Indonesia 2025, yang diadakan oleh Prodi PKn SPs UPI tanggal 5 Desember 2009 secara khusus Freddy K Kalidjernih menyatakan bahwa posisi kosmopolitanisme harus tetap berada dalam kerangka nasionalisme bangsa Indonesia. Ini mengisyaratkan bahwa kita tidak bisa menghindari pengaruh dari kosmopolitanisme namun kita harus meletakkanya di dalam kerangka nasionalisme. Dengan kata lain kita harus dapat menempatkan nasionalisme bangsa kita sebagai jati diri bangsa dalam menghadapi tantangan kosmopolitanisme yang datang dari luar.
Menurut Frederich Barth (Mendatu, 2007) istilah etnik menunjuk pada suatu kelompok tertentu yang karena kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa, ataupun kombinasi dari kategori tersebut terikat pada sistem nilai budayanya. Etnisitas dalam istilah Dr. A.N.J. den Holander (Sunarto, 1998:207-208) mengacu kepada suatu sikap ekslusivisme terhadap kelompok-kelompok lain diluar diri. Sikap eklusivisme dalam kelompok justru berjalan seiring dengan berkembangnya kesadaran kesatuan kelompok. Dalam kaitannya dengan nasionalisme, Eriksen (1993, 118-120) menyatakan bahwa Nationalisme dan etnisitas adalah konsep yang mirip, dan mayoritas dari nasionalisme adalah karakter kesukuan. Pembedaan di antara nasionalisme dan etnisitas sebagai hal yang mudah dalam konsep analisis, kalau kita mendekatkan pada taraf formal dari definisi. Satu aliran politik nasionalis adalah satu aliran politik kesukuan yang menuntut satu status atas nama golongan kesukuan. Dalam bagian dari penjelasanya yang lain Eriksen berpendapat bahwa bagaimanapun, dalam praktek pembedaan antara nasionalisme dan etnisitas sangat tinggi meragukan. Mengacu kepada pendapat di atas, maka kita dapat menyimpulkan bahwa terdapat konsep yang erat sekali kaitannya antara nasionalisme dan etnisitas.


Muhamad (2000:45) menyebutkan nasionalisme kriteria yang dijadikan dasar kewarganegaraan adalah kultur, etnisitas, bahasa dan wilayah geografis. Sukuisme adalah suatu paham yang memandang bahwa suku bangsanya lebih baik dibandingkan dengan suku bangsa yang lain, atau rasa cinta yang berlebihan terhadap suku bangsa sendiri. Pada umumnya anggota-anggota suatu kelompok etnik memiliki kesamaan dalam hal sejarah (keturunan), bahasa (baik yang digunakan ataupun tidak), sistem nilai, serta adat-istiadat dan tradisi.
Dalam berbagai kasus yang berkaitan dengan permasalahan perbedaan etnis di masyarakat sebenarnya dapat terselesaikan jika saja kita mau belajar dan memiliki kesadaran sejarah melalui evolusi dan transformasi yang beratus-ratus tahun, maka organisasi sosial politik kita dalam berbangsa dan bernegara, segala kekurangan-kekurangannya akan tampak dihadapan kita. Walaupun secara antropologis, bangsa Indonesia yang kaya akan keragaman etnis, budaya, agama, adat-istiadat yang hidup ditengah masyarakat plural, semuanya tergantung dari lokal genius yang bersifat primordial (Sumardjo, 2002:23, Supardan, 2008).


Pada hakikatnya etnisitas dalam kaitannya dengan nasionalisme bangsa Indonesia harus diletakkan dalam kerangka yang lebih luas, yakni dalam kerangka nasionalisme bangsa dan negara Indonesia yang bersamaan asal-usul sebagai bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bersamaan dalam hal latar belakang sejarah, bahasa nasional, idiologi Pancasila sebagai sistem nilai, serta adat-istiadat dan tradisi.


Untuk memaknai kembali akan arti dari pentingnya pembinaan semangat nasionalisme Indonesia dalam menghadapi tantangan kosmopolitanisme dan etnisitas dewasa ini, tidak pernah terlepas dari bagaimana peranan pendidikan kewarganegaraan dalam mewujudkanya. Sebab secara subtantif PKn adalah satu-satunya mata pelajaran yang diamanahkan untuk membentuk karakter siswa sebagai warga Negara yang baik. Tantangan yang dihadapi guru PKn tentunya tidak mudah mengingat salah satunya adalah pengajaran PKn di Indonesia yang masih pada titik minimal, sebagaimana yang dikemukakan oleh David Kerr (1995) dalam Winataputra dan Budimansyah (2007: 28) bahwa Citizenship Education pada titik minimal ditandai oleh: “Thin, exclusive, elitist, civics education, formal, content led, knowledge-based, didactic transmission, easier to achieve and meansure in ractice. Maksudnya adalah didefinisikan secara sempit, hanya mewadahi aspirasi tertentu, berbentuk pengajaran kewarganegaraan, bersifat formal, terikat oleh isi, berorientasi pada pengetahuan, menitikberatkan pada proses pengajaran, dan hasilnya mudah diukur.


Jika PKn diajarkan hanya sampai pada titik minimal ini maka akan dikhawatirkan juga tidak dapat menyentuh pada pembinaan semagat nasionalisme Indonesia yang diharapkan. Oleh sebab itu sebagai renungan akhir dari kita, mengapa kita tidak mencoba menanta pengajaran PKn sampai pada titik maksimal. Lebih lanjut David Kerr (1995) dalam Winataputra dan Budimansyah (2007: 28) menambahkan bahwa yang bersifat maksimal ditandai oleh: “Thick, inclusive, activist, citizenship education, participative, proses-led, values-based, interactive interpretation, more difficult to achieve and meansure in practice”. Maksudnya adalah didefinisikan secara luas , mewadahi berbagai aspirasi dan melibatkan berbagai unsure masyarakat, kombinasi pendekatan formal dan informal, dilabel “citizenshipeducation”, menitikberatkan pada partisipasi siswa melalui pencarian isi dan proses interaktif di dalam maupun luar kelas, hasilnya lebih sukar dicapai dan diukur karena kompleknya hasil belajar.
PKn tidak hanya tanggung jawab guru PKn, melainkan menjadi tanggung jawab semua komponen yang ada. Dengan perkataan lain, pembelajaran PKn seyogyanya diorganisasikan secara lintas-bidang ilmu, dengan pembelajaran yang partisipatif dan interaktif, isi dan proses dikaitkan dengan kehidupan nyata, diselenggarakan dalam suasana demokratis, diupayakan mewadahi keanekaragaman social budaya masyarakat, dan dikembangkan bersama antara sekolah, orang tua, masyarakat dan pemerintah (Winataputra dan Budimansyah, 2007: 29)

H. Asumsi Penelitian
Berdasarkan landasan teori di atas dirumuskan asumsi penelitian sebagai berikut:
1. Pembinaan semangat nasionalisme merupakan suatu kebutuhan bagi bangsa Indoensia yang beranekaragam, sebab pengaruh arus globalisasi (kosmopolitanisme) dan etnisitas dapat mengancam nasionalisme Indoensia (Komalasari, 2007).
2. Pengaruh pembelajaran Pkn yang begitu kuat terhadap integrasi bangsa (interaksi antar etnis dan rasa nasionalisme). Upaya yang dapat dilakukan adalah menyelenggarakan program pendidikan yang memberikan berbagai kemampuan sebagai seorang warga negara melalui mata pelajaran PKn. Untuk mencegah rasa nasionalisme yang selama ini semakin menurun bahkan pudar dikalangan para pelajar, adanya konflik antar etnis, suku, agama, ras yang berujung pada pertikaian pelajar/mahasiswa diberbagai kampus, rasa tidak menghargai jasa para pahlawan bangsa indonesia dikalangan para pelajaran. (Sundari, 2007)
3. Pada era globalisasi sekarang ini, nasionalisme sangat dibutuhkan oleh negara. Negara membutuhkan rakyat yang memiliki rasa nasionalisme yang tinggi disemua tingkat umur, terutama ditingkat pelajar dan remaja, karena mereka adalah generasi penerus bangsa. (Sundari,2007).
4. Pembinaan semangat nasionalisme Indonesia yang secara sistematis, pargmatis, integrated dan berkesinambungan, yang dapat dilakukan melalui pendidikan kewarganegaraan di tingkat persekolahan penting dilaksanakan(Anggraeni, 2009).
5. Pembelajaran PKn memberikan kontribusi yang cukup besar dalam membentuk rasa nasionalisme siswa di sekolah (Erari, 2009).


I. Paradigma Penelitian
Paradigma penelitian yang penulis kembangkan pada penelitian tentang pembinaan semanagat nasionalisme Indonesia dalam menghadapi tantangan kosmopolitanisme dan etnisitas melalui pembelajaran pendidikan kewarganegaraan (Studi pada SMP N 01 Entikong, Wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia) ini dapat dilihat dalam gambar di bawah ini :

Implikasi
Reduksi data, Analisis data, dan Penyajian data
Tantangan kosmopolitanisme dan etnisitas di masyarakat

Upaya guru PKn

Hambatan
Teori Nasionalisme,Kosmopolitanisme, dan Etnisitas
Temuan Penelitian
Pembinaan semangat nasionalisme Indonesia dalam menghadapi tantangan kosmopolitanisme dan etnisitas


Pendekatan, Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Penelitian
Rekomondasi

Kesimpulan
Pembinaan Semangat
Nasionalisme
Metode pembinaan semagat nasionalisme
Temuan Penelitian


J. Metodologi Penelitian
1. Metode dan Pendekatan
Metode adalah suatu cara, prosedur, prinsip-prinsip dan proses yang digunakan untuk memecahkan masalah dalam penelitian. Pengertian metode merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiyono, 2007:2). Berdasarkan pengertian tersebut, maka pada rencana penelitian tesis yang hendak penulis lakukan ini menggunakan pendekatan kualitatif. Sebagaimana yang dikemukan oleh Creswell (1998), penelitian kualitatif adalah:
Qualitative research is a inquiry process of understanding based on distinct methodological tradition of inquiry that explore a social or human problem. The researcher builds a complex, holistic picture, analyses words, reports detailed views of informants, and conducts the study in a natural setting.

Dari kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah proses penelitian untuk memahami berdasarkan tradisi metodologi penelitian tertentu dengan cara menyelidiki masalah sosial atau manusia. Peneliti membuat gambaran kompleks yang bersifat holistik, menganalisis kata-kata, melaporkan pandangan-pandangan para informan secara rinci, dan melakukan penelitian dalam situasi alamiah.
Lebih lanjut menurut Nasution (1996:18) penelitian kualitatif disebut juga dengan penelitian naturalistik. Disebut kualitatif karena sifat data yang dikumpulkan bercorak kualitatif, bukan kuantitatif, karena tidak menggunakan alat-alat pengukur. Disebut naturalistik karena situasi lapangan penelitian bersifat natural atau wajar, sebagaimana adanya, tanpa dimanipulasi, diatur dengan eksperimen atau tes. Dalam kaitan dengan hal ini Nasution (1996:9) berpendapat bahwa:
Hanya manusia sebagai instrumen dapat memahami makna interaksi antar manusia, membaca gerak muka, menyelami perasaan dan nilai yang terkandung dalam ucapan atau perbuatan responden. Walaupun digunakan alat rekam atau kamera peneliti tetap memegang peran utama sebagai alat penelitian.

Dari kutipan di atas, peneliti sendiri yang bertindak sebagai alat penelitian utama, yang bertindak dilapangan dalam pelaksanaan penelitian. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Moleong (2005:9) bahwa :
Bagi peneliti kualitatif manusia adalah instrumen utama, karena ia menjadi segala dari keseluruhan penelitian. Ia sekaligus merupakan perencana, pelaksana, pengumpul data, analisis, penafsir, dan pada akhirnya ia menjadi pelopor penelitiannya.

Disamping menekankan pada aspek peneliti sebagai alat penelitian utama, rencana penelitian tesis inipun memperhatikan metode yang digunakan agar hasilnya sesuai dengan yang diharapkan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam penelitian ini penulis menggunakan penelitian kualitatif dengan metode studi kasus dimaksudkan untuk mengungkapkan dan memahami kenyataan-kenyataan yang terjadi di lapangan sebagaimana adanya. Menurut S. Nasution (1996:55): Studi kasus atau case study adalah untuk penelitian yang mendalam tentang suatu aspek lingkungan sosial termasuk manusia di dalamnya. Case study dapat dilakukan terhadap seorang individu, kelompok atau suatu golongan manusia, lingkungan hidup manusia atau lembaga sosial.


2. Instrumen Penelitian
Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas bahwa dalam penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif pada umumnya menggunakan peneliti sendiri sebagai instrument atau manusia sebagai instrument utama. Dalam hal Sugiyono (2008) mengemukakan, terdapat dua hal utama yang mempengaruhi kaulitas dari hasil penelitian, yakni kualitas instrument penelitian dan kualitas pengumpul data. Kualitas instrument penelitian berkenaan dengan validitas dan reliabilitas instrumen dan kualitas pengumpul data berkaitan dengan ketepatan cara-cara yang digunakan untuk mengumpulkan data. Dalam penelitian kualitatif, yang menjadi instrumen atau alat penelitian adalah peneliti itu sendiri. Dalam hal ini, peneliti adalah instrumen utama (key instrument) dalam pengumpulan data. Jadi peneliti adalah merupakan instrumen kunci dalam penelitian kualitatif.

3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik sebagai alat bersifat paling kongkret dibanding metode, sebagai instrumen penelitian teknik dapat dideteksi secara indrawi. Menurut Vredenberght teknik berhubungan dengan data primer (Ratna, 2007a: 37). Pengumpulan data dan informasi dalam penelitian ini dilakukan dengan berbagai cara dan teknik yang berasal dari berbagai sumber baik manusia maupun bukan manusia. Sugiyono (2008: 62-63) mengemukakan bahwa bila dilihat dari segi cara atau teknik pengumpul data dapat dilakukan dengan observasi (pengamatan), interview (wawancara), kuesioner (angket), dokumentasi dan gabungan keempatnya. Teknik pengumpulan data dan informasi yang digunakan oleh peneliti adalah teknik pengumpulan data kualitatif, yang meliputi studi wawancara mendalam, studi dokumentasi, studi literatur dan observasi.


Menurut Dexter, 1970 (Lincoln dan Guba, 1985:265), wawancara adalah suatu percakapan yang bertujuan. Tujuannya ialah mendapatkan informasi tentang perorangan, kejadian, kegiatan, perasaan, motivasi, kepedulian, disamping itu dapat mengalami dunia pikiran dan perasaan resonden, merekonstruksi pengalaman-pengalaman masa lalu dan masa depan yang akan datang. Wawancara mendalam ialah cara untuk menggali informasi, pemikiran, gagasan, sikap dan pengalaman narasumber. Wawancara tatap muka dilakukan secara langsung antara peneliti dan narasumber secara dialogis, tanya jawab, diskusi dan melalui cara lain yang dapat memungkinkan diperolehnya informasi yang diperlukan. Wawancara ini bertujuan untuk mengali data dan informasi dari subyek penelitian yang berkaitan dengan item-item pertanyaan penelitian.


Studi dokumentasi, ialah cara untuk menggali, mengkaji, dan mempelajari sumber-sumber tertulis baik dalam bentuk Laporan Penelitian, Dokumen Kurikulum, Makalah, Jurnal, Klipping Media Massa, dan Dokumen Negara (Pemerintah). Pemilihan metode ini dilandasi oleh pemikiran bahwa dalam sumber-sumber tertulis tersebut dapat diperoleh ungkapan gagasan, persepsi, pemikiran, serta sikap para pakar dan praktisi pendidikan kewarganegaraan.
Studi literatur, dimaksud untuk mengungkapkan berbagai teori-teori yang relevan dengan permasalahan yang sedang dihadapi/diteliti sebagai bahan pembahasan atas hasil penelitian. Teknik ini dilakukan dengan cara membaca, mempelajari dan mengkaji literatur-literatur yang berhubungan dengan semangat nasionalisme, kosmopolitanisme, etnisitas dan pendidikan kewarganegaraan. Faisal (1992:30) mengemukakan bahwa hasil studi literatur bisa dijadikan masukan dan landasan dalam menjelaskan dan merinci masalah-masalah yang akan diteliti; termasuk juga memberi latar belakang mengapa masalah tersebut penting diteliti.
Sejak awal studi pendahuluan telah dilakukan observasi terutama dalam hal melihat kondisi objektif lokasi yang menjadi objek penelitian. Observasi partisipatif, Observasi partisipasi dilakukan untuk memperoleh informasi yang seutuh mungkin dengan memperhatikan tingkat peluang kapan dan di mana serta kepada siapa peneliti sebagai instrumen dapat menggali, mengkaji, memilih, mengorganisasikan, dan mendeskripsikan informasi selengkap mungkin. Menurut Arikunto (2002:133) observasi merupakan suatu pengamatan yang meliputi kegiatan pemusatan perhatian terhadap suatu objek dengan menggunakan seluruh alat indra. Untuk mendukung ketersediaan data dan analisis data, peneliti memanfaatkan sumber-sumber lain berupa dokumen negara, catatan dan dokumen (non human resources). Menurut Lincoln dan Guba (1985: 276-277) catatan dan dokumen ini dapat dimanfaatkan sebagai saksi dari kejadian-kejadian tertentu atau sebagai bentuk pertanggungjawaban. Dalam studi dokumentasi ini, peneliti akan memanfaatkan sumber kepustakaan berupa hasil penelitian, dan pembahasan konseptual dengan menggunakan teknik analisis yang dikaitkan dengan pembelajaran kewarganegaraan.

4. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan yakni reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi (Miles dan Huberman dalam Sugiyono, 2008:183). Analisis data kualitatif merupakan upaya yang berlanjut, berulang dan terus menerus. Masalah kegiatan reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan merupakan rangkaian kegiatan analisis yang saling susul menyusul.


Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan berikut:
Pengumpulan data
Reduksi data
Kesimpulan: Penarikan/verifikasi
Penyajian data


Bagan 1.1 Komponen-komponen Analisis Data
(Miles dan Huberman dalam Sugiyono, 2008:183)

Dari bagan di atas dapat dijelaskan bahwa terdapat tiga jenis kegiatan utama dan analisis data merupakan proses siklus yang interaktif. Peneliti harus siap bergerak diantara empat ”sumbu” kumparan itu selama pengumpulan data, selanjutnya bergerak bolak-balik di antara kegiatan reduksi, penyajian, dan penarikan kesimpulan/verifikasi.

