Minggu, 27 Desember 2009

Rencana Penelitian Dosen STKIP-PK Sintang


solagracia-mardhawani-civic

A. Judul Penelitian
PEMBINAAN SEMANGAT NASIONALISME INDONESIA DALAM MENGHADAPI TANTANGAN KOSMOPOLITANISME DAN ETNISITAS MELALUI PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (Studi Pada SMP Negeri 01 Entikong, Wilayah Perbatasan Indonesia-Malaysia)


Oleh: Mardawani (0808220)

Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia tahun 2009

B. Latar Belakang Penelitian
Bangsa Indonesia sebagai sebuah negara yang berada di bawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah genap berusia 64 tahun sejak kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, sampai saat ini dihadapkan pada sebuah tantangan besar yakni bagaimana mempertahankan semagat nasionalisme bangsa Indonesia dalam mengisi dan mempertahankan kemerdekaanya. Sebagai sebuah negara yang terdiri dari beranekaragam suku, agama dan ras, serta wilayahnya yang sangat luas terdiri atas ribuan pulau, bangsa Indonesia harus tetap memiliki daya pengikat yang dapat mempererat persatuan dan kesatuan bangsa yang disebut nasionalisme. Namun tantangan ini semakin dirasakan manakala bangsa kita dihadapkan pada dua kekuatan utama yang dapat menghimpit semangat nasionalisme, yakni kosmopolitanisme yang seiringan dengan globalisasi, serta etnisitas yang beriringan dengan etnosentrisme. Bahkan sejalan dengan dunia yang semakin menglobal (globalizing world) dalam tradisi ilmu sosial kosmopolitanisme dianggap sebagai oposisi dari nasionalisme (Kalidjernih, 2009:1).


Dalam memasuki era globalisasi ini, mau tidak mau bangsa kita harus mampu berkompetisi di dunia yang cenderung tanpa batas. Globalisasi selalu identik dengan konsep pengurangan kedaulatan sebuah negara, penghilangan batas wilayah sebuah negara, kecanggihan teknologi, penyempitan ruang dunia dan pengembangan transaksi perdagangan berdasarkan kepada pemikiran perdagangan bebas. Dalam pandangan Kenichi Ohmae sebagaimana yang dikutip Angraeni (2009: 11) misalnya globalisasi bukan saja membawa ideologi yang bersifat global dalam hal ini demokrasi liberal di kalangan penduduk dunia, tetapi juga turut mengancam proses pembentukan negara bangsa, karena globalisasi pada intinya ingin mewujudkan negara tanpa batas (Borderless). Globalisasi tidak hanya mendatangkan dampak positif, tetapi juga membawa dampak negatif. Karena itulah menurut Mazlish dan Buultjes dalam Anggraeni (2009: 11) menyebutkan ”starting point for global history” adalah menguatnya fenomena globalisasi itu sendiri yang berdimensi luas membawa harapan dan kecemasan. Dalam keadaanya yang sedemikian, globalisasi membawa pengaruh kosmopolitanisme. Seperti yang dikemukakan oleh Tilaar (2002: 4) dampak negatif globalisasi, pertama-tama ialah globalisasi akan dapat mengancam budaya bangsa. Budaya kosmopolitan yang dihasilkan oleh globalisasi akan muncul dan dapat mematikan budaya lokal suatu bangsa. Dewasa ini kosmopolitanisme bukan sekedar globalisasi tetapi sudah kepada penyempitan ruang gerak (Kalidjernih 2009). Fenomena tersebut sekarang mulai mengikis semangat nasionalisme warga negara.


Sejalan dengan hal tersebut sebagaimana kita ketahui sesungguhnya bahwa masalah nasionalisme bangsa Indonesia sangatlah kompleks, kepercayaan diri dan kebanggaan akan simbol budaya bangsa sendiri semakin menurun akhir-akhir ini. Dalam istilah Kumoro (2006:5) kondisi ini disebutkan bahwa nasionalisme bangsa kini terasa kian meredup sinarnya. Terutama semangat nasionalisme pada masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan dengan negara lain pada dekade terakhir ini sudah mulai menunjukan gejala semakin memudar. Hal ini terlihat dari adanya fenomena yang terjadi di lingkungan masyarakat perbatasan, dengan kehadiran produk-produk negara lain baik secara fisik maupun non-fisik, serta lemahnya wawasan kebangsaan masyarakat perbatasan semakin membuktikan. Kondisi ini tidak hanya terjadi pada masyarakat dewasa, namun juga terjadi pada anak-anak usia sekolah, yang bahkan tidak tahu mengenai identitas nasionalnya. Namun sebaliknya, simbol budaya asing justru lebih diminati dan semakin populer di kalangan generasi muda saat ini. Tilaar (2002:1) Perubahan global yang sedang terjadi, kini merupakan suatu revolusi global yang melahirkan suatu gaya hidup (a new life style). Gaya hidup global cepat diserap oleh masyarakat akibat majunya arus informasi yang dihasilkan oleh teknologi.