5. Lokasi dan Subjek Penelitian
Mengacu pada apa yang dikemukan oleh Nasution (1992:43) bahwa lokasi penelitian menggambarkan pada kondisi sosial yang ditandai oleh adanya tiga unsur, yakni tempat, pelaku dan kegiatan. Dalam hal ini lokasi penelitian adalah SMP N 01 Entikong, wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia, yang merupakan sekolah yang letaknya berbatasan langsung dengan wilayah negara Malaysia. Adapun alasan mengapa peneliti memilih lokasi tersebut adalah atas dasar pertimbangan bahwa lokasi tersebut cukup strategis letaknya yang tidak terlalu jauh dari tempat tinggal peneliti dan merupakan daerah yang berbatasan langsung dengan Negara Malaysia, serta data-data yang mudah di dapat. Sehingga memungkinkan peneliti untuk mengadakan penelitian mendalam mengenai permasalahan yang dimaksudkan di atas.
Subjek penelitian yang dijadikan sumber data meliputi para siswa, Guru PKn, Kepala Sekolah dan masyarakat. Tetapi tidak meunutup kemungkinan akan didapatkannya data-data dari sumber selain yang telah ditetapkan di atas, selama data tersebut dapat menunjang keberhasilan penyelidikan dalam penelitian ini.


K. Sistematika Penulisan
Rencana penulisan tesis ini akan dilakukan dalam lima bab, yang lebih jelasnya dapat dilihat pada paparan berikut:
1. Bab 1 berisi latar belakang penelitian, identifikasi masalah dan pertanyaan penelitian, definisi operasional, tujuan penelitian, signifikasi dan manfaat penelitian, kerangka konseptual, serta metodologi penelitian.
2. Bab 2 akan menguraikan tinjauan teoritis tentang: Nasionalisme dan konsep yang mendasarinya; Semangat nasionalisme Indonesia; Nasionalisme dan kosmopolitan; Nasionalisme dan Etnisitas.
3. Bab 3 akan diuraikan metodologi penelitian, yang terdiri atas pendekatan dan metode penelitian, teknik pengumpulan data,teknik analisis data, dan latar belakang subjek penelitian.
4. Bab 4 akan menguraikan temuan dan hasil penelitian, dan
5. Bab 5 akan menguraikan tentang rumusan kesimpulan dan rekomondasi penelitian.


L. Agenda Kegiatan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan semenjak bulan November 2009 sampai dengan selesai. Rencana agenda kegiatan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:

No
Keterangan
Waktu
Nov
Des
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
1 Penyusunan Proposal Penelitian

2 Seminar Proposal Penelitian

3 Pelaksanaan Penelitian


4 Penyusunan Hasil Penelitian dan Pembahasan

5 Ujian Sidang Tesis Tahap 1

6 Ujian Tesis Tahap 2



DAFTAR PUSTAKA


Abdullah, Taufik (2001) Nasionalisme & Sejarah, Bandung: Satya Historika.

Anthony D Smith (1983). Theories of Nationalism. New York: Harves and Meir Publisher.
Anderson, Benedict. (1983). Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. London: The Thetford Press Ltd.

_____. (2002). Imagined Communities (Komunitas-komunitas Terbayang). Yogyakarta: Kerjasama Insist dan Pustaka Pelajar.

Branson, M.S. (1998). The Role of Civic Education. Calabasas: CCE.

Creswell, J.W. (1994) Research Design Qualitative & Quantitative Approach. London: Publications.

Clark, John D. (2003). Globalizing civic engagement : civil society and transnational action. First published in the UK and USA: Earthscan Publications Ltd

Cogan, J.J. and Ray Derricott (eds). (1998). Citizenship for The 21st Century: An International Perspective on Education. London: Kogan Page.

Eriksen, T.H (1993). Ethnicity dan Nationalism: Anthropological Perspectives. United State America: Pluto Press.

Faisal, S. (1992). Format-format Penelitian Sosial (Dasar-dasar dan Aplikasi). Jakarta: Rajawali Pers.

Hobsbaum E.J. (1990) Nasionalisme Menjelang Abad XXI, Penerjemah: Hajartian Silawati, Yogyakarta: Tiara Wacana.

Kalidjernih, Freddy K (2009). Puspa Ragam Konsep dan Isu Kewarganegaraan. Bandung: Widya Aksara Press.

Kohn, Hans (1984). Nasionalisme Arti dan Sejarahnya. Terjemahan Sumantri Mertodipuro. Jakarta: Erlangga.

Kansil (1986). Aku Pemuda Indonesia Pendidik Politik Generasi Muda. Jakarta: Balai Pustaka.
Lincoln, Yvonna S. dan Guba, Egon G. (1985). Naturalistic Inquiry. Baverly Hills: Sage Publications.

Liliweri, A (2005). Prasangka dan Konflik: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur. Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara

Moleong, Lexy J. (2005). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Muhamad, H (2000). Pergulatan Pesantren dan Demokratisasi, LKIS: Jakarta

Montgomery Watt (tt). Politik Islam Dalam Lintas Sejarah. Jakarta: P3M
Michael A, Riff (1995). Kamus Ideologi Politik Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nasution, S. (1996). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito.

_____. (2007). Metode Research (Penelitian Ilmiah). Jakarta: Bumi Aksara.

Ohmae, Kenichi. (1993). Dunia Tanpa Batas. Alih Bahasa Budiyanto. Jakarta: Binarupa Aksara.

_____. (2002). Hancurnya Negara-Bangsa : Bangkitnya Negara Kawasan dan Geliat Ekonomi Regional di Dunia tak Berbatas. Penerjemah Ruslani. Yogyakarta: Qalam.

Renan, Ernest. (1990). “What Is A Nation ?” dalam Nation and Narration. Diedit oleh Homi Bhabha, London: Routledge.

Said, M & Affan, J (1987). Mendidik dari Zaman ke Zaman. Jemmars: Bandung.

Sapriya, dkk. (2008). Konsep Dasar Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung: Laboratorium PKn UPI.

Said M dan Junimar (1987). Mendidik Dari Zaman ke Zaman, Bandung: Jemmars.
Sugiyono (2008). Memahami Penelitian Kualitatif. Alfabeta: Bandung.

Siswono Yudhohusodo. (1996). Semangat Baru Indonesia. Jakarta: YPB
Sarjono, Puspawardjo (1995). Pendidikan Wawasan Kebangsaan. Jakarta: Gramedia.
Saefudin Anshari, E (1998). Wawasan Islam. Bandung: Mizan.
Sunarto S.S, A (1998). Masyarakat Indonesia Memasuki Abad Ke Dua Puluh Satu. Jakarta: Dirjendikti Depdikbud.

Tilaar, H.A.R. (2004). Multikulturalisme: Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo.

_____. (2007). Mengindonesia Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia. Jakarta:Rineka Cipta.

_____. (2002). Membenahi Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta

Triardianto, Tweki. dan Suwardiman (2002) “Potret Konflik di Indonesia” dalam Indonesia dalam Krisis 1997-2002, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

WJS. Poerwadarminta (1976). Kamus Umum Bahsa Indonesia. Jakarta: Pustaka Setia.
Winataputra & Budimansyah. (2007). Civic Education: Kontek, Landasan, Bahan Ajar dan Kultur Kelas. Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan, SPs, UPI Bandung.


Disertasi dan Tesis

Anggraeni, L. (2009). Kajian Tentang PKn Berbasis Multikultural Dalam Menumbuhkan Nasionalisme: Studi Kasus Di SMA Santo Aloysius Bandung. Tesis Magister pada Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung

Erari, Flora S (2009). Pembelajaran PKn Dalam Pembentukan Nasionalisme Siswa: Study Deskriftif Kualitatif Pada Siswa SMA N 1 Serui Kabupaten Yapen Waropen Provinsi Papua. Tesis Magister pada Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung

Fajar, Arnie. (2003). Pengemabangan sikap nasionalisme dalam pembelajaran ppkn melalui pendekatan sains-teknologi-masyarakat (S-T-M) pada pokok bahasan ”kesetiaan”, Bandung: Tesis syarat memperoleh gelar megister pada program
pascasarjana UPI.

Gaspersz, E (2009). Esensi Wawasan Kebangsaan Masyarakat Indonesia di Daerah Perbatasan Propinsi Papua: Study Kasus di Kampung Mosso Kota Jayapura. Bandung: Pascasarjana UPI

Hermiati, E. (2008). Peranan Pembelajaran PKn Dalam Meningkatkan Disiplin Siswa di Sekolah: Studi Kasus Terhadap Peningkatan Kedisiplinan Siswa di SMP 13 Bandung. Pascasarjana UPI.

Ismadi, Fajar. (2007). Model Pembelajaran Pendidikan Berbasis Pendekatan Multikultural dalam Pembentukan Karakter Bangsa (Penelitian Tindakan Kelas di SMP Negeri 2 Lelea Indramayu). Tesis Magister pada Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: tidak diterbitkan.

Sundari (2008). Hubungan antara faktor guru, lingkungan, dan siswa dengan sikap nasionalisme di kalangan pelajar SMA: Suatu Studi Tentang peranan pembelajaran pkn untuk menumbuhkan sikap nasionalisme. Bandung:Disertasi syarat memperoleh gelar doktor sekolah pascasarjana UPI.

Suprayogi (1997) Wawasan Kebangsaan Generasi Muda: Studi Deskriftif Analitik Kasus Pendidikan Wawasan Kebangsaan Generasi Muda pada Lingkungan Masyarakat di Kodya Semarang. Tesis Magister pada Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung



Jurnal dan Makalah

Aziz A, Wahab. (2001). “Implementasi dan Arah Perkembangan PKn (Civic Education) di Indonesia”. ACTA CIVICUS, Tahun 2001 Edisi 1. Jurnal Ilmu Politik, Hukum dan Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia

Azra, A. (2004). “Identitas dan Krisis Budaya: Membangun Multikulturalisme Indonesia”.

Darmawan, C (2008). “Demokrasi dan Globalisasi: Memperkuat Peran PKN Sebagai Wahana Pendidikan Demokrasi”. Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial dan Humaniora ALUMNI, Tahun 2008, Vol. 1 No. 3. Universitas Pendidikan Indonesia.

_____(2008). “Me-Refleksi Ke-Indonesiaan: Refleksi 100 Tahun Kebangkitan Nasional”.

Kalidjernih, Freddy K. (2009). “Globalisasi dan Kewarganegaraan”. ACTA CIVICUS, Tahun 2009, Vol 2, No. 2, Jurnal Jurusan PKN-FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia.

_____(2009). Kosmopolitanisme: Implikasi Terhadap Kewarganegaraan (Makalah). Prodi PKn SPs Uviversitas Pendidikan Indonesia.

Komalasari, K (2007). “Nasionalisme Di Era Otonomi Daerah”. ACTA CIVICUS, Tahun 2007, Vol 1, No. 8, Jurnal Jurusan PKN-FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia.

Purwanto, Iwan (2007). “Paradigma Ekonomi Global”. Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, Tahun 2007, Edisi XV. No. 29. Bandung: Forum Komunikasi FPIPS/FIIS-JPIPS Universitas/STKIP se-Indonesia.

Setiawan, Deny. (2009). “Paradigma Pendidikan Kewarganegaraan Bervisi Global dengan Paradigma Humanistik”. ACTA CIVICUS, Tahun 2009, Vol 2, No. 2, Jurnal Jurusan PKN-FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia.


Supardan, D. (2008). “Peluang Pendidikan dan Hubungan Antaretnik: Perspektif Pendidikan Kritis Poskolonialis”. Jurnal ACTA CIVICUS, Tahun 2008, Vol 2, No. 1, Jurusan PKn Universitas Pendidikan Indonesia.

Suparlan, P. (2001). “Kesetaraan Warga dan Hak Budaya Komuniti dalam Masyarakat Majemuk Indonesia”. Jurnal Antropologi Indonesia 66, 2001.


Internet:

Abubakar, Mustafa. Nasionalisme [Online]. Tersedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Nasionalisme. 2008. [ 2 Oktober 2009]

Aris. Konflik Tragedi Mangkok Merah.. [Online). Tersedia: : http://aristonokov.blogspot.com/2009/02/tragedi-mangkok-merah-67-konflik-di.html. [25 September 2009]
Prasetijo. Mencermati Kasus Konflik Etnis di Kalimantan Barat Tantangan Untuk Mempertahankan Perdamaian Berkesinambungan. [Online]. Tersedia :http://prasetijo.wordpress.com/2007/12/09/mencermati-kasus-konflik-etnis-di-kalimantan-barat-tantangan-untuk-mempertahankan-perdamaian-berkesinambungan. [20 September 2009].

Kumoro, Bawono. Nasionalisme Indonesia Setelah 61 Tahun Merdeka. [Online]. Tersedia:http://www.kompas.co.id/kompas%20cetak/0608/16/opini/2886194.htm. Nasionalisme Indonesia Setelah 61 Tahun Merdeka.[4 Agustus 2009].

Mendatu, Achmad. Etnik dan Etnisitas. [Online]. Tersedia : http://smartpsikologi.blogspot.com/2007/08/etnik-dan-etnisitas.html. [22 Agustus 2009].

Poetranto,Tri.Nasionalisme.[Online].Tersedia:http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?vnomor=14&mnorutisi=6. Nasionalisme. [1 November 2009].

Qomariyah,L. Nasionalisme dan Globalisasi. [Online]. Tersedia: http ://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=7559&Itemid=62. Nasionalisme dan Globalisasi. [22 Oktober 2009].



Peraturan Perundang-undangan

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Sinar Grafika.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Sinar Grafika

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Sinar Grafika.


N/B: Diharapkan masukan khususnya dari rekan-rekan yang berkompeten pada bidang yang akan saya teliti. Atas bantuanya terima kasih...GBU All!!!


















Rabu, 28 Oktober 2009

STKIP-PK Sintang: Teori Sosiologi Klasik

solagracia-mardhawani-civic
BAB I
PENDAHULUAN

Kerangka Umum Buku Ini
Dalam seluruh buku ini, pengarang mencoba menjelaskan distingsi-distingsi kunci antara asumsi-asumsi utama yang mendasari pelbagai ahli teori dan airan-aliran teori, serta memperlihatkan hubungannya dengan dunia empiris dan praktis. Pada dua bab pertama berisi tentang diskusi mengenai hakikat teori sosiologi dan beberapa teori untuk mengembangkan dan menilainya. Dan selanjutnya sebagian besar dari buku ini mengupas tentang lima tokoh klasik; sumbangan mereka memberikan landasan untuk disiplin sosiologi: Comte, Marx, Durkheim, Weber, dan Simmel. Kemudian diikuti oleh lima aliran teori sosiologi masa kini: interaksionisme simbol, teori pertukaran, fungsionalisme, teori konflik dan teori sistem terbuka.
Bila pada awal perkembangannya, sosiologi itu banyak didominasi oleh para ahli termasyhur secara indivdual, maka sekarang dominasi para ahli secara individual itu sudah lewat. Pergeseran ini mencerminkan pertumbuhan secara pelembagaannya sebagai suatu disiplin akademis yang diakui. Beberapa tokoh, baik yang klasik maupun yang modern, disinggung secara singkat bilamana diperlukan.
Para ahli teori klasik yang dibahas dalam buku ini memeperlihatkan suatu pergeseran dari tingkat budaya ke tingkat struktur sosial, kemudian ketingkat antar pribadi. Sebaliknya, aliran-aliran masa kini memperlihatkan suatu kemajuan yang bergeser dari tingkat hubungan antarpribadi yang bersifat mikro ke tingkat struktur institusional berskala besar yang bersifat makro. Ini merupakan suatu gerak maju yang logis dan tidak mencerminkan urutan sejarah yang sebenarnya dari perkembangan teori dalam sosiologi Amerika.
Buku ini sangat cocok untuk dijadikan sebagai salah satu rujukan bagi mahasiswa, dosen, aparatur pemerintah (birokrat), para decision-makers (pengambil keputusan), dan masyarakat umum dalam memahami teori sosiologi klasik dan modern karena buku ini memperkenalkan ide-ide pokok yang diberikan oleh beberapa ahli teori dan menunjukkan bagaimana ide-ide pokok yang diberikan oleh beberapa ahli teori dan menunjukkan bagaimana ide-ide itu dapat diterapkan untuk menyempurnakan pemahaman kita mengenai pengalaman social pribadi serta masalah-masalah yang menjadi isu aktual dalam masyarakat.
Adapun secara lebih jelas identitas buku tersebu adalah sebagai berikut:
Judul Buku : Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jilid II
Penulis : Doyle Paul Johnson, University Of South Florida
diIndonesiakan Oleh : Robert M.Z. Lawang
Jumlah Bab : 5 Bab
Jumlah Halaman : 303 halaman
Penerbit : PT Gramedia, Jakarta Tahun 1986



BAB II
ISI BUKU
TEORI SOSIOLOGI KLASIK

A.KENYATAAN SOSIAL MUNCUL DARI INTERAKSI SIMBOLIS
Definisi tentang sesuatu dapat dipengaruhi oleh persamaan yang dekat antara mainannya dengan benda-benda dalam dunia orang dewasa. Dunia yang anak ciptakan untuk mereka sendiri dalam permainan bersama sangatlah rapuh; mudah sekali diganggu oleh campur tangan dari luar (seperti intrupsi orang tua), atau oleh ketidaksepakatan dalam kelompok itu sendiri. Alasanya adalah definisi-definisi yang menciptakan dunia ini muncul dari proses interaksi dan didasarkan pada suatu tingkat consensus yang minimal dalam kelompok itu. Ganguan apa saja terhadap proses interaksi itu, atau setiap perpecahan dalam consensus, mengancam hancurnya “kenyataan” itu, yang sudah diciptakan dan mengurangi kemauan untuk meneruskan permainan tertentu. Sementara dunia riil orang dewasa berbeda dengan dunia anak-anak dalam banyak hal. Dunia orang dewasa jauh lebih lama bertahan, tidak mudah terancam runtuh karena perubahan seketika dalam suasana batin atau gangguan kecil. Tetapi perbedaan tersebut tidaklah absolut; dunia orang dewasa juga dapat kacau dan kocar-kacir, meskipun tidak sama derajatnya dalam jangka pendek. Sekurang-kurangnya ada satu pengertian, dimana dunia riil orang dewasa sama dengan dunia anak-anak. Kedua tipe umumnya mencerminkan definisi subjektif yang dianut bersama yang muncul melalui proses interaksi. Ide bahwa kenyataan sosial muncul melalui proses interaksi sangat penting dalam teori interaksi simbol.
Dalam karya Mead khususnya, teori ini meliputi analisa mengenai kemampuan manusia untuk menciptakan dan memanipulasi simbol-simbol. beberapa dari perhatian utama dalam teori interasi simbol adalah dinamika-dinamika interaksi tatap muka, saling ketergantungan erat antara konsep diri individu dan pengalaman-pengalaman kelompok kecil, negosiasi mengenai norma-norma bersama dan peran-peran individu, serta proses-proses lainya yang mencakupi individu dan pola-pola interaksi dalam skala kecil.

1.Mead dan Perkembangan Interaksionisme Simbol
George Herbert Mead lahir tahun 1863 di Massachusetts. Dia memiliki perhatian utama pada filsafat dan psikologi. Tekanan Mead pada proses dan relativitas bentuk-bentuk yang ada, dapat dirangkum dalam tiga perspektif filosofi yang berbeda-beda, yakni pragmatisme Amerika; evolusionisme Darwin; dan idealisme dialektis Jerman. Filosofi pragmatisme Mead mengembangkan konsep-nya tentang gerak-isyarat (gesture) yang merupakan dasar dalam karya Mead selanjutnya. Dalam perspektif kedua, dipengaruhi oleh teori Darwin, walau dalam pengertian yang tidak sama dengan darwinis sosial dalam pengertian seperti Willian Graham Sumner. Dia menerima prinsip Darwinis sosial bahwa organisme terus-menerus terlibat dalam usaha menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan bahwa melalui proses ini bentuk atau karakteristik organisme mengalami perubahan yang terus-menerus. Penjelasan Mead tentang kesadaran pikiran manusia (mind or human consciousness) sejalan dengan kerangka evolusi ini. Dia melihat bahwa pikiran manusia sebagai sesuatu yang muncul dalam proses evolusi alamiah. Pemunculannya itu memungkinkan manusia menyesuaikan diri lebih efektif dengan alam. Dengan berpikir individu sering dapat melewati prosedur trial and error yang biasanya terjadi dalam perjalanan beberapa generasi jenis manusia yang bersifat subhuman. Selanjutnya dalam perspektif ketiga, tekanan Mead pada kemajuan juga mencerminkan pengaruh Hegel dan ahli filsafat idealistis Jerman lainnya, yang didasarkan pandangan mengenai perkembangan ide-ide atau bentuk-bentuk kesadaran secara dialektis. Bagi Darwin, bentuk-bentuk yang dipersoalkan adalah bentuk-bentuk biologis; bagi ahli filsafat dialektis Jerman, bentuk-bentuk itu adalah yang berhubungan dengan kesadaran. Juga, meskipun idealisme Jerman berbeda secara substansial dengan pragmatis Amerika, pandangan dialektis mengenai relativitas bentuk-bentuk kesadaran atau pengetahuan sejajara dengan pandangan pragmatis bahwa bentuk-bentuk pengetahuan diharapkan harus berubah, begitu masalah-masalah lingkungan di mana manusia harus menyesuaikan dirinya, mengalami perubahan.
Dalam pandangan Mead, perspektifnya merupakan perspektif behaviorisme sosial, yang merupakan perluasan dari behaviorisme Watson yang menurutnya tidak lengkap. Mead mengakui pentingnya kesadaran subyektif atau proses-proses mental yang tidak langsung tunduk pada pengukuran empiris yang subyektif. Namun ia tidak melihat bahwa proses mental subyektif itu berada pada tingkat kenyataan yang secara kualitatif berbeda dari hakikat biologis atau proses-proses fisiologis. Posisi Mead adalah bahwa persepsi tentang dunia luar, proses-proses fisiologis, dan kesadaran subyektif, semua sangat saling tergantung. Mead mengemukakan bahwa pikiran merupakan suatu proses; dengan proses itu individu menyesuaikan dirinya dengan lingkungan. Karena alasan inilah Mead berpendapat bahwa posisinya adalah behaviorisme sosial. Berkaitan dengan komunikasi dan munculnya pikiran, setidaknya Mead mengemukakan ada bahwa terdapat isyarat versus simbol dalam proses komunikasi serta proses berpikir yang tidak kelihatan.
Definisi subyektif tidak terbatas pada benda-benda eksternal. Salah satunya adalah pendefenisian konsep diri yang merupakan objek dari refleksi yang sadar tentang diri lebih daripada satu objek apa saja dilingkungan ekternal, termasuk orang lain. Mead mengemukakan bahwa konsep-diri terdiri dari kesadaran individu mengenai keterlibatannya yang khusus dalam seperangkat hubungan sosial yang sedang berlangsung atau dalam suatu komunitas yang terorganisasi. Konsep-diri erat kaitannya dengan diri sebagai obyek (me) dan diri sebagai subyek (i), dimana keduanya bersifat saling tergantung secara dinamis.
Menurut Mead, meskipun proses belajar dimasyarakat itu berlangsung selama hidup, namun yang ditekankan adalah tahap-tahap yang dilewati anak-anak karena secara bertahap mereka memperoleh suatu konsep-diri yang menghubungkan mereka dengan kehidupan sosial yang sedang berlangsung dalam keluarga mereka dan kelompok-kelompok lain, dan akhirnya dalam komunitas itu secara keseluruhan.
Dalam pandangan Mead, organisasi definisi-definisi, sikap-sikap, konsep-diri individu yang bersifat internal, dan organisasi kelompok-kelompok, institusi-institusi sosial dan masyarakat itu sendiri yang bersifat eksternal, keduanya saling berhubungan dan saling tergantung, karena baik organisasi internal maupn yang eksternal muncul dari proses komunikasi simbol. Proses dimana individu mengambil peran orang lain, dan mengontrol perilaku mereka sendiri dalam cara yang sedemikian rupa sehingga cocok dengan kerangka yang ditentukan oleh definisi-definisi dan sikap-sikap bersama.
2.Para Perintis Lainnya Dalam Psikologi Sosial
Charles Horton Cooley dan William I. Thomas memusatkan perhatiannya pada individu dan proses-proses interaksi tingkat mikro, dan keduanya memberikan sumbangan berdirinya lembaga social di Amerika. Kalau lingkungan sosial Mead adalah kota Chicago Metropolis yang dinamis, Colley tinggal di Ann Arbor, sebuah kota pelajar yang tenang. Seperti Mead, nilai-nilai Cooley sendiri serta posisi ideologisnya bersifat progresif, dan seperti kebanyakan ahli di Amerika pada waktu itu Cooley juga prinsip dasar evolusi sosial sebagai kunci kemajuan sosial. Cooley berkeberatan dengan pendekatan organik Spencer karena kurang memperhatikan tingkat psikologis individu dalam mengemukakan pinsip-prinsip evolusinya, yang mengatasi individu.
Pendekatan Cooley bersifat organism tetapi pusat perhatiannya adalah saling ketergantungan individu yang bersifat organis melalui proses komunikasi sebagai dasar keteraturan sosial. Judul karya Cooley yang terkenal adalah Human Nature and the Social Order, yang berisikan pendekatan teoritisnya yang mendasar. Pada awalnya Cooley mengemukakan bahwa individu dan masyarakat saling berhubungan secara organis; tidak dapat dimengerti tanpa yang lain. Saling ketergantungan tersebut diungkapkan dalam analisa Cooley mengenai perkembangan konsep diri (”I” seseorang). Hal ini berhubungan sangat erat dengan perasaan diri seseorang. Apakah orang itu senang atau kecewa dengan penampilan dan perilakunya, sebagian besar merupakan hasil dari apakah orang lain dilihat menyetujui atau menolak penampilan dan perilakunya itu. Aspek konsep diri ini disebut dengan istilah looking-glass self. Setiap hubungan sosial dimana seseorang itu terlibat merupakan suatu cerminan diri yang disatukan dalam identitas orang itu sendiri. Berikut ini adalah gambaran Cooley tentang looking-glass self:
Each to each a looking-glass
Reflects the other that doth pass
“Ketika kita melihat wajah, bentuk, dan pakaian kita di depan cermin, dan merasa tertarik karena semua itu milik kita….begitu pula dalam imajinasi, kita menerima dalam pikiran orang lain suatu pemikiran tentang penampilan, cara, tujuan, perbuatan, karakter, dan seterusnya, dan dengan berbagai cara dipengaruhi olehnya.
Suatu ide semacam ini nampaknya memiliki tiga elemen yang penting: imajinasi tentang penampilan kita kepada orang lain; imajinasi tentang penilaian mengena penampilan itu, dan suatu jenis perasaan diri, seperti kebanggaan atau malu….”
Kiasan dengan cermin ini tentu tidak mencukupi; mengapa, karena cermin tidak dapat memberikan persetujuan atau penolakan, sedangkan persetujuan dan penolakan orang lain itu penting. Ada sejumlah variasi hubungan antara perasaan diri seseorang dan hubungan-hubungannya dengan orang lain. Cooley menganalisa variasi serupa itu dalam diskusinya mengenai konsep-konsep seperti kebanggaan, kesombongan, kehormatan, kerendahan hati, serta karakteristik lain-lainna yang biasanya digunakan untuk mengambarkan kepribadian seseorang.
Perasaan diri seseorang sering diperpanjang ke pelbagai kelompok di mana mereka merupakan salah satu bagiannya. ini disebut Cooley ”diri kelompok ”we” hanyalah suatu ”i” yang mencakupi orang lain. Seseorang mengidentifikasikan dirinya dengan suatu kelompok dan berbicara tentang kemauan bersama, pandangan, pelayanan, atau yang lain-lainnya menurut ”we” dan ”us”. Perasaan we, pengalaman tentang kesatuan antara diri dan orang lain, mula-mula muncul dalam konteks kelompok primer. Colley melihat kelompok primer ini sebagai wadah terbentuknya watak manusia (nursery of human nature) dimana setiap individu memulai kehidupan yang aktual dalam lingkungan sosial yang pertama sekali dan palin pokok (primitive) dan satu-satunya tipe yang dapat ditemukan di mana-mana. Kelompok primer adalah kelompok yang ditandai oleh persatuan dan kerjasama tatap-muka yang bersifat intim. Kelompok primer juga merpakan dasar bagi struktur sosial yang lebih besar. Kelompok primer disebut primer dalam pengertian bahwa kelompok itu memberikan kepada individu pengalaman tentang kesatuan sosial yang paling awal dan paling lengkap, dan juga dalam pengertian bahwa kelompok itu tidak mengalami perubahan dalam derajat yang sama seperti pada hubungan yang lebih luas, tetapi merupakan suatu sumber yang termasuk permanen dari mana struktur sosial itu muncul.
Dalam banyak hal, struktur sosial yang lebih besar akan merangsang meluasnya perasaan kelompok primer kecil itu ke satuan yang lebih luas. Tekanan Cooley pada umumnya adalah pada pandangan bahwa masyarakat (struktur, institusi, pola normatifnya, dan lain-lain) ada dalam pikiran dan perasaan individu. Pandangan-pandangan umum serta perasaan-perasaan yang merupakan dasar untuk institusi sosial tidak hanya sekadar penjumlahan pandangan-pandangan dan perasaan-perasaan individu secara pribadi. Pandangan umum merupakan suatu tingkat kenyataan sosial baru yang bersifat muncul, suatu keseluruhan yang lebih daripada jumlah bagian-bagiannya.
Bila pandangan Cooley ini dibandingkan dengan pandangan Mead, maka Mead tidak menyetujui pandangan mengenai perasaan diri yang dibawa sejak lahir serta penekanan pada komponen perasaan dalam konsep diri. Namun keduanya merupakan perintis dalam analisa sosiologis tingkat mikro, dan keduanya dikenang masa kini karena karya mereka mengenai saling ketergantungan yang terjalin halus antara konsep diri dan hubungan sosial yang terbatas, yang membentuk lingkungan sosial yang praktis paling dekat dengan setiap orang.
Tokoh lain yang penting dianta para ahli sosiologi Amerika adalah William I. Thomas pada saat awal, yang memusatkan perhatiannya pada saling ketergantungan organis antara individu dan lingkungan social, dan yang gagasan-gagasannya dapat dengan mudah di golongkan dalam gaya analisa sosiologis tingkat-mikro dalam interaksionisme symbol. Thomas dikenal dengan karyanya yang dibuat bersama Florian Znaniecki yang berjudul The Polish Peasant in Europe and America. Penelitian klasik ini menyangkut masalah penyesuaian psikologis dan social yang dihadapi oleh para kaum imigran Polandia dalam lingkungan yang baru di Chicago. Sumbangan Thomas yang penting dalam bidang interaksionisme symbol adalah tekananya pada pentingnya definisi situasi seseorang yang bersifat subyektif dan prinsip dasar yang kadang-kadang dikenal dengan “Theorem Thomas”, yakni kalau orang mendefinisikan situasi sebagai riil, maka akan riil pula dalam konsekuensinya.
Thomas berusaha mengidentifikasi factor-faktor biologis dan psikologis yang dibawa sejak lahir, yang menjelaskan perilaku manusia, tercermin misalnya dalam seperangkat kemauan: (1)keinginan akan pengalaman baru, (2) keinginan akan penghargaan, (3) keingianan akan penguasaan, dan (4) keinginan akan keamanan. Ini didasarkan pada suatu strategi yang tidak menuntut asumsi-asumsi yang berhubungan dengan karakteristik biologis atau psikologis yang dibawa sejak lahir sebagai syarat.
Dalam mengembangkan analisa situasi itu, Thomas berpendirian bahwa perilaku manusia tidak dapat dimengerti dengan baik sebagai respon refleksif saja terhadap stimulus lingkungan; sebaliknya, ada suatu proses defenitif subyektif yang berada diantara stimulus dan respons. Karena itu, respons adalah untuk suatu definisi subyektif, bukan untuk sifat-sifat fisik dari stimulus. Stimulus yang sama mungkin menghasilkan respons yang berlainan dari orang-orang yang berbeda atau oleh orang sama pada waktu yang berlainan kalau pada waktu definisi situasi yang bersifat subyektif itu berbeda-beda.
Analisa yang diberikan Thomas dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa orang mempunyai sikap yang berbeda atau orang yang sudah mendapat sosialisasi dalam lingkungan budaya atau subkultur yang berlainan tidak memberikan respons terhadap stimulus yang sama dengan cara yang sama. Perbedan-perbedaan dalam respons terhadap suatu situasi tertentu merupakan hasil dari suatu perbedaan dalam definisi subyektif. Kemungkinan-kemungkinan untuk salah paham dan konflik menjadi lebih besar di sekitar batas masyarakat yang berbeda kebudayaannya. Analisa situasi yang diberikan Thomas memberikan sumbangan untuk melihat pentingnya perbedaan budaya atau subkultur dalam definisi-definisi yang diakui masa kini.
3.Interaksionisme Simbol Masa Kini
Teori interaksionisme simbol bukanlah suatu teori yang benar-benar sudah dikembangkan atau merupakan suatu teori yang terpadu. Teori interaksionisme simbol merupakan satu dari teori-teori yang dikenal yang memusatkan perhatiannya pada proses-proses sosial di tingkat mikro, termasuk kesadaran subyektif dan dinamika interaksi antarpribadi. Salah satu ahlinya adalah Manford H. Kuhn menunjuk pada beberapa perspektif teoritis yang parsial, dimana interaksionisme simbol semacam payung. Kuhn dalam komitmennya terhadap pengukuran empiris objektif mengenai variabel-variabel seperti konsep-diri dikecam oleh beberapa ahli. Misalnya Herbert Blumer menuduh bahwa usaha-usaha yang dilakukan Kuhn itu mengesampingkan atau mengubah sifat munculnya kenyataan sosial itu. Mereka mempertahankan bahwa konsep-diri itu muncul dalam aksi dan interaksi. Setiap usaha untuk mengukur konsep-diri secara terpisah dari konteks interaksional yang sedang berlangsung atau yang bersifat situasional, atau yang mengandung implikasi bahwa hal itu dapat diukur dengan suatu cara yang fiksatau statis, mengalami kegagalan untuk menangkap sifat muncul dan sifat tidak tepatnya itu.
Blumer, murid Mead, berpegang dan mengembangkan tekanan Mead yang fundamental pada proses interaksi yang terus-menerus. Melalui proses ini individu menginterprestasikan lingkungannya, saling menginterprestasi, dan berembuk tentang arti-arti bersama atau definisi tentang situasi yang dimiliki bersama. Bagi interaksi simbol, organisasi sosial tidak menentukan pola-pola interaksi; organisasi sosial muncul dari proses interaksi.
Selanjutnya para ahli interaksionisme simbol masa kini masih mengikuti petunjuk Mead dalam menekankan pentingnya konsep-diri dalam interaksi. Tekanan ini diungkapkan dalam model McCall dan Simmons mengenai ”identitas-peran”. Identitas peran terdiri dari gambaran diri yang bersifat ideal yang dimiliki oleh individu sebagai orang yang menduduki pelbagai jabatan sosial. Orang memiliki sejumlah identitas-peran yang berhubungan dengan pelbagai posisi sosial yang mereka miliki dan yang berbeda-beda menurut tingkatannya dalam perbandingannya satu sama lain. Identitas-peran ini diungkapkan secara terbuka dalam pelaksanaan peran (role perfomence) dan tingkatan dukungan sosial (atau kurang didukung) yang diterima dari orang lain akan membantu menentukan entongnya suatu identitas-peran tertentu dalam konsep-diri seseorang secara keseluruhan.
Pentingnya reaksi sosial terhadap konsep-diri seseorang dapat kita lihat dalam studi-studi mengenai penyimpangan. Persektif interaksionisme simbol mengenai penyimpangan memulai dengan suatu pengakuan bahwa penyimpangan tidak hanya sekedar suatu manifestasi suatu ciri pembawaan sejak lahir atau cacat kepribadian. Sebaliknya, penyimpangan itu dihasilkan sebagai akibat dari suatu tipe proses interaksi tertentu. Lebih lagi, penyimpangan selalu harus didefinisikan dalam hubungannya dengan standar-standar normatif tertentu dalam suatu masyarakat atau kelompok. Definisi mengenai apa itu penyimpangan atau apa itu konformitas, akan berbeda-beda untuk masyarakat yang berbeda-beda atau kelompok yang berbeda-beda dalam suatu masyarakat.
4.Goffman dan Pendekatan Dramaturgi Terhadap Dinamika Interaksi
Pengaruh konsep-diri individu pada definisi-definisinya mengenai situasi dan pada perilaku serta gaya interaksi, merupakan salah-satu tema pokok dalam perspektif dramaturgi masa kini yang dikembangkan oleh Goffman. Meskipun pendekatan ini baru dalam bidang sosiologis, pendekatan ini mencerminkan wawasan dulu yang dikemukakan oleh Shakespeare bahwa dunia adalah suatu panggung dan manusia adalah sekadar pemain-pemain saja di atas panggung ini; masing-masing masuk ke dalam panggung, memainkan suatu peran tertentu atau membawa lakon dan, akhirnya, keluar.
Salah-satu dari karya Goffman yang ditulis pada masa-masa awal adalah ”The Presentation of Self in Everyday Life”. Dengan menggunakan bahasa teater, Goffman menganalisa pelbagai strategi yang digunakan individu dalam usahanya untuk memperoleh kepercayaan social terhadap konsep-dirinya. Menurut model analisa ini, masalah utama yang dihadapi individu dalam pelbagai hubungan socialnya adalah mengontrol kesan-kesan yang diberikannya pada orang lain. Pada akhirnya, individu berusaha mengontrol penampilannya, keadaan fisiknya, dimana mereka memainkan peran-perannya, serta perilaku perannya yang actual dan gerak-isyarat yang menyertainya.
Salah satu hal dalam analisa dramaturgi Goffman yang menarik perhatian adalah pengakuannya akan banyaknya cara di mana orang bekerjasama dalam melindungi pelbagai tuntutan satu sama lain berhubungan dengan kenyataan social yang sedang mereka usahakan untuk dipentaskan atau identitas yang mereka coba tampilkan. Hal ini penting, karena hakekat kenyataan social yang dirancang itu membuatnya sangat mudah dikritik dan mudah retak. Sementara itu, dilain pihak ada beberapa situasi social, sering termasuk kompetisi dan konflik, di mana individu mungkin mencari jalan untuk saling menjelekkan penampilan.
Terdapat beberapa hal yang dijelaskan oleh Goffman dalam analisa dramaturginya, diantaranya yakni:
a.Tim dan audiensinya; suatu tim dalam dramaturgi adalah suatu kelompok orang-orang yang bekerjasama untuk mementaskan suatu penampilan tertentu; audiens diharapkan untuk menerima definisi tentang kenyataan, termasuk identitas mereka yang terlibat, yang diperankan oleh tim itu.
b.Kesulitan interaksi yang dihadapi orang cacat; suatu masalah sosial utama yang dihadapi orang cacat adalah bahwa mereka itu ”abnormal” dalam tingkat yang sedemikian jelasnya sehingga orang lain tidak merasa enak untuk berinteraksi dengan mereka atau tidak mampu berinteraksi dengan mereka sedemikian rupa hingga cacat itu sendiri tidak menjadi pikok penting dalam interaksi itu. Sumber noda atau cacat (stigma) sangat besar pengaruhnya terhadap kepribadian individu sehingga individu tidak mampu untuk bertindak menurut cara yang biasa. Masalah utama dan mungkin yang paling penting menurut Goffman bagi orang cacat adalah mengatasi asumsi negatif yang diberikan orang lain dengan memperlihatkan bahwa kecuali yang berhubungan dengan anggota badannya yang cacat itu, dia mampu berinteraksi secara normal dengan orang lain dan mengalami emosi, kebutuhan, dan kepeningan secara penuh sebagai manusia yang mampu.
c.Konteks interaksi; adalah kegiatan-kegiatan di mana individu terlibat, tunduk pada interpretasi-interpretasi alternatif atau memiliki arti yang lebih dari satu. Kebualatan arti mengenai seperangkat kegiatan ditentukan oleh konteks di mana kegiatan-kegiatan itu terjadi. Harus ada dimensi fisik dalam konteks itu, yang meliputi ruang, dan pelbagai benda materiil yang ada disitu. Selain itu, terdapat dimensi sosial, seperangkat pertemuan di mana individu-individu yang terlibat dalam suatu tindakan sosial akan sampai pada suatu pengertian mengenai jenis usaha itu.