Lebih lanjut dikatakan bahwa karakteristik gaya hidup tersebut ialah kehidupan dunia yang dilandasi oleh persaingan sehingga meminta masyarakat dan organisasi didalamnya untuk membenahi diri mengikuti perubahan-perubahan cepat yang terjadi. Ini berarti manusia Indonesia harus dipersiapkan untuk menghadapi masyarakat global. Senada dengan pendapat di atas, Komalasari (2007:554) mengatakan saat ini disinyalir bahwa nasionalisme Indonesia rapuh dalam menghadapi gejala-gejala muthakir berupa solidaritas parochial dan kekuatan eksternal akibat pengaruh globalisasi, baik kekuasaan kolonial, penetrasi transnasional corporation, multinational corporation, maupun lembaga-lembanga internasional lainya.
Sementara disisi lain ancaman akan nasionalisme muncul dari masyarakat dalam ruang yang lebih sempit, yaitu suatu sifat kedaerahan atau nasionalisme yang sempit berupa kesukuan (etnisitas). Banyak studi yang terkait dengan konflik yang bernuasa etnik, dan agama di beberapa daerah di Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah akibat dari lemahnya pemahaman dan pemaknaan tentang konsep kehidupan berbangsa dan bernegara. Konflik akan muncul apabila tidak ada distribusi nilai yang adil kepada masyarakat. Perbedaan ras pada masyarakat menjadi penanda awal yang secara budaya sudah dilabelkan hambatan-hambatannya, yakni prasangka rasial. Prasangka rasial ini sangat sensitif karena melibatkan sikap seseorang ataupun kelompok etnik tertentu terhadap etnik lain. Prasangka ini juga bisa muncul oleh situasi sosial, sejarah masa lalu, stereotipe dan etnosentrisme yang menjadi bagian dalam kebudayaan kelompok tertentu. Dengan kata lain dinamika dan perkembangan masyarakat Indonesia kedepan sangat dipengaruhi oleh hubungan-hubungan antar etnis.
Realitas itu diperparah dengan lemahnya civic nationalism bangsa sehingga mengakibatkan suburnya semangat ethno-nationalism di masyarakat. Ethno-nationalism ialah bentuk nasionalisme yang berbasis identitas-identitas primordial, seperti etnis, suku, dan ras. Akan tetapi, dalam pengertian lebih luas, ethno-nationalism didefinisikan sebagai doktrin yang melekat pada suatu kelompok masyarakat yang merasa memiliki perbedaan budaya, sejarah, maupun prinsip-prinsip hidup tersendiri sehingga mereka merasa perlu memiliki sebuah pemerintahan sendiri. Ethno-nationalism dapat pula dibaca sebagai bentuk hilangnya loyalitas dari suatu kelompok masyarakat tertentu terhadap sebuah ikatan yang lebih besar, yakni bangsa dan negara Indonesia. Jika fenomena ethno-nationalism berlangsung dalam jangka waktu lama, bukan mustahil bila riwayat NKRI akan berujung pada disintegrasi sebagaimana pernah dialami Uni Soviet.


Negara Indonesia yang terdiri atas beranekaragam suku, agama dan ras sangat rentan menjadi ancaman terhadap nasionalisme. Suka atau tidak suka, entah dengan alasan teoritis maupun ilmiah, gambaran tentang perbedaan yang sedang kita alami dalam masyarakat mengungkapkan bahwa dari dasar-dasarnya berasal dari kelompok tertentu yang kita sebut kelompok etnik (Liliweri, 2005:5). Berdasarkan suatu temuan pada hasil Riset Demos Tersedia [Online] pada http://www.demos.or.id/TEMPO/4Demos_6Mar05.pdf, dalam Komalasari (2007: 560), yang dilakukan dengan mewawancarai 798 responden tentang bagaimana kelompok-kelompok masyarakat sekitar mereka melaksanakan identifikasi diri, ditemukan 10% responden mengidentifikasikan diri berdasarkan