B.PERTUKARAN ANTAR PRIBADI DAN MUNCULNYA STRUKTUR SOSIAL
Bertentangan dengan teori interaksionisme simbol, teori pertukaran terutama melihat perilaku nyata, bukan proses-proses subyektif. Teori pertukaran khususnya cocok dengan tingkat kenyataan sosial antarpribadi (interpersonal). Homans mengemukakan bahwa penjelasan ilmiah harus dipusatkan pada perilaku nyata yang dapat diamati dan diukur secara empirik.
Dalam teori sosial klasik diamsumsikan bahwa transaksi-transaksi pertukaran akan terjadi hanya apabila kedua pihak dapat memperoleh keuntungan dari pertkaran itu, dan bahwa kesejahteraan masyarakat umumnya dapat dengan baik sekali dijamin apabila individu-individu dibiarkan untuk mengejar kepentingan pribadinya melalui pertukaran-pertukaran yang dirembukkan secara pribadi.
1.Teori Pertukaran Sosial Yang Individualistik Versus Kolektivitas
Teori-teori pertukaran masa kini yang dikembangkan Homans dan Blau konsisten dengan tekanan individualistis dalam pemikiran sosial Inggris di abad kedelapan belas dan kesembilan belas. Tetapi proses pertukaran dapat dianalisa dengan seperangkat asumsi dasar yang berbeda-beda.
2.Homans: Suatu Pendekatan Perilaku Terhadap Pertukaran Pokok
Homans menolak tipe penjelasan fungsional. Bagi dia, memperlihatkan bahwa suatu pola tertentu itu bersifat menguntungkan masyarakat bukan untuk menjelaskan mengapa orang itu menyesuaikan tindakannya dengan pola itu. Tujuan yang sama untuk mengembangkan konsep-konsep teoritis dan prinsip-prinsipnya yang umum, juga jelas dalam analisa Homans mengenai proses-proses kelompok kecil dalam bukunya The Human Group. Homans memilih kelompok kecil untuk analisa deskriptif, sebagian karena kelompok itu merupakan satuan dasar yang terdapat dalam semua tipe struktural sosial lainnya dan semua satuan budaya, dan sebagiannya karena keterlibatan dalam kelompok itu demikian merembesnya dalam pengalaman manusia.
Ada tiga konsep utama yang digunakan Homans untuk mengambarkan kelompok kecil:
a.Kegiatan; kegiatan adalah perilaku aktual yang digambarkan pada tingkat yang sangat kongkret.
b.Interaksi; kegiatan apa saja yang merangsang atau dirangsang oleh kegiatan orang lain.
c.Perasaan (sentiment); tidak didefinisikan hanya sebagai suatu keadaan subyektif (seperti mungkin diharapkan menurut akal sehat), tetapi sebagai suatu tanda yang bersifat eksternal atau yang bersifat perilaku yang menunjukkan suatu keadaan internal.
Homans membangun teori pertukarannya pada landasan konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang diambil dari psikologi perilaku dan ekonomi dasar. Perilaku individu terbentuk oleh dukungan positif dan negatif; pilihan-pilihan individu dari antara perilaku alternatif mencerminkan harapan mereka akan suatu rasio biaya-imbalan yang mengntungkan.
3.John Thibaut dan Harold H. Kelley: Teori Pertukaran Diterapkan Pada Kelompok Duaan
Masalah-masalah yang berhubungan dengan tingkat mikro juga tampak dalam teori pertukaran Thibaut dan Kelley, mereka menelusuri proses-prosese di mana tawar-menawar yang terjadi dalam interaksi itu, lama-kelamaan menjadi rutin atas dasar hasil biaya-imbalan yang menguntungkan semua pihak yang terlibat didalamnya.
Mereka yang terlibat dalam suatu hubungan yang tetap tidak berarti harus mengikuti proses kalkulasi yang dibuat dengan sengaja setiap kali suatu transaksi terjadi, suatu perubahan yang tidak menguntungkan dapat merangsang individu untuk melakukankan kembali penilaian hubungan mereka yang sudah ada tersebut. Salah-satu alasan yang penting bagi terjadinya pergeseran dalam hasil biaya-imbalan adalah bertambahnya jumlah orang yang terlibat dalam sebuah transaksi. Thibaut dan Kelley memuastkan perhatiannya pada perbedaan yang kontras antara pertukaran dalam kelompok duaan dan yang terjadi dalam kelompok yang lebih besar.
4.Teori Pertukaran Blau: Munculnya Struktur Makro Dari Pertukaran Sosial Dasar
Berbeda dengan Homans, Blau tidak memusatkan perhatiannya pada proses psikologi dasar seperti dukungan dan sebagainya, meskipun dia mengakui adanya proses-proses psikologi yang sangat dasar. Blau tidak mengemukakan bahwa prinsip-prinsip teori pertukaran menjelaskan semua interaksi. Tetapi pertukaran sosial yang dimaksudkan disini terbatas pada tindakan-tindakan yang tergantung pada reaksi-reaksi penghargaan dari orang lain dan yang berhenti apabila reaksi-reaksi yang diharapkan itu tidak kunjung datang. Interaksi seperti ini mencerminkan kurang lebih harapan yang eksplisit dan penilaian terhadap hasil-hasil alternatif yang lainnya.
Dalam model Blau, manusia tidak didoraong hanya oleh kepentingan diri yang sempit. Seperti Homans, Blau menekankan pentingnya dukungan sosial sebagai suatu imbalan. Teori pertukaran Blau mencerminkan suatu usaha untuk bergerak dari tingkat mikro ke tingkat makro. Pada tingkat mikro, Blau memberadakan penghargaan instrinsik dan yang ekstrinsik, dimana pertukaran dengan penghargaan intrinsik tunduk pada hambatan-hambatan normatif tertentu yang menghalangi terjadinya tawar-menawar mengenai biaya dan imbalan dan yang mengurangi perhatian terhadap apa yang harus dibayarkan oleh individu. Sedangkan peghargaan ekstrinsik lebih merupakan petukaran yang terjadi dimana penghargaan dapat dilepas dari hubungan tertentu, dan pada prinsipnya dapat diperoleh dari setiap pasanagan pertukaran. Misalnya pertukaran ekonomi yang terjadi di pasar.
Apabila orang-orang tidak mampu atau tidak bersedia untuk menghindari keadaan yang tidak seimbang dalam hubungan pertukaran, maka muncullah struktur kekuasaan. Orang yang menyediakan penghargaan di mana orang yang menerima itu menjadi tergantng dan mereka tidak dapat membalasnya, mampu menuntut ketaatan dari mereka dalam pertukaran. Seseorang yang memiliki kekuasaan atas orang lain dengan mengontrol sumber-sumber penghargaan di mana mereka menjadi tergantung, mampu untuk membangun suatu garis tindakan kelompok dalam hubungannya dengan kelompok lain atau dalam mencapai suatu tujuan elompok. Perkembangan garis tindakkan kelompok merupakan dasar munculnya struktur makro.
Terdapat beberapa sifat dasar yang muncul dalam struktur makro yang membedakannya dari strukur mikro. Bagi Blau sangat penting beberapa tipe yang berbeda mengenai nilai dan norma yang dipaparkannya dalam struktur makro, yakni; nilai-nilai yang memberikan legitimasi; nilai-nilai oposisi’ nilai-nilai partikularistik; dan nilai-nilai universalistik. Dalam sistem yang besar dann kompleks sepereti masyarakat keseluruhan, nilai-nilai abstrak seperti itu menjadi lebih penting daripada penghargaan yang bersifat langsung, untuk mempertahankan pola-pola pertukaran yang sudah mapan.

C.INTEGRASI DAN KETERATURAN SOSIAL DALAM MASYARAKAT: PENDEKATAN FUNGSIONAL
Pada bagian ini kita akan membahas mengenai sumbangan utama dari dua orang tokoh fungsionalisme terkemuka yakni: Talcott Parsons dan Robert K. Merton. Karya Parsons mulanya dimaksudkan untuk mengembangkan suatu model tindakan sosial yang bersifat voluntaristik yang didasarkan pada sintesanya dari teori Marshall, Pareto, Durkheim, dan Weber. Menurut Persons, mereka ini telah menegakkan dasar-dasar untuk mendamaikan pandangan-pandangan yang bertentangan antara positivisme dan idealisme. Sedangkan Merton, mengkritik teori Parsons yang bersekala besar, ia lebih menyukai strategi yang lebih sederhana dalam mengembangkan teori taraf-menegah.
1.Parsons: Dari Tindakan Sosial Ke Sistem Sosial
Prinsip dasar yang terdapat dalam teori Parsons keseluruhan mengenai tindakan adalah bahwa tindakan sosial itu diarahkan pada tujuannya dan diatur secara normatif. Orientasi-orientasi alternatif terhadap tujuan dan norma dimasukkan dalam seperangkat kelima variabel berpola yang mengambarkan pilihan-pilihan yang harus dibuat oleh individu, baik secara implisit maupun secara eksplisit, dalam semua hubungan sosial. Variabel berpola adalah kerangka untuk menganalisa nilai budaya, penghargaan peran sistem sosial, dan pengaturan kebutuhan pribadi secara serempak. Pilihan-pilihan alternatif yang diberikan oleh variabel-variabel berpola itu merupakan suatu perluasan dari beberapa dimensi yang secara implisit ada dalam dikotomi gemeinshaft-gesellschaft atau dikotomi kelompok primer-kelomok sekunder.
Permasalahan berikutnya yang umum adalah menentukan persyaratan fungsional yang dasar dari masyarakat serta struktur dengan mana persayaratan-persyaratan ini dipenuhi. Satu persyaratan umum yang dianjurkan oleh variabel berpola adalah menjamin kesesuaian antara nilai budaya, harapan peran, pengaturan kebutuhan kepribadian. Persyaratan lainnya tumbuh dari kebutuhan untuk memenuhi persyaratan biologis dasar manusia dan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan fisik, dan terhadap satu sama lain. Pada tingkatan masyarakat, persyaratan fungsional ini dipenuhi melalui pelbagai institusi sosial.
Parsons dan kawan-kawanya memperluas strategi analisa fungsional sehingga dapat diterapkan pada sistem sosial tingkat mikro atau tingkat makro apa saja. Hasilnya adalah model A-G-I-L. Singkatnya, model ini menunjukkan pada kebutuhan setiap sistem sosial untuk memenuhi persyaratan fungsional penyesuaian, pencapaian tujuan, integrasi, dan latent pattern maintenance. Secara keseluruhan sistem sosial dilihat berada di bawah kontrol nilai dan norma budaya, dengan energi dasar yang dinyatakan dalam tindakan yang keluar dari sistem organisme.
Parsons dalam analisa fungsionalnya menekankan pada mekanisme yang meningkatkan stabilitas dan keteraturan dalam sistem sosial. Akhirnya Parsons mengalihkan perhatiannya pada suatu analisa mengenai perubahan historis yang besar dengan mengembangkan suatu model evolusi yang sangat menekankan proses diferensiasi struktural. Perubahan ini dan yang berhubungan dengan itu, menurutnya terjadi dalam bentuk yang teratur dan menjamin kemajuan sosial selanjutnya.
2.Merton dan Fungsionalisme Taraf-Menengah
Sementara Merton tidak setuju dengan gaya Parsons yang mengembankan teori dalam skala besar. Merton lebih menyukai strategi yang lebih sederhana dalam mengembangkan teori taraf-menengah. Bagi Merton, stretegi analisa fungsional meliputi identifikasi serta analisa mengenai konsekuensi sosial objektif dari pola-pola perilaku tertentu. Konsekuensi-konsekuensi itu bersifat baik laten maupun manifes. Konsekuensi-konsekuensi itu mungkin menguntungkan sistem itu dimana mereka ada, atau disfungsional atau irelevan dengan persyaratan fungsional. Jika suatu pola institusional tertentu menguntungkan karena memenuhi kebutuhan suatu sistem sosial, ini tidak berarti bahwa pola ini bersifat mengharuskan; persyaratan serupa itu dapat dipenuhi dengan alternatif-alternatif lain.
Secara keseluruhan, perhatian Merton tidak pada menentukan persyaratan fungsional atas dasar a priori, melainkan dengan menilai konsekuensi-konsekuensi dari pola perilaku yang sudah mapan untuk sisem itu di mana pola-pola itu terdapat. Kita menekankan situasi di mana disfungsi laten pelan-pelan akan megakumulasi pada titik di mana disfungsi-disfungsi itu dilihat sebagai permasalahan sosial dan merangsang usaha perbaikan sosial. Sebagian besar karya substantif Merton mengambarkan perkembangan teori taraf-menengah. Sudah kita lihat sepintas lalau mengenai teorinya tentang stryktur sosial dan anomi, kepribadian birokratis dan kelompok refrens.

D.KONFLIK DAN PERUBAHAN SOSIAL
Teori konflik merupakan teori penting masa kini yang menekankan kenyataan sosial di tingkat struktur sosial daripada tingkat individual, antarpribadi, atau budaya. Perhatian utama teori konflik yakni mengenal dan menganalisa kehadiran konflik dalam kehidupan sosial, sebab dan bentuknya, serta akibatnya dalam menimbulkan perubahan sosial. Selain itu, para ahli teori konflik tidak mengabaikan nilai dan norma budaya, tetapi lebih cenderung melihat nilai dan norma sebagai ideologI yang mencerminkan usaha-usaha kelompok dominan untuk membenarkan berlangsungnya dominasi mereka. Karl Marx merupkan tokoh utama yang menjelaskan sumber-sumber konflik serta pengaruhnya terhadap peningkatan perubahan sosial secara revolusioner.

1.Warisan Marx dan Perspektif Teori Kritis
Teori Marx memberikan batas yang penting dalam bidang intelektual sehingga para ahli sosial dapat dengan mudah dikelompokkan menurut paham yang mereka ambil, Marxis atau non-Marxis, sebab tidak semua teori konflik harus Marxis. Dalam hal ini, teori konflik Marx lebih menekankan dasar ekonomi untuk kelas sosial, khususnya pemilikan atau yang tidak memiliki alat produksi. Hal yang lebih kontroversi dari teori Marx adalah ide mengenai sistem dua-kelas yang digunakan Marx dalam analisa mengenai pertumbuhan yang semakin melebar antara kelas borjuis dan proletar. Sehingga Marx meramalkan akaada revolusi proletariat dan asumsi bahwa perubahan struktur sosial tidak dapat dicapai kecuali dengan revolusi. Namun para ahli teori masa kini lebih cenderung melihat sejumlah kemungkinan untuk perubahan sosial dalam sistem kapitalis tanpa revolusi yang kejam. Model analisis dialektis Marx sudah merangsang sejumlah para ahli teori masa kini untuk melihat sejumlah kontardiksi internal serta konflik yang terkandung dalam struktur sosial, sehingga perubahan sosial lebih dikenal sebagai hasil dari usaha mendamaikan kontradiksi dan konflik yang terjadi.
Asumsi Filosofis Marxis
Posisi filosofis Marx terjalin dalam analisa sosiologi dan ekonominya. Segi filosofisnya berpusat pada usaha untuk membuka kedok sistem nilai masyarakat, pola kepercayaan, dan bentuk kesadaran sebagai ideology yang mencerminkan dan memperkuat kelas yang berkuasa.
Para ahli sekarang mengakui pentingnya ideology dan hubungan antara komitmen ideology dan posisi dalam struktur kelas ekonomi. Namun, menurut faham non Marxis hubungan antara kesadaran subjektif dengan struktur sosioekonomi adalah jauh lebih komplek dan lebih bervariabel daripada yang terdapat dalam teori Marx. Pertanyaan mengenai hubungan natara kepercayaan individu dan nilai adalah masalah empiris dan bukan suatu hal yang ditentukan atas dasar filosofis.
Sebaliknya, menurut Marxis bahwa validitas kepercayaan seseorang serta nilainya ditentukan sebagian atas suatu dasar filosofis. Hal ini tercermin dalam pembedaan Marx antara “kesadaran palsu” dengan “kesadaran Benar”. Kesadaran palsu disebut oleh Marx sebagai suatu alienasi. Marx menunjukkan empat tipe alienasi, yaitu alienasi dari proses produksi, dari produk yang dihasilkan oleh kegiatan individu, dari manusia lainnya, dan dari dirinya sendiri. Alienasi dapat diukur secara empiris kalau hanya merujuk pada perasaann subjektif individu akan keterasingan dari diri sendiri atau dari orang lain, atau kurangnya control atas kondisi kehidupannya sendiri.
a.Konteks Sosiopolitis dari Pertumbuhan Teori Kritis
Implikasi filosofis dan humanistic dari perspektif Marx membentuk sebagian besar teori kritis masa kini. Teori kritis muncul pada tahun 1930-an dalam suatu kelompok intelektual yang berpusat di lembaga Penelitian Sosial Universitas Frankfrut, Jerman. Beberpa tokoh aliran ini adalah Horkheimer, Adorno, Marcuse, dan Fromm. Pada pertengahan tahun 1930-an organisasi ini sempat vakum disebabkan tekanan Nazisme terhadap kaum intelektual, sehingga kurang berpengaruh terhadap eksistensi teori kritis. Baru pada pertengahan tahun 1960-an pengaruh teori kritis terhadap sosiologi semakin besar. Wawasan dan perspektif teori kritis disatukan dengan pelbagai kerangka sosiologi radikal “aliran kiri. Khususnya karya Marcuse menjadi sangat berpengaruh. Tulisannya yang berjudul “One Dimensional Man” merupakan suatu perspektif untuk menganalisa bagaimana masyarakat birokratis-teknologis modern secara sistematis membentuk kesadaan dan pandangan dunia modern sehingga perkembangan sifat manusia yang utuh terganggu dan tertekan. Ahkir-akhir ini karya habermas terkenal dikalangan luas terutama tekanannya pada pentingnya komunikasi yang bebas dan terbuka sebagai syarat mutlak untuk membebaskan diri dari dari kondisi dominasi sosiopolitik.
b.Kesadaran Subjektif dan Bentuk Dominasi
Di tahun 1930-an, aliran Frankrut menginterpretasi munculnya fasisme sebagai suatu hasil alamiah dari dinamika yang melekat dalam kapitalisme. Para ahli teori kritis masa kini menekankan bahwa di bawah permukaan pluralisme dan toleransi yang dangkal, ada suatu bentuk dominasi yang sama besar dan lebih tajam yang dinyatakan dalam orientasi budaya yang berlaku dengan kesadaran subyektif individu. Bentuk dominasi ini meliputi pembentukan pandangan hidup dan cara berpikir yang tidak kentara lebih daripada control politik yang terang-tarangan. Namun, hasil akhirnya sama yakni meningkatkan stabilitas sistem kapitalis dan memperkuat kembali struktur kekuasaanya.
Menurut pandangan Marx, struktur politik negara memainkan peran yang lebih tajam dan lebih besar dalam mempertahankan stabilitas sistem kapitalis. Menurutnya, fungsi Negara yang utama adalah melindungi dan mendukung kepentingan kelas kapitalis. Bagi para ahli teori kritis, negara menjalankan fungsi ini ditambah dengan fungsi menciptakan dan manipulasi simbol-simbol legitimasi politik dan hubungan symbol-simbol ini dengan pandangan hidup budaya pada umumnya. Dalam proses ini sistem politik mempunyai pengaruh besar yang tersembunyi dalam membentuk pandangan dunia.
c.Perspektif Kritis dan Teori Psikoanalisa
Analisa para ahli teori kritis mengenai pelbagai bentuk dominasi tidak hanya diambil dari pandangan Marx mengenai kesadaran palsu dan pengaruh-pengaruh yang memperkuat ilusi ideologis, tetapi dari teori psikoanalisa Freud. Fromm khususnya menggunakan perspektif psikoanalitis dalam usahanya menjelaskan kesediaan yang terang-terangan dari orang-orang dalam suatu massa rakyat untuk mengorbankan kebebasannya demi keselamatan. Marcuse berusaha untuk mengintegrasikan pandangan sentral Freud dengan pandangan Marx. Dalam tulisannya yang berjudul Eros and Civilation, konsep represi digunakan untuk menggantikan konsep Marx mengenai eksploitasi ekonomi dalam rangka menjelaskanbentuk-bentuk dominasi baru yang lebih tajam dan sudah berkembang dalam sistem modern.
d.Teori Kritis dan Perspektif Fenomenologis
Perspektif fenomenologis sejalan dengan gambaran tentang kenyataan sosial yang dikembangkan oleh para ahli teori kritis. Fenomenologis dengan posisi filosofisnya dibuat oleh filsuf Jerman Immanuel Kant antara persepsi tentang objek di dunia luar dan hakikat benda itu sendiri. Implikasi dari posisi ini adalah bahwa kita tidak pernah memiliki pengetahuan yang absolute mengenai hakikat benda itu sendiri, karena persepsi kita mengenai objek akan selalu mencerminkan kategori-kategori subjektif dari kerangka persepsi kita. Kategori-kategori persepsi termasuk ke dalam kesadaran subjektif, bukan pada dunia benda-benda luar.
Hal yang penting bahwa kita harus memiliki persepsi bahwa dunia luar termasuk dunia fisik dan dunia sosial merupakan satu persepsi yang terbatas dan parsial dan mencerminkan perspektif subjektif kita dalam cara yang sangat mirip dengan warna lensa yang sangat menentukan warna dunia pemandangan bagi orang yang menggunakannya. Apabila seperangkat kategori persepsi atau kesadaran subjektif dimiliki oleh anggota suatu masyarakat secarameluas, maka setiap perspektif orang yang sifatnya terbatas dan mungkin bias akan diperkuat secara sosial, dan perspektif tandingan tandingan tidak akan berkembang. Dengan cara ini, bentuk kesadaran yng diciptakan dan diperkuat dalam suatu tradisi tertentu kelihatan valid secara objektif atau berhubungan secara tepat dengan kenyataan eksternal dunia sosial.
2.Analisa Kritis Mills Mengenai Elit Kekuasaan di Amerika
Buku Mills yang berjudul “The Power Elite” adalah sebuah analisa tentang struktur kekuasaan di masyarakat Amerika. Tesis sentralnya adalah bahwa mereka yang menduduki posisi atas dalam institusi ekonomi, militer, dan politik –“orang kaya perusahaan, panglima perang, militer dan direktur politik”- membentuk elit kekuasaan yang terintegrasi dan terpadu yang keputusan-keputusannya menentukan struktur dasar dan masyarakat Amerika. Keputusan mereka mebuat seluruh jenjang kehidupan semu orang yang berada di dalamnya menjadi rendah. Keputusan dan kegiatan mereka yang termasuk dalam lapisan atas mencerminkan kepentingan mereka dalam mempertahankan dominasi daripada menunjukkan suatu usaha yang murni untuk kepentingan masyarakat.
3.Elit Kekuasaan dan “Hukum Besi Oligarki”
Konsep “hukum besi oligarki” dikemukakan oleh Robert Michels. Konsep ini menunjuk pada suatu kecenderungan umum bagi kekuasaan untuk menjadi terkonsentrasi pada tangan suatu elit yang keputusan dan tindakannya secara bertahap diarahkan untuk mempertahankan kekuasaan mereka lebih daripada meningkatkan kepentingan rakyat jelata. Michels menguji proses ini pada konteks partai politik dan serikat buruh, dan hasilnya para partai politik tunduk pada kepentingan kelompok pada struktur pimpinan dalam memperkuat kekuasaan mereka dan mempertahankan posisi elitnya. Paradoknya, meskipun ideology mereka bersifatdemokratis, tetapi struktur organisasi demokratis yang actual cenderung diubah ke suatu bentuk oligarki.
4.Hubungan Otoritas dan Konflik Sosial: Sumbangan Dahrendrorf
Teori konflik Ralf Dahrendrof, seorang ahli sosiologi Jerman, merupakan penulis buku yang berjudul Class and Conflict in Industrial Society tahun 1959. Dahrendrof lahir pada tahun 1929 dan mengalami bangkitnya Nazisme sehingga ia sangat terlibat dalam masalah politik dan menjadi anggota pparlemen di Jerman Barat.
Dahrendrof menolak tekanan kaum fungsionalis pada integrasi, nilai dan consensus normative, serta stabilitas karena berat seblah; sebaliknya, dia berusaha untuk mendasarkan teorinya pada suatu perspektif Marxis yang modern yang menerima meluasnya konflik sosial yang didasarkan pada oposisi kepentingan kelas dan konsekuensi konflik dalam melahirkan perubahan sosial. Tetapi tidak seperti aliran Frankfurt, Dahrendorf tidak menggunakan perspektif Marxis sebagai suatu dasar untuk kritik budaya yang radikal. Sebaliknya dia menekankan tingkat analisa struktur sosial. Khususnya, dia mengkritik Marx mengenai teori pembentukan kelas dan teori konflik kelasnya yang hanya relevan untuk tahap awal kapitalisme, bukan untuk masyarakat industry tahap post-kapitalist. Jadi, teori Dahrendorf lebih umum daripada teori Marx, karena berlaku untuk masyarakat kapitalis dan masyarakat sosialis.
Marx mendasarkan teorinya mengenai pembentukan kelas pad apemilikan alat produksi. Sedangkan Dahrendrof berpendapat bahwa control atas alat produksi merupakan factor yang penting, dan ukan pada pemilikan alat produksi. Pusat perhatian Dahrendorf adalah struktur otoritas dari perusahaan industry lebih daripada pola pemilikan. Dahrendorf melihat bahwa teorinya lebih luas daripada teori Marx. Dahrendorf menunjuk beberapa cirri khas yang membedakan masyarakat industry modern (post-capitalist) dari tahap-tahap awal kapitalisme yangdianalisa Marx. Perkembangan–perkembangan yang tidak diramalkan Marx meliputi: heterogenitas tenaga kerja yang semakin tinggi yang merupakan hasil dari peningkatan persyaratan keterampilan untuk sebagian besar kelompok; bertambahnya persamaan dalam bidang politik dan meningkatnya arti hak-hak warga politik; maningkatnya kemakmuran materiluntuk sebagian besar masyarakat yang sebagaian merupakan hasil dari perbaikan dalam bidang upahh dan sebagian karena retribusi pendapatan melalui kebijaksanaan pajak; dan berdirinya pelbagai mekanisme institusional untuk merembukkan isu-isu konflik kelas.
a.Implikasi Fungsionalis Versus Marxis dalam Pendekatan Dahrendorf
Bagi Marx, struktur otoritas bersama dengan ideology pendukungnya mencerminkan persebaran kekuasaan yang berbeda untuk mengontrol alat produksi seperti yang ditentukan oleh pemilikan. Dahrendorf menekankan pentingnya pembedaan antara kekuasaan (kemampuan untuk memaksakan kemauan seseorang meskipun mendapat perlawanan) dan otoritas (hak yang sah untuk mengharapkan kepatuhan). Perhatian Dahrendorf umumnya lebih pada strukturotoritas, bukan hubungan kekuasaan. Dalam pandangannya, control atas alat produksi mencerminkan struktur otoritas yang melembaga dan bukannnnn dominasi yang semata-mata didasarkan pada kekuasaan. Turner melihat bahwa teori Dahrendorf ini lebih dekat ke pada fungsionalisme Parson daripada Marx untuk mengungkap factor-faktor materil yang riil yang mendasari struktur otoritas dan semua pola instititusional lainnya.
Perbedaan antara Dahrendorf dan Parson yakni Dahrendorf lebih menekankan kepentingan-kepentingan yang saling konflik, melekat dalam hubungan apa saja antara mereka yang menggunakan otoritas yang sah dan mereka yangtunduk padanya. Sedangkan Parsons menekankan consensus yang mendasar yang terkandungbdalam pengertian legitimasi. Jadi meskipun Dahrendorf benyak menggunakan gaya retorika Marx serta terminology yang berhubungan dengan pembentukan kelas, kesadaran kelas, konflik kelas, dans ebaginya, pokok permasalahan sangatberbeda dengan Marx dan ada miripnya dengan Parsons. Dahrendorf menikuti Marx dalam menerima model dua-kelas dalam struktur sosial hubungannya dengan dinamika konflik. Sesungguhnya dinamika konflik adalah kecenderungan untuk menjadi dua kelompok utama yangtidak dapat dielakkan lagi untuk berkonflik dimana masing-masing kelompok berada pada sisi yang saling bertentangan. Selain itu, ide mengenai persebaran otoritas merupakan dasar pembentukan kelas juga menghasilkan dua-kelas. Karena dalam setiap hubungan atau organisasi tertentu pasti akan ada perbedaan dikotomi yang jelas antara mereka yang menggunakan otoriras dan mereka yang tunduk pada otoritas tersebut.
Dahrendorf menolak implikasi filosofis dari pandangan Marx mengenai “kesadaran palsu”, meskipun dia tidak mengakui bahwa individu mungkin tidak sadar akan kepentingan kelasnya yang bersifatobjektif. Kepentingan kelas objektifyang ditentukan secara structural yangtidak disadari oleh individu, disebutDahrendorf dengan “kepentingan laten”. Sedangkan kepentingan kelas yangdidasari individu terutama kepentingan yang secara sadar dikejar sebagai tujuan disebut “kepentingan manifest”. kepentingan laten tidak bisa digunakan sebagai dasar untuk membentuk kelompok. Jadi para anggota dalam asosiasi yang dikoordinasi secara imperative yang memiliki kepentingan laten yang sama dapat dipandang sebagai kelompok semu (quasi group).
Bagi asosiasi apa saja terdapat dua kelompok semu yang utama, yakni mereka yang memilki posisi dominasi otoritatif dan mereka yang harus tunduk pada penggunaan otoritastersebut.kalau orang-orang dalam satu kelompok semu mengembangkan suatu kesadaran kelas bersama (yakni kesadaran akan kepentingan bersama) dan mengorganisasikan kegiatan untuk mengejar kepentingan ini, akan melahirkan suatu “kelompok kepentingan”.
b.Munculnya Kelompok Kepentingan Konflik
Salah satu tujuan Dahrendorf adalah menjelaskan kondisi-kondisi dimana kepentingan kepentingan laten menjadi manifest dan kelompok semu dapatdiubah menjadi kelompok-kelompok kepentingan yang bersifat konflik. Kondisi-kondisiini diklasifikasikan sebagai (1) kondisi teknis, (2) kondisi teknis dan (3) kondisi sosial. Kondisi yang menjadi prasyarat dasar dalam pembentukan kelompok-kelompok konflik yaitu kepemimpinan, ideology, kebebasan politik yang minimal, dan komunikasi internal.
c.Intensitas dan Kekerasan Konflik
Intensitas dan kekerasan dilihatsebagai dua dimensi konflik kelas yang berbeda secara analitis. Intensitas menunjuk pada “pengeluaran energy dan tingkat keterlibatan dari pihak-pihak yang berkonflik”. Sedangkan konsep kekerasan menunjuk pada alat yang digunakan oleh pihak-pihak yang saling bertentangan untuk mengejar kepentingannya. Terdapat dua variabel utama yang mempengaruhi intensitas atau kekerasan konflik, yakni tingkat keserupaan konflik di pelbagai asosiasi yang berbeda dan tingkat mobilitas. Umumnya intensitas akan tinggi kalau ada suatu tingkat keserupaanyang tinggi pula. Tingkat konsistensi yang tinggi berarti para anggota dari kelompok-kelompok konflik yang sama saling berkonfrontasi dalam macam-macam hubungan asosiasional. Hal ini terjadi karena orang yang dominan dalam satu asosiasi akan dominan dalam asosiasi yang lainnya, sedangkan yang subordinat dalam satu asosiasi demikian juga dalam asosiasi yang lainnya. Intensitas dan kekerasan konfik dipengaruhi oleh persebaran penghargaan, fasilitas, pemilikan, dan satus sosial umumnya. Hal ini berarti bahwa mereka yang beradadalam posisi dominan dan mereka yang berada dalam posisi bawahan juga terbagi dua secara dikotomis dengan cara yang sama menurut imbalan financial status sosial, dan keselamatan sosioekonomis pada umumnya. Hal ini akan memperkuat gambaran sistem dua kelas.
d.Pengaturan Konflik dan Kekerasan
Salah satu variabel yang paling penting dalam model Dahrendorf yang mempengaruhi derajat kekerasan dalam konflik kelas adalah tingkat dimana konflik itu secara eksplisit diterima dan diatur. Pengaturan konflik sangat erat kaitannya dengan kondisi politik yang mempengaruhi kesadaran kelas dan pembentukan kelompok kepentingan yang bersifat konflik.
Konflik dan antagonisme tidak dapat dilenyapkan; keduanya tertanam dalam struktur hubungan otoritas. Usaha untuk menekan atau menyangkal konflik hanya membuat tertekan ke bawah permukaan, di mana dia bisa mendidih perlahan-lahan dan menjadi panas yangtidak diketahui untuk jangka waktu yang lama. Tetapi pelan-pelan konflk akan menjadi panas dan meledak keluar. Hal ini akan terjadi dalam suatu bentuk revolusioner yang keras dantidak dapat dihindarkan mengingat kurangnya saluran dan mekanisme dengan mana konflik dapat di atur dalam struktur yang ada. Jadi pola totaliter adalah satu pola dimana usaha untuk menekan konflik itu secara periodik diselingi oleh meledaknya perang yang keras.
e.Konsekuensi Konflik: Perubahan Struktural
Satu fungsi pokok adalah meninmbulkan perubahan struktur sosial, khususnya yang berhubungan dengan struktur otoritas. Dahrendorf membedakan tiga tipe perubahan structural: (1) perubahan keseluruhan personel di dalam posisi dominasi; (2) perubahan sebagian personel dalam posisi dominasi; (3) diganbungkannya kepentingan-kepentingan kelas subordinat dalam kebijaksanaankelas berkuasa.
Dahrendorf mengemukakan bahwa perubahan structural berbeda-beda menurut sifat radikal dan sifat tiba-tibanya. Keradikalan menunjuk pada tingkat perubahan struktural, baik yang berhubungan dengan personel dalam posisi yang berkuasa, kebijakan kelas yang berkuasa, maupun hubungan antar kelas secara keseluruhan. Ketiba-tibaan (suddenness) menunjuk pada kecepatan perubahan structural.
Dahrendorf menentukan mengemukakan bahwa pembentukan kelas dan konflik kelas dalam perspektif Marx terjadi dalam kondisi yang secara historis bersifat khusus: “(a) tidak adanya mobilitas, (b) tumpang tindihnya otoritas, pemilikan dan status sosial umumnya, (c) tumpang tindihnya konflik industry dan politik, (d) tidak adanya pengaturan konflik yang efektif.
f.Model Konflik Versus Model Fungsional
Dahrendorf meringkaskan asumsi teori fungsionalis yang bertentangan dengan teori konflik sebagai berikut:
Teori fungsional:
1)Setiap masyarakat merupakan suatu struktur elemen-elemen yang secara relative mantap dan stabil.
2)Setiap masyarakat merupakan suatu struktur elemen-elemen yang terintegrasi dengan baik.
3)Setiap elemen dalam suatu masyarakat mempunyai fungsi, yakni memberikan sumbangan pada bertahannya masyarakat itu sebagai suatu sistem.
4)Setiap struktur sosial yang berfungsi didasarkan pada suatu consensus nilai di antara para anggotanya.

Teori Konflik:
1)Setiap masyarakat kapan saja tunduk pada proses perubahan; perubahan sosial ada di mana-mana.
2)Setiap masyarakat kapan saja memperlihatkan perpecahan dan konflik; konflik sosial ada dimana-mana.
3)Setiap elemen dalam suatu masyarakat menyumbang disintegrasi dan perubahan
4)Setiap masyarakat didasarkan pada paksaan dari beberapa anggota atas orang lain.
5.Analisa Fungsional Tentang Konflik: Sumbangan Coser
Coser memulai pendekatannya dengan suatu kecaman terhadap tekanan pada nilai atau consensus normatif, keteraturan, dan keselarasan. Coser mendasarkan analisanya dalam the functions of social conflict pada ide-ide Simmel. Tetapi ide-ide ini kelihatannya mengalami perubahan yang tidak kentara dalam penggunaaan coser. Tekanan Simmel adalah pada konflik merupakan salah satu bentuk interaksi sosial yang dasar, dan bahwa proses konflik dihubungkan dengan bentuk-bentuk alternative seperti kerjasama, dalam pelbagai cara yang tak terhitungjumlahnya dan bersifat komplek. Perhatian Coser pada umunya ialah memperlihatkan konflik tidak harus merusak atau bersifat disfungsional untuk sistem dimana konflik itu terjadi, melainkan bahwa konflik itu dapat mempunyai konsekuensi-konsekuensi positif atau menguntungkan sistem itu.
a.Konflik Antarkelompok dan Solidaritas Kelompok-Dalam
Fungsi konflik paling jelas dalam dinamika kelompok-dalam (in-Group) versus hubungan kelompok-luar (out-group). Proses sosial yang ditekankan dalm model fungsional berlaku untuk hubungan sosial dalam suatu kelompok-dalam, sedangkan proses sosial yang ditekankan dalam model konflik mungkin berlaku untuk hubungan sosial antara kelompok-dalam dan kelompok-luar. Kedua proses itusering berhubungan secara langsung, artinya kekuatan solidaritas internal dan integrasi kelompok-dalam bertmbah tinggi karena tingkat permusuhan atau konflik dengan kelompok-luar bertambah besar.
Fungsi konflik eksternal untuk memperkuat kekompakan internal dan meningkatkan moral kelompok sedemikian pentingnya sehingga kelompok-kelompok dapat berusaha memancing antagonisme dengan kelompok-luar atau menciptakan musuh dengan orang luar supaya mempertahankan atau meningkatkan solidaritas internal. Beberapa kelompok sangat menyandarkan diri pada oposisi atau konflik untuk melibatkan dirinya dalam konflik dengan partao politik yang berkuasa.
b.Konflik dan Solidaritas dalam Kelompok
Menurut Coser, konflik internal dapat menguntungkan kelompok secara positif, sebab semua hubungan sosial pasti memiliki tingkat antagonisme tertentu, keteganagan, atau perasaan-perasaan negative. Strategi untuk menekan konflik ada bermacam-macam tergantungpada tingkat atau besarnya birokratisasi dalam kelompok itu.
Coser menekankan bahwa hubungan emosional yang dekat ditandai oleh sikap ambivalen atau oleh perasaan positif dan negative yang saling berkaitan erat. Sesungguhnya semakin erat hubungan semakin besar kemungkinan bahwa kesempatan-kesempatan yang merangsang munculnya perasaan antagonistic atau ketegangan. Coser juga mengemukakan bahwa “semakin intim hubungan, semakinnnnn besarpula perasaan yang dicurahkan, semakin besarpula kecenderungan untuk menekan perasaan bermusushan daripada mengungkapkannya. Model ini mengemukakan bahwa stabilitas jangka panjang dan solidaritas suatu hubungan intim secara emosional dapat terjamin baik, kalau perasaan antagonistic dan bermusuhan itu diterima secaraterbuka sehingga kepentingan-kepentingan yang berlawanan dapat dirundingkan secara eksplisit.
c.Konsekuensi Dipendamnya Konflik
Terdapat dua hal konsekuensi dipendamnya konflik. Pertama, dapat mengakibatkan putusnya hubungan. Konsekuensi kedua, yakni mengelakkan perasaan bermusuhan dari sumber yang sebenarnya, dan mengembangkan suatu saluran alternative untuk mengungkapkannya.
d.Konflik Realistik versus Nonrealistik dan Perubahan Sosial
Konflik realistic merupakan satu alat untuk suatu tujuan tertentu, yang kalau tujuan itu tercapai mungkin akan menghilangkan sebab-sebab dasr dari konflik itu. Sebaliknya, konflik yang nonrealistik mencakup ungkapan poermusushan sebagai tujuannya sendiri. Konflik yang realistic diarahkan ke obyek dari konflik itu; sedangkan konflik yang nonrealistik membelok dari objek konflik yang sebenarnya. Konflik lebih cenderung bersifat realistic daripada nonrealistik kalau kebenaran dari kepentingan-kepentingan yang bertentangan itu diterima secaraeksplisit daripada diingkari dan kalau oposisi seperti mengarah ke perundingan mengenai perbedaan-perbedaan daripada menekannya.
Konflik yang realistic sering merupakan rangsangan utama untuk perubahan sosial. Fungsi positifdari konflik dalam meranggsang perubahan sosial yang dibutuhkan diperluas oleh coser ke kasus-kasus konflik yang keras sifatnya. Kekerasan merupakan suatu indicator deprivasi; hal ini tercermin dalam kenyataan bahwa kekerasaan yang tidak sahterjadi sembarangan saja di kalangan mereka dalam struktur kelas sosial yang paling bawah.
e.Konflik sebagai Suatu Stimulus Untuk integrasi Antarakelompok
Perubahan seringterjadi dalam sifat hubungan antara kelompok-dalam dan kelompok-kelompok lainnya sebagai hasil dari konflik. Konflik sering memperkuat batas antara kleompok-dalam dan kelompok-luar dan meningkatkan usaha menggalang solidaritas kelompok-dalam. Kalau konflik itu berlarut-larut, ikatan-ikatan sosial secarapelan-pelan dapat berkembang di antara pihak-pihak yang saling bertentangan dan dibuatnya norma dan prosedur untuk mengatur cara-cara berkonflik. Konflik sering merangsang usaha untuk mengadakan persekutuan dengan kelompok-kelompok lain. Konflik tidak merusakkan solidaritas masyarakat keseluruhan malah membantu meningkatkan solidaritas.

6.Dinamika Konflik Internasional: Sintesa Teoritis Collins
a.Ritus Interaksi dan stratifikasi Sosial
Perhatian Goffman tentang interaksi simbolis secara keseluruhanadalah untuk menunjukkan bagaimana individu berusaha mengontrol kesan-kesan yang dinuatnya terhadap ornag lain untuk memperoleh dukungan sosial bagi konsep dirinya yang ideal. Gofman menggambarkan bahwa pada umumnya kenyataan sosial terjalin bersama oleh sejumlah ritus sehari-hari yang akibat kumulatifnya adalah menciptakan dan memperkuat ikatan emosional antara manusia dan ikatan emosional dengan kelompok masyarakat.
Dalam sintesa Collins, analisa Gofman dapatdisatukan dengan analisa Durkheim bahwa kenyataan masyarakat tergantung pada ikatan-ikatan solidaritas emosinal yang diciptakan dan diperkuat melalui ritus-ritus. Collins menekankan bahwa ritus-ritus interaksi di tingkat mikro yang digambarkan oleh Gofman, memperkuat dan mengungkapkan sistem startifikasi.
b.Pekerjaan dan Hubungan Otoritas
Collins menekankan pekerjaan (occupation) sebagai factor penentu utama terhadap posisi kelas seseorang. Pembedaan Marx antara mereka yang memiliki alat produksi dan mereka yang tidak dilihatnya penting karena menentukan pekerjaan dengan mana orang itu menghidupi kehidupannya. Collins sejalan dengan Dahrendorf dalam melihat struktur otoritas di mana individu terlibatdalam pekerjaannya, sebagai dimensi yang paling penting untuk posisi kelas dan pandangan subyektif umumnya dari orang itu, atau “kesadaran kelas”-nya. Tekanan pada hubungan otoritas padaintinya menunjuk pada pengalaman memberikan dan menerima perintah. Collins menulis “pasti perbedaan yang paling penting di antarasituasi-situasi kerja adalah hubungann kekuasaan yang terdapat di dalamnya (cara orang member atau menerima perintah). Kelas-kelas berdasarkan pekerjaan pada intinya merupakan kelas-kelas dalam dunia pekerjaan.
c.Dinamika Kelompok Status
Collins mengemukakan bahwa orang-orang pada umumnya memulai dan mempertahankan hubungan sosialyang memungkinkan mereka untuk mempertahankan atau memperbaiki status subjektif yang sebesar-besarnya. Ini berarti bahwa individu-individu memilih teman yang akan menerima identitas-dirinya dan definisinya mengenai kenyataan sosial; dukungan sosial timbal-balik harus diberikan dalam pertukaran. Kelompok status muncul dari usaha mereka yang memiliki sifat-sifat yang sama untuk saling memberikan dukungan sosial dan mempertahankan klaim statusnya melawan mereka yang berbeda. Beberapa karakteristik yang dapatmenjadi relevan untuk pembentukan kelompok status meliputi usia, seks, kepentingan rekreasi, latarbelakang etnis, tingkat pendidikan, keanggotaan kelompok agama, dan komunitas tempay tinggal.
d.Penerapan Model
Model Collins ini dapat diterapkan pada tingkat mikro maupun makro, tetapi tingkat makro didasarkan pada proses tingkat mikro, daripada keduanya berdiri sendiri. Collins menerapkan prinsip-prinsip teoritis pada kedua tingkatan itu. Pada tingkat mikro dia menganalisa percakapan dalam pertemuan, ritus-ritus yang memperlihatkan interaksi, dan hubungan kekeluargaan. Pada tingkat makro, dia menekankan organisasi birokratis dan patrimonial. Prinsip dasar analisa organisasionalnya diterapkan pada struktur politik dan militer, organisasi agama, dan komunitas intelektual.
Analisa Collins dijalin dengan proposisi-proposisi yang sudah disusunnya. Beberapa contoh dapat dikutip dibawah ini:
Pada tingkat organisasi:”semakin seseorang banyak memberikan perintah atas nama suatu organisasi, semakin orang itu memihak pada organisasi itu”.
Hukum besi oligarki Michels dapat dirumuskan dalam proposisi sebagai berikut; “semakin besarsuatu asosiasi keanggotaan dan semakin terpencar para anggotanya, semakin besarpula kecenderungan untuk oligarki”
Mengenai alat kekerasan, “semakin besar kepercayaan akan senjata-senjata mahal yang dipegang secara pribadi, semkain perjuangan itu dimonopoli oleh suatu aristokrasi ksatria-ksatria yang independen, dan semakin besarpula stratifikasi masyarakat itu.

E.TEORI SISTEM TERBUKA: SUATU PENDEKATAN MENUJU INTEGRASI TEORITIS
Perspektif sistem umum relevan untuk tingkat proses institusional yang bersifat makro dan tingkat negosiasi antar pribadi yang bersifat mikro mengenai arti-arti bersama. Gambaran umum mengenai kenyataan sosial yang diberikan dalam teori sistem cukup luas dan terbuka untuk memasukkan model teori fungsional dan teori konflik yang saling bertentangan, serta implikasi dasar teori pertukaran dan interaksionisme symbol. Gambaran dasar mengenai kenyataan sosial yang terkandung dalam bab ini adalah gambaran yang terdiridari tipe-tipe komponen yang berbeda (lingkungan, biologis, perilaku, subyektif, dan lain-lain) yang berhubungan satu sama lain sehingga kalau yang satu mengalami perubahan maka yang lain pun demikian.
Pandangan dasar mengenai kenyataan sosial yang terdapat dalam teori sistem bersifat umum sehingga teori sistem dapat berfungsi sebagai suatu kerangka komprehensif yang luas untuk suatu pendekatan elektik terhadap perkembangan teori. Sifat utama teori sistem adalah sifat dan kuatnya hubungan antara pelbagai komponen dalam sistem itu.
Dalam perbandingannya dengan pernyataan yang tegas mengenai variasi yang begitu banyak yang ada dalam bentuk struktur sosial, semua teori yang sudah didiskusikan terbatas pada gamabran dasarnya mengenai kenyataan sosial yang dijelaskannya. Teori interaksi symbol menekankan saling ketergantungan yang didasarkan pada komunikasi symbol pada tingkat mikro. Dinamika struktur makro yang melampaui maksud individu yang bernegosiasi diabaikan bersama dengan tipe hubungan simbiotik. Teori pertukatan menekankan saling ketergantungan yang didasarkan pada kepentingan individu, khususnya pada tingkat mikro. Nilai bersama atau control yang memaksa sifatnya relevan khusus dalam struktur makro yang melembaga, tetapi gambaran dasar mengenai kenyataan sosial yang diterangkan dalam teori pertukaran menggaris bawahi kepentingan diri individu.
Funsionalisme menunjukkan saling ketergantungan mencakup kerjasama yang didasarkan pada nilai moral bersama, sedangkan teori konflik menekankan bahwa saling ketergantungan itu mencerminkan paksaan atau ancaman paksaan atau control atas sumber-sumberyang langka. Teori-teori yang berbeda ini dapat dilihat sebagai relevan untuk struktur sosial tertentu yangdidasarkan pada tipe ikatan sosial, tetapi yang demikian tidak cocok sebagai model yang umum untuk mengerti kenyataan sosial budaya yang luas dalam pengertian yang luas.
Kuhn dalam teorinya mengenai model perkembangan ilmu pengetahuan, perbaikan dalam paradigm ilmiah atau perspektif dasar dapat dicapai apabila paradigma yang sudah mapan itu ternyata tidak mampu menjelaskan data yang aneh atau tidak sesuai. Mengingat tidak memadainya pendekatan-pendekatan teoritis yang terbatas pada tingkat mikro, dan terbatas pada proses-proses kerjasama yang harmonis yang didasarkan pada consensus, atau yang terbatas pada proses paksaan dan konflik, rupanya teori sistem umum mempunyai masa depan yang baik sebagai teori sosiologi.
Suatu teori yang baik harus mampu menghubungkan tingkat mikro dari interaksi antarpribadi dengan tingkat makro dari pola-pola institusional yang komplek. Selain itu, teori yang baik harus juga memungkinkan input dari tingkat biologis dan genetic dalam usaha menjelaskan perilaku manusia dan pola-pola institusional dan budaya. Dia juga harus memasukkan kenyataan bahwa hubungan sosial mencakup kerjasama dan konflik, consensus dan pertikaian, komitmen terhadap nilai-nilai moral dan mengejar kepentingan individu serta control sosial yang didasarkan pada otoritas yang abash dan control yang didasarkan pada kekuasaan yang memaksa.
Akhirnya suatu teori yang baik harus mengakui bahwa sistem sosial dapat memperlihatkan tingkat stabilitas yang tinggi atau perubahan yang pesat, derajat saling ketergantungan yang luas atau yang minimal, tingkat otonomi individu yang tinggi atau rendah, dan seterusnya. Teori sistem kelihatannya memberikan suatu gambaran mengenai kenyataan sosial yang cukup komprehensif dan fleksibel untuk memenuhi persyaratan dan untuk memberikan suatu kerangka dalam mana variasi-variasi ini dapat diteliti secara empiris.

BAB III
ANALISIS
A.KENYATAAN SOSIAL MUNCUL DARI INTERAKSI SIMBOLIS
Kita dapat memahami konsep Mead tentang ‘diri’ (self). Konsep diri menurut Mead sebenarnya kita melihat diri kita lebih kepada bagaimana orang lain melihat diri kita (imagining how we look to another person). Kaum interaksionisme simbolik melihat gambaran mental ini sebagai the looking-glass self dan bahwa hal tersebut dikonstruksikan secara sosial.
Dalam konsepsi interaksionisme simbolik dikatakan bahwa kita cenderung menafsirkan diri kita lebih kepada bagaimana orang-orang melihat atau menafsirkan diri kita. Kita cenderung untuk menunggu, untuk melihat bagaimana orang lain akan memaknai diri kita, bagaimana ekspektasi orang terhadap diri kita. Oleh karenanya konsep diri kita terutama kita bentuk sebagai upaya pemenuhan terhadap harapan atau tafsiran orang lain tersebut kepada diri kita.
Teori interaksionisme-simbolik dikembangkan oleh kelompok The Chicago School dengan tokoh-tokohnya seperti Goerge H.Mead dan Herbert Blummer.
Awal perkembangan interaksionisme simbolik dapat dibagi menjadi dua aliran / mahzab yaitu aliran / mahzab Chicago, yang dipelopori oleh oleh Herbert Blumer, melanjutkan penelitian yang dilakukan George Herbert Mead. Blumer meyakini bahwa studi manusia tidak bisa diselenggarakan di dalam cara yang sama dari ketika studi tentang benda mati. Peneliti perlu mencoba empati dengan pokok materi, masuk pengalaman nya, dan usaha untuk memahami nilai dari tiap orang. Blumer dan pengikut nya menghindarkan kwantitatif dan pendekatan ilmiah dan menekankan riwayat hidup, autobiografi, studi kasus, buku harian, surat, dan nondirective interviews. Blumer terutama sekali menekankan pentingnya pengamatan peserta di dalam studi komunikasi. Lebih lanjut, tradisi Chicago melihat orang-orang sebagai kreatif, inovatif, dalam situasi yang tak dapat diramalkan. masyarakat dan diri dipandang sebagai proses, yang bukan struktur untuk membekukan proses adalah untuk menghilangkan inti sari hubungan sosial.
Menurut H. Blumer teori ini berpijak pada premis bahwa (1) manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna yang ada pada “sesuatu” itu bagi mereka, (2) makna tersebut berasal atau muncul dari “interaksi sosial seseorang dengan orang lain”, dan (3) makna tersebut disempurnakan melalui proses penafsiran pada saat “proses interaksi sosial” berlangsung. “Sesuatu” – alih-alih disebut “objek” -ini tidak mempunyai makna yang intriksik. Sebab, makna yang dikenakan pada sesuatu ini lebih merupakan produk interaksi simbolis.
Bagi H. Blumer, “sesuatu” itu -biasa diistilahkan “realitas sosial” -bisa berupa fenomena alam, fenomena artifisial, tindakan seseorang baik verbal maupun nonverbal, dan apa saja yang patut “dimaknakan”. Sebagai realitas sosial, hubungan “sesuatu” dan “makna” ini tidak inheren, tetapi volunteristrik. Sebab, kata Blumer sebelum memberikan makna atas sesuatu, terlebih dahulu aktor melakukan serangkaian kegiatan olah mental: memilih, memeriksa, mengelompokkan, membandingkan, memprediksi, dan mentransformasi makna dalam kaitannya dengan situasi, posisi, dan arah tindakannya. Dengan demikian, pemberian makna ini tidak didasarkan pada makna normatif, yang telah dibakukan sebelumnya, tetapi hasil dari proses olah mental yang terus-menerus disempurnakan seiring dengan fungsi instrumentalnya, yaitu sebagai pengarahan dan pembentukan tindakan dan sikap aktor atas sesuatu tersebut. Dari sini jelas bahwa tindakan manusia tidak disebabkan oleh “kekuatan luar” (sebagaimana yang dimaksudkan kaum fungsionalis struktural), tidak pula disebabkan oleh “kekuatan dalam” (sebagaimana yang dimaksud oleh kaum reduksionis psikologis) tetapi didasarkan pada pemaknaan atas sesuatu yang dihadapinya lewat proses.

B.PERTUKARAN ANTARPRIBADI DAN MUNCULNYA STRUKTUR SOSIAL
Inti teori pertukaran Homans terletak pada sekumpulan proposisi fundamental. Meski beberapa proposisinya menerangkan setidaknya dua individu yang berinteraksi, namun ia dengan hati-hati menunjukkan bahwa proposisi itu berdasarkan prinsip psikologis. Menurut Homans proposisi itu bersifat psikologis karena dua alasan. Pertama, proposisi itu biasanya dinyatakan da diuji secara empiris oleh orang yang menyebut dirinya sendiri psikolog. Kedua, dan yang lebih penting, proposisi itu bersifat psikologis karena menerangkan fenomena individu dalam masyarakat. Atas dasar pemikirannya ini, Homans mengakui telah menjadi seorang reduksionis psikologi.
Reduksionisme menurut Homans adalah proses yang meunujukkan bagaimana proposisi yang disebut satu ilmu logikanya berasal dari proposisi yang lebih umum yang disebut ilmu lain. Walau Homans membahas prinsip psikologis, namun ia tak membayangkan individu dalam keadaan terisolasi. Ia mengakui bahwa manusia adalah makhluk sosial dan menggunakan sebagian besar waktu mereka berinteraksi dengan manusia lain. Ia mencoba menerangkan perilaku sosial dengan prinsip-prinsip psikologi. Homans tidak menolak perndirian Durkheim yang menyatakan bahwa ciri-ciri yang baru muncul itu dapat dijelaskan dengan prinsip psikologi. Untuk menjelaskan fakta sosial tak diperlukan proposisi sosiologi yang baru.
Dalam sejumlah publikasi Homans memerinci program untuk “mengembalikan orang ke dalam” sosiologi, tetapi ia pun mencoba mengembangkan sebuah teori yang memusatkan perhatian pada psikologi, manusia dn “bentuk-bentuk mendasar kehidupan sosial”. Menurut Homans, teori ini “membayangkan perilaku sosial sebagai pertukaran aktivitas, nyata atau tak nyata, dan kurang lebih sebagai pertukaran hadiah atau biaya, sekurang-kurangnya antara dua orang. Dalam Social behaviour: Its Elementary Forms, Homans menyatakan bahwa teori pertukarannya berasal dari psikologi perilaku dan ilmu ekonomi dasar (teori pilihan rasional). Sebenarnya Homans menyesal menamakan teorinya “teori pertukaran” karena ia melihatnya sebagai penerapan psikologi perilaku pada situasi khusus. Homans memulai dengan membahas paradigma perilaku B.F. Skinner, khususnya tentang studi burung merpati skinner. Dia tertarik pada contoh perilaku merpati ini; Homans memperhatikan perilaku manusia. Menurut Homans, merpati Skinner tidak terlibat dalam hubungan pertukaran yang sebenarnya dengan psikolog yang menelitinya. Merpati itu hanya terlihat dalam hubungan pertukaran satu pihak, sedangkan pertukaran manusia sekurangnya melibatkan dua pihak. Merpati diperkuat oleh biji, sedangkan psikolog sebenarnya tidak diperkuat oleh patukan merpati.
Merpati melanjutkan hubungan dengan lingkungan fisik. Karena tak ada hubungan timbal balik, Homans mendefinisikan hubungan demikian sebagai perilaku individual. Homans menyerahkan studi perilaku seperti itu kepada psikolog, dan ia mendesak agar sosiolog harus mempelajari perilaku sosial “di mana aktivitas pihak lain dan dengan demikian saling mempengaruhi. Menurut Homans, yang penting adalah bahwa tak diperlukan proposisi baru untuk mejelaskan perbedaan perilaku sosial dan perilaku individual. Hukum perilaku individual seperti yang dikembangkan Skinner dalam studinya tentang merpati akan menerangkan perilaku sosial selama kita memperhatikan komplikasi penguatan mutualnya. Homans mengakui bahwa dengan berat hati akhirnya ia terpaksa meninggalkan prinsip yang berasal dari Skinner.
Dalam karya teoritisnya, Homans membatasi diri pada interaksi kehidupan sehari-hari. Namun, jelas ia yakin bahwa sosiologi yang dibangun berdasarkan prinsip yang dikembangkannya akhirnya akan mampu menerangkan semua perilaku sosial. Dalam hal ini Homans menggunakan contoh jenis hubungan pertukaran yang menjadi sasaran perhatiannya. Berdasarkan dari pemikirannya terhadap Skinner, Homans mengambangkan beberapa proposisi antara lain adalah:
Proposisi Sukes. Ada beberapa hal yang ditetapkan Homans menganai proposisi sukses. Pertama, meski umumnya benar bahwa makin sering hadiah diterima menyebabkan makin sering tindakan dilakukan, namun pembahasan ini tak dapat berlangsung tanpa batas. Di saat individu benar-benar tak dapat betindak seperti itu sesering mungkin. Kedua, makin pendek jarak waktu antara perilkau dan hadiah, makin besar kemungkinan orang mengulangi perilaku, dan begitu pual sebaliknya. Ketiga, menurut Homans, pemberian hadiah secara intermiten lebih besar kemungkinannya menimbulkan perulangan perilaku ketimbang menimbulkan hadiah yang teratur. Hadiah yang teratur menimbulkan kejenuhan dan kebosanan, sedangkan hadiah yang diterima dalam jarak waktu yang tek teratur sangat mungkin menimbulkan perulangan perilaku.
Proposisi Pendorong. Homans tertarik pada proses generalisasi dalam arti kecenderungan memperluas perilaku keadaan yang serupa. Aktor mengkin hanya akan melakukan sesuatu dalam keadaan khusus yang terbukti sukses di masa lalu. Bila kondisi yang menghasilkan kesuksesan itu terjadi terlalu ruwet maka kondisi serupa mungkin tidak akan menstimulasi perilaku. Bila stimuli krusial muncul terlalu lama sebelum perilaku depirlukan maka stimuli itu benar-benar tak dapat merangsang perilaku. Aktor dapat menjadi terlalu sensitif terhadap stimuli terutama jika stimuli itu sangat bernilai bagi aktor. Kenyataannya aktor dapat menanggapi stimuli yang tak berkaitan, setidaknya hingga situasi diperbaiki melalui kegagalan berulang kali. Semuanya ini dipengaruhi oleh kewaspadaan atau derajat perhatian individu terhadap stimuli.
Proposisi Nilai. Disini Homans memperkenalkan konsep hadiah dan hukuman. hadiah adalah tindakan dengan nilai positif; makin tinggi nilai hadiah, makin besarkemungkinan mendatangkan perilaku yang diinginkan. Hukuman adalah tindakan dengan nilai negatif; makin tinggi nilai hukuman berarti main kecil kemungkinan aktor mewujudkan perilaku yang tak diinginkan. Homans menemukan bahwa hukuman merupakan alat yang tak efisien untuk membujuk orang mengubah perilaku mereka karena orang dapat bereaksi terhadap hukuman menurut cara yang tak diinginkan. Sebenarnya lebih abik tak memberikan hadiah terhadap perilaku yang tak diinginkan; perilaku demikian akhirnya akan dihentikan. Hadiah jelas lebih disukai, tetapi persediaannya mungkin sangat terbatas. Homans menjelaskan bahwa teorinya sebenarnya bukanlah teori hedonistis; hadiah dapat berupa ameri atau altruistis.
Proposisi Deprivasi-Kejenuhan. Dalam hal ini Homans mendefinisikan dua hal penting lainnya: biaya dan keuntungan. Biaya tiap perilaku didefinisikan sebagai hadiah yang hilang karena tidak jadi melakukan sederetan tindakan yang direncanakan. Keuntungan dalam pertukaran sosial dilihat sebagai sejumlah hadiah yang lebih besar yang diperoleh atas biaya yang dikeluarkan. Yang terakhir ini menyebabkan Homans menyusun kembali proposisi kerugian-kejemuan sebagai berikut: “makin besar keuntungan yang diterima seseorang sebagai hasil tindakannya, makin besar kemungkinan ia melaksanakan tindakan itu”.
Proposisi Persetujuan-Agresi. Kita akan kaget menemukan konsep frustasi dan marah dalam karya Homans karena konsep itu rupanya mengacu pada keadaan mental. Homans menembahkan, bila seseorang tak mendapatkan apa yang ia harapkan, ia dikatakan menjadia kecewa, frustasi. Pengamat behaviorisme yang mempertahankan kemurnian bahasa, sama sekali takkan mengacu pada…keadaan mental. Homans lalu menyatakan bahwa frustasi terhadap harapan eperti itu, tak selalu “hanya” mengacu pada keadaan internal.kekecewaan dapat pula mengacu pada seluruh kejadian eksternal, yang tak hanya dapat diamati oleh Parson saja tetapi juga oleh orang lain.
Proposisi Rasionalitas. Homans menghubungkan proposisi rasionalitas dengan proposisi kesuksesan, dorongan, dan nilai. Proposisi rasionalitas menerangkan kepada kita bahwa apakah orang akan melakukan tindakan atau tidak tergantung pada persepsi mereka mengenai peluang dan sukses. Tetapi, apa yang menentukan persepsi ini? Homans menyatakan persepsi mengenai apakah peluang sukses tinggi atau rendah ditentukan oleh kesuksesan di masa lalu dan kesamaan situasi kini dengan situasi kesuksesan di masa lalu. Proposisi rasionalitas juga tak menjelaskan kepada kita mengapa seorang aktor menilai satu hadiah tertentu lebih daripada hadiah yang lain, Homans menghubungkan prinsip rasionalnya dengan proposisi behavioristiknya.
Sementara teori Pertukaran Peter Blau bertujuan untuk “memahami struktur sosial berdasarkan analisis proses sosial yang mempengaruhi hubungan antara individu dan kelompok.. Blau bermaksud menganalisis struktur sosial yang lebih kompleks, melebihi Homans yang memusatkan perhatian pada bentuk-bentuk kehidupan sosial mendasar. Blau memusatkan perhatian kepada proses pertukaan yang menurutnya mengatur kebanyakan perilaku manusia dan melandasi hubungan antarindividu maupun kelompok. Blau membayngkan empat langkah berurutan, mulai dari pertukaran antara pribadi ke struktur sosial hingga ke perubahan sosial:
Langkah :1 Pertukaran atau transaksi antarindividu yang meningkat ke…
Langkah :2 Diferensiasi status dan kekuasaan yang mengarah ke…
Langkah :3 Legitimasi dan pengorgansasian yang menyebarkan bibit dari…
Langkah :4 Oposisi dan perubahan.
Mikro ke Makro. Di tingkat individual Blau dan Homans tertari pada hal yang sama. Tetapi, konsep pertukaran sosial Blau terbatas pada tindakan yang tergantung pada reaksi pemberian hadiah dari orang lain-tindakan yang segera berhenti bila reaksi yang diharapkan tidak kunjung datang. Orang saling tertarik karena berbagai alasan yang membujuk untuk membangun kelompok sosial. Segera setelah ikatan awal dibentuk, hadiah yang saling mereka berikan adakn membantu mempertahankan dan meningkatkan ikatan. Situasi sebaliknyapun mungkin terjadi: karena hadiah yang dipertukarkan dapat berupa sesuatu yang bersifat intrinsik seperti cinta, kasih sayang dan rsaa hormat, atau sesuatu yang berniali ekstrinsik seperti uang dan tenaga kerja fisik. Orang yang teerlibat dalam ikatan kelompok tak selalu dapat saling memberikan hadiah secara setara. Bila terjadi ketimpangan dalam pertukaran hadiah, maka akan timbul perbedaan kekuasaan dalam kelompok. Norma dan Nilai.
Menurut Blau, mekanisme yang menengahi antara struktur sosial yang kompleks itu adalah norma dan nilai yang ada dalam masyarakat. Ada mekanisme lain yang menengahi antara struktur sosial, tetapi Blau memusatkan perhatian pada konsensus nilai. Menurutnya konsensus nilai mengganti pertukaran tak langsung dengan pertukaran langsung. Seorang anggota menyesuaikan diri itu dan mendapat persetujuan implisit karena kenyataan bahwa penyesuaian diri memberikan kontribusi atas pemeliharaan dan stabilitas kelompok. Dengan kata lain, kelompok atau kolektivitas terlibat dalam suatu hubungan pertukaran dengan individu.

C.INTEGRASI DAN KETERATURAN SOSIAL DALAM MASYARAKAT
Integrasi sosial merupakan proses penyesuaian di antara unsur-unsur yang saling berbeda dalam kehidupan sosial, sehingga menghasilkan suatu pola kehidupan yang serasi bagi masyarakat tersebut. Integrasi sosial membuat unsur-unsur tertentu menjadi satu kebutuhan yang bulat dan utuh. Contoh konkret membuat masyarakat menjadi satu kesatuan yang bulat Integrasi sosial: suatu usaha untuk membangun ketergantungan yang lebih erat antara bagian-bagian atau unsur-unsur dari masyarakat sehingga tercipta suatu kesadaran yang lebih harmonis yang memungkinkan terjalinnya kerja sama dalam rangka mencapai tujuan yang telah disepakati bersama.
Kesadaran kolektif : sadar akan adanya kelompok. Elemen-elemen dasar yang terdapat dalam konsep kesadaran kolektif; (1) Adanya perasaan senasib dalam satu komunitas; (2) Adanya kewajiban moral untuk melaksanakan tuntutan-tuntutan yang diberikan oleh komunitas. Talcot parsons membagi dua dikotomi, yakni Masyarakat tradisional dan Masyarakat modern. Istilah integrasi berasal dari kata/bahasa latin “integrare” yang memiliki arti memberi tempat pada suatu keseluruhan. Integrare (kata kerja). Integritas (kata benda), kemudian keduanya menjadi kata sifat (integer). Integritas artinya kebulatan/keutuhan. Istilah integrasi berarti membuat unsur-unsur tertentu menjadi satu kesatuan yang bulat dan utuh. Integrasi sosial: membuat masyarakat menjadi satu keseluruhan yang bulat. Kegiatan tersebut dapat digunakan pada masyarakat mikro, meso, makro.
Masyarakat mikro: misalnya keluarga. Masyarakat meso: misalnya organisasi masyarakat makro: misalnya bangsa. Unsur-unsur yang mendukung masyarakat makro (bangsa) yakni adanya sejumlah kelompok etnis, tiap-tiap kelompok merasa dirinya berasal dari keturunan yang berbeda. Perbedaan itu bisa dilihat dari sosok yang berbeda (kulit, bentuk, tubuh), dan adanya perbedaan corak budaya. Perbedaan ini terlihat pada bahasa sehari-hari, adat istiadat, pola-pola kelakuan, dan sebagainya, adanya perbedaan agama dan kepercayaan. Tiap suku mempunyai agama dan kepercayaan asli yang berbeda. Suku yang tidak mempertahankan agama asli, kemudian memeluk agama dan kepercayaan diri, serta adanya perbedaan kekayaan alam.
Sedangkan unsur-unsur yang mendorong integrasi sosial
•daerah-daerah yang kumulatif luas dan ternyata mempunyai sifat-sifatnya persamaan, misalnya situasi klimatologis, hidrologis serta flora dan fauna
•pengalaman yang sama pada masa silam (pengalaman politik, pengalaman yang sama mengalami bencana)
•kemauan bersama untuk menjadi satu bangsa, dengan satu sosial budaya yang sama, tanpa mengorbankan nilai-nilai budaya kedaerahan
•ada ideologi dan undang-undang dasar yang sama yang dinyatakan secara konkret dengan satu lambing nasional.
Para penganut paham fungsionalisme struktrua menyatakan bahwa sistem sosial terintegrasi di atas dua landasan yaitu, Masyarakat terintegrasi di atas tumbuhnya konsensus di antara sebagian besar anggota masyarakat mengenai nilai-nilai kemasyarakatan yang bersifat fundamental. Masyarakat terintegrasi oleh karena anggota masyarakat sekaligus menjadi anggota dari berbagai kesatuan sosial. Hal tersebut dikenal dengan cross cuting affiliations yaitu adanya loyalitas ganda para anggota masyarakat. Hal ini akan meminimalisir terjadinya suatu konflik karena dengan adanya loyalitas ganda maka konflik yang akan segera dinetralkan.
Sedangkan para penganut paham pendekatan konflik, menyatakan bahwa suatu integrasi dapat terwujud atas adanya coecion (paksaan) dari suatu kelompok / satuan sosial dominan terhadap kelompok / satuan kelompok lain, atau pun adanya saling ketergantungan di bidang ekonomi antara berbagai kelompok / satuan sosial yang ada dalam masyarakat. Integrasi sosial dapat tebentuk apabila para anggota masyarakat bersepakat mengenai stuktur kemasyarakatan, nilai-nilai, dan norma serta pranata sosial yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Di samping itu juga diperlakukan adanya kesepakatan mengenai batas teretorial / wilayah yang jelas akan tempat / negara yang mereka tinggali.
William F. Ogburn dan Mayer nimkoff mengemukakan tentang syarat berhasilnya suatu integrasi sosial yaitu, Kemampuan untuk mengisi kebutuhan anggota masyarakat satu dengan lainnya, sehingga terjalin hubungan yang baik dan saling menjaga keterikatan satu dengan yang lain. Keberhasilan menciptakan kesepakatan (consensus) mengenai norma dan nilai-nilai sosial sebagai pedoman dalam menjalin interaksi satu dengan yang lain. Nilai-nilai dan norma-norma sosial tersebut berlaku dalam waktu yang cukup lama dan telah dilaksanakan secara konsisten.
Bentuk-Bentuk Integrasi Sosial
•Tertib Sosial Suatu masyarakat dinyatakan telah mencapai kondisi tertib sosial apabila dalam masyarakat telah terjadi keselarasan antara tindakan masyarakat dengan nilai dan norma yang berlaku. Adapun ciri-ciri dari tertib sosial : (1) terdapat suatu sistem nilai dan norma yang jelas. (2) Individu dan kelompok dalam masyarakat mengetahui dan memahami dengan benar norma-norma sosial dan nilai-nilai yang berlaku. (3) Individu atau kelompok dalam masyarakat menyesuaikan tindakan-tindakannya dengan norma-norma sosial dan nilai-nilai sosial yang berlaku.
•Sosial Order
Merupakan suatu sistem atau tatanan norma dan nilai sosial yang diakui dan dipatuhi oleh warga masyarakat.
•Keajengan
Merupakan suatu keadaan yang memperlihatkan kondisi keteraturan sosial yang tetap dan berlangsung terus-menerus.
•Pola
Merupakan suatu bentuk umum dari interaksi sosial yang menunjukkan adanya keteraturan yang lebih baku apabila dibandingka dengan tertib sosialmaupun keajegan.
Integrasi sosial dapat terjadi apabila didukung oleh berbagai faktor,
•Homogenitas Kelompok
Integrasi sosial akan lebih mudah di capai ketika tingkat kemajemukan suatu masyarakat tersebut kecil.
•Besar Kecilnya Kelompok
Tingkat kemajemukan suatu masyarakat dapat dipengaruhi oleh besar kecilnya kelompok yang ada.
•Mobilitas Geografis
Terjadinya perpindahan (mobilitas) menyebabkan terjadinya penyesuaian diri dengan keadaan sosial budaya masyarakat yang dituju.
•Efektivitas dan Efisiensi Komunikasi
Komunikasi merupakan media yang sangat penting dari proses integrasi sosial yang akan diciptakan.

D.KONFLIK DAN PERUBAHAN SOSIAL
Antara Konflik Makro & Mikro. Bahasan mengenai konflik dan teori mengenai konflik merupakan suatu bahasan tersendiri yang sangat menarik untuk dijadikan sebagai sebuah obyek ontologis. Dua dimensi ini berbicara dalam ranah ontologi yang berbeda. Ketika dengan pendekatan mikro kita menganalisis sebuah konflik, maka lingkup ontologisnya adalah ranah psikologi. Sedangkan jika kita menganalisis sebuah masalah dalam dimensi makro, maka pendekatan-pendekatan yang kita lakukan akan cenderung bersifat sosiologis.
Dalam ranah mikro, konflik selalu berbicara mengenai bagaimana konstruksi pemikiran seseorang dapat menjadi sumber konflik bagi dirinya sendiri, dimana terjadi banyak pertentangan pertentangan yang hanya dapat dianalisis melalui pendekatan analisis psikologi atau psikoanalisis. Sedangkan dalam ranah makro, lebih menekankan pada dinamika struktur sosial dimana interaksi antar individu dapat menyebabkan konflik.
Berbagai argumen mengenai apakah pendekatan makro dan mikro dapat terintegrasikan dalam satu bahasan pun menjadi suatu perdebatan yang panjang. Salah satu scholar menyampaikan dalam tulisannya bahwa jika kedua dimensi konflik ini dikaji secara bersamaan dengan pendekatan kasuistik yang sama maka akan menjadi tidak absurd dan rasional. Dalam dimensi mikro, keadaan psikologis seseoranglah yang determinan apakah sikap atau behaviour orang tersebut konfliktual atau tidak (hal ini disebabkan oleh berbagai macam faktor dalam konstruksi psikologis dan pemikiran orang tersebut). Jika ditarik garis, kondisi personal (mikro) seseorang dikorelasikan dengan masyarakat atau society maka secara tidak langsung akan merambah pada ranah makro, karena berhubungan dengan society. Dalam ranah makro, jika dihubungkan dengan state dan individu pemegang inti decision making process sebagai aktor dari dimensi mikro, maka menurut Alex Thio, dalam pendekatan sosiologis, keadaan psikologis seseorang tersebut akan mempengaruhi kebijakan yang diambilnya, meskipun melalui konsensus bersama, tetapi tetap pada final decision making bergantung pada satu individu pemegan inti kebijakan, dan hal ini sangat bias personal.
Berbicara mengenai evolusi-evolusi dalam teori konflik, Dr. Günther Ossimitz mengemukakannya lebih dalam pada penekananya terhadap bagaimana perubahan-perubahan konflik dan evolusi yang ada diindikasikan lewat bagaimana konflik tersebut dapat diselesaikan. Dalam artikelnya yang berjudul The Evolution of Conflicts, Dr. Günther Ossimitz menyatakan bahwa ada enam tahapan evolusi penyelesaian konflik. Yang pertama adalah escape. Opsi melarikan diri adalah opsi yang paling tradisional jika seseorang ingin terhindar daripada suatu konflik. Permasalahan utamanya adalah bahwa jika seseorang memilih opsi melarikan diri dari sebuah konflik maka yang sesungguhnya terjadi bukanlah suatu problemsolving tetapi lebih cenderung pada avoidance dimana konflik yang dihadapi suatu individu yang melarikan diri tersebut tidak benar-benar terselesaikan. Dalam hal ini Peter Senge mengutarakan “The main disadvantage of escape is that the conflict is just avoided, not really solved or even addressed. A modern variant of this habit to avoid painful confrontations is a strategy which has been coined ‘shifting the burden’. Yang kedua adalah destruction. Konsepsi mengenai destruction berbicara mengenai bagaimana dalam menghadapi konflik yang terjadi dalam suatu interaksi adalah dengan cara menghancurkan aktor oposisi biner yang kita hadapi. Hal ini muncul dari perkembangan pemikiran sebelumnya yang adalah escape.
Konsep destruction ini muncul ketika individu yang terlibat dalam suatu konflik merasa bahwa konsep melarikan diri tidak dapat digunakan terus menerus, dan harus ada penyelesaian terhadap konflik tersebut dengan cara menyingkirkan pihak-pihak yang terlibat konflik dengan individu tersebut. Yang ketiga adalah submission. Konsep mengenai submisi adalah suatu konsep yang lebih modern, dimana pihak yang menang tidak semerta-merta mendestruksikan pihak yang kalah, tetapi pihak yang menang ini enslave pihak yang mengalami kekalahan demi kemajuannya sendiri. Kemudian adalah delegation. Konsep pendelegasian pihak ketiga ini adalah sebuah konstruksi pemikiran yang lebih moderen bagi “mereka” yang sangat menjunjung tinggi nilai kooperasi liberalisme dan neoliberalisme. Dengan adanya delegasi dari pihak ketiga yang netral, maka kepentingan dari dua pihak yang berkonflik akan diupayakan untuk dapat terselesaikan dengan hasil yang tidak destruktif maupun submisif, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa hasil yang disampaikan oleh pihak ketiga adalah destruktif atau submisif. Selanjutnya adalah compromise.
Compromise atau yang dalam bahasa Indonesia disebut sebagai kompromi adalah tahapan selanjtnya dari evolusi (resolusi) konflik yang merupakan suatu perjanjian antara pihak yang saling terlibat konflik dengan cara menegosiasikan kepentingannya agar konflik dapat terselesaikan dengan cara yang ideal yaitu win-win.
Berikutnya adalah suatu tingkat mutakhir dari artikel Dr. Günther Ossimitz, yaitu konsensus. Konsensus adalah satu langkah lebih utopis dari compromise karena dalam konsensus terbentuklah suatu kesepakatan bersama yang tingkat kepuasannya melebihi terminologi compromise.
Argumen mengenai kekerasan atau violence dikemukakan oleh Johan Galtung. Johan Galtung adalah seorang aktivis yang sangat banyak merumuskan konsep-konsep peacemaking¬-nya dalam artikel-artikelnya, salah satunya yang paling terkenal adalah Violence, Peace, Peace Research. Dalam argumennya mengenai kekerasan, Galtung mengatakan bahwa dasar (basis, bukan faktor) adalah structural violence. Dalam hal ini Galtung mendeskripsikan structural violence sebagai berikut “widely defined as the systematic ways in which a regime prevents individuals from achieving their full potential. Institutionalized racism and sexism are examples of this.” Selain itu Galtung juga berkontribusi dalam konsepsinya akan terminologi perdamaian. Menurut galtung, dalam terminologi perdamaian ada dua sub-terminologi didalamnya yaitu positive peace dan negative peace. Terminologi positive peace dapat dicapai jika perdamaian dicapai atas dasar koordinasi dan hubungan yang supportif antara pihak-pihak yang terkait di dalamnya. Sedangkan terminologi negative peace diartikan oleh Galtung sebagai absennya konflik. Baik konflik yang bernuansa kekerasan atau tidak.
Terminologi mengenai Peace Research juga muncul dalam jurnal Galtung sebagai alat untuk menemukan inovasi-inovasi baru mengenai peace building dan resolusi konflik. Berbagai penulis juga mengkonfirmasikan pernyataan Galtung melalui tulisannya bahwa peace research mengkonfrimasi akan inovasi-inovasi terbaru dalam terminologi resolusi konflik[7], dengan demikian harapan idealisme dan utopisme akan terbentuknya suatu sistem global yang damai lama-kelamaan dengan munculnya orang-orang seperti Galtung, mengindikasikan bahwa sebenarnya impian kooperasi dari idealisme orang-orang liberalisme bukanlah hal yang absurd dan irasional. Tetapi lebih menekankannya pada proses dimana konflik, sebenarnya dapat dipelajari secara obyektif dengan pendekatan yang non-interestual. Dengan demikian akan menghasilkan banyak alternatif-alternatif sesuai dengan perkembangan evolusi teori konflik dan resolusinya, dan bagaimana peran peace research untuk terus berupaya untuk menemukan inovasi-inovasi dalam proses resolusi konflik.

E.TEORI SISTEM TERBUKA
Sistem berasal dari bahasa Yunani yang berarti sehimpunan dari bagian/komponen-komponen yang saling berhubungan satu sama lain secara teratur dan merupakan suatu keseluruhan. Sistem dapat diartikan dalam tiga aspek, yakni 1) Pengertian sistem yang digunakan untuk menunjuk sehimpunan gagasan/ide yang tersusun dan membentuk suatu kesatuan yang logis dan kemudian sebagai sebuah pikiran filsafat tertentu misalnya agama, bentuk pemerintahan. 2)Pengertian sistem digunakan untuk menunjuk sekelompok atau sehimpunan/sekesatuan dari benda-benda tertentu yang memiliki hubungan secara khusus. Contoh: Arloji. 3) Pengertian sistem dipergunakan dalam arti metode atau tata cara. Contoh: sistem pernapasan.
Talcott Parsons : Sistem sebagai sebuah pengertian yang menunjuk pada adanya saling ketergantungan antara bagian-bagian, komponen-komponen, dan proses-proses yang mengatur hubungan tersebut. Parsons menambahkan karakteristik lain dari suatu sistem yaitu bahwa sistem sosial cenderung akan selalu mempertahankan keseimbangan. (katup pengaman AGIL: Adaptation, goal attainment, integration, latent pattern maintenance). Goal attainment: tujuan yang ingin dicapai Integration: Kemampuan untuk berintegrasi Latent pattern maintenance: pola-pola yang tidak kelihatan (Tercipta social order: keteraturan).
Menurut Auguste Comte beberapa pokok pikiran penting yang terdapat dari organisma biologis ada kesamaanya dengan organisasi sosial. Alasan Comte: 1) Sosiologi dan biologi mempunyai hubungan yang sangat erat karena keduanya mempelajari organisma. Biologi mempelajari organisma tubuh organik sedangkan sosiologi mempelajari masyarakat organic atau organisma sosial. 2) Begitu dekatnya biologi dan sosiologi sehingga yang disebut dengan istilah masyarakat atau organisma sosial adalah terdiri dari keluarga-keluarga sebagai elemen atau sel, kelas-kelas atau lapisan dalam masyarakat adalah kelenjar-kelenjar, kota adalah organ-organnya. 3) Sosiologi dalam pandangan Comte merupakan ilmu poditif atau ilmu empiric yang dapat menggunakan metode ilmiah untuk membuat masyarakat menjadi lebih baik. 4) Comte sangat menganjurkan keteraturan sosial dan keseimbangan dan membenci kekacauan.
Pokok-pokok pikiran H. Spencer: 1) Proses evolusi berjalan dari bentuk yang sederhana ke bentuk yang kompleks. Ini merupakan analogi berarti sebagai organisma sosial masyarakat berkembang dari bentuk yang sederhana ke bentuk yang lebih kompleks. 2) Mencakup perbandingan antara individu sebagai makhluk biologis dan masyarakat sebagai makhluk sosial.
Alasan analogi Spencer: 1) Masyarakat bertumbuh dan berkembang dar yang sederhana ke yang kompleks. 2) Pertumbuhan dan perkembangan masyarakat berjalan secara pelan-pelan atau evolusioner. 3) Walaupun jumlah institusi sosial itu bertambah banyak hubungan antara institusi dengan institusi lainnya tetap dipertahankan karena semua institusi itu berkembang dari institusi yang sama. 4) Seperti halnya bagia dalam organisma biologis, bagian-bagian organisma sosial itu memiliki sistem-sistemnya sendiri (sebagai sub sistem) yang dalam beberapa hal tertentu dia berdikari.
Kehidupan sosial sebagai suatu sistem sosial. Kehidupan sistem sosial harus dipandang sebagai suatu sistem yaitu sistem sosial yakni suatu keseluruhan bagian-bagian atau unsure-unsur yang saling berhubungan dalam satu kesatuan. Kehidupan sosial adalah kehidupan bersama manusia atau kesatuan manusia yang hidup dalam suatu pergaulan oleh karena itu kehidupan sosial pada dasarnya ditandai oleh:
•Adanya manusia yang hidup bersama yang dalam ukuran minimalnya berjumlah dua orang atau lebih.
•Manusia tersebut bergaul atau berhubungan dan hidup bersama dalam waktu yang cukup lama oleh karena itu terjadilah adaptasi dan pengorganisasian perilaku serta munculnya suatu perasaan sebagai kesatuan.
•Adanya kesadaran bahwa mereka merupakan suatu kesatuan.
•Suatu sistem kehidupan
Sifat terbuka sistem sosial. Sistem sosial pada umumnya di dalamnya terjadi proses yang saling pengaruh mempengaruhi, hal ini terjadi karena adanya saling keterkaitan antara satu unsur dengan unsur lainnya atau satu bagian dengan bagian lainnya atau antara subsistem dengan subsistem lainnya.
Menurut Margono slamet mengatakan suatu sistem sosial dipengaruhi oleh ; (1) Ekologi, tempat, dan geografi (dimana masyarakat itu berada); (2) Demografi yang menyangkut populasi, susunan, dan cirri-ciri populasi; (3) Kebudayaan menyangkut nilai-nilai sosial, sistem kepercayaan dan norma-norma dalam masyarakat; (4) Kepribadian meliputi sikap mental, semangat, temperamen dan cirri ciri psikologis masyarakat; (5) Waktu.
Konsep saling ketergantungan syaratnya: melihat masyarakat sebagai suatu kesatuan masyarakat dilihat sebagai fakta social Fakta sosial adalah kumpulan norma, nilai, dan sebagainya yang memaksa anggota masyarakat untuk tunduk dan patuh.
Solidaritas sosial: Keadaan menjadi satu atau bersahabat yang muncul karena adanya tanggung jawab bersama dan kepentingan bersama diantara para anggotanya
Tipe solidaritas sosial terbagi: solidaritas mekanik (biasanya di pedesaan) dan solidaritas organik (biasanya di perkotaan) “social consciousness” = kesadaran sosial
Kesadaran sosial ini yaitu sadar akan adanya kelompok dimana kita termasuk di dalamnya.


BAB IV
KESIMPULAN
Dari semua teori interaksi simbol yang didiskusikan bahwa tingkat kenyataan sosial yang utama yang menjadi pusat perhatian interaksionisme simbol adalah pada tingkat mikro, khususnya hubungan antara kesadaran subyektif dan interaksi antapribadi.
Sementara itu menurut tingkat kenyataan sosial yang sudah dipaparkan sebelumnya, pandangan kita terhadap teori pertukaran dimulai dengan tingkat individual dan antarpribadi. Hal ini berhubungan dengan tingkat mikro kenyataan sosial yang dapat dibandingkan dengan teori interaksi simbol dan dengan pendekatan Simmel. Tetapi dengan teori Blau kita bergerak dari tingkat antarpribadi ke tingkat struktur sosial. Meskipun struktur sosial yang besar terdiri dari pola-pola pertukaran antarpribadi, struktur itu juga memperlihatkan sifat-sifatnya yang muncul ang membedakanya dari pertukaran antarpribadi di tingkat mikro.
Meskipun kenyataan bahwa Parsons dan Merton memberi peringatan terhadap asumsi integrasi yang sempurna mengenai sistem sosial, gambaran dasar mengenai kenyataan sosial yang kebanyakan diambil oleh ahli sosiologi dari perspektif fungsional adalah mengenai suatu sistem yang terintegrasi atas dasar nilai bersama dangan memperlihatkan kurang lebih saling ketergantungan yang seimbang antara pelbagai bagiannya (institusi dan subsistem lainnya). Juga termasuk dalam mempertahankan keseimbangan serta meningkatkan stabilitas untuk tetap bertahan hidup dalam lingkungannya.
Terdapat implikasi yang sangat kuat dalam karya Parsons bahwa individu-individu itu cukup terintegrasi dengan baik kedalam sistem itu sehingga ada hubungan yang erat antara kebutuhan-kebutuhannya dan persyaratan-persyaratan fungsional dari sistem itu. Hubungan ini dijamin oleh pelbagai mekanisme sosialisasi dan kontrol sosial.


DAFTAR PUSTAKA

Beilharz, Peter. (2002). Teori-Teori Sosial Observasi Kritis Terhadap Para Filosof Terkemuka. Jakarta: Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Gaffar, Afan. (2004). Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Griffin, Emory A., A First Look at Communication Theory, 5th edition, New York: McGraw-Hill, 2003
http://www.thehank.co.cc/2009/06/menejemen-konflik-sosial.html

http://bedegoele.blog.friendster.com/2008/02/teori-interaksionisme-simbolik/

http://tutorialkuliah.blogspot.com/2009/06/teori-tindakan-dan-teori-sistem-talcott.htm

Johnson, D. Paul. (1986). Teori Sosiologi Klasik dan Modern Jilid I. Jakarta: Gramedia.

Johnson, D. Paul. (1986). Teori Sosiologi Klasik dan Modern Jilid II. Jakarta: Gramedia.

Kaplan, David & Manners A. Robert (1999). Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Muif Taste: http://muiftaste.blogspot.com/2009/01/teori-pertukaran-sosial.html

Panji: http://yearrypanji.wordpress.com/2008/03/17/teori-interaksionisme-simbolik/

Ranjabar, Jacobus. (2006). Sistem Sosial Budaya Indonesia Suatu Pengantar.. Bogor: Ghalia Indonesia.

Robinmandagi: http://robinmandagie.blogspot.com/2009/05/teori-konflik.html]

Riska: http://koleksipribadiriska.blogspot.com/2008/12/pengertian-sistem-sosial.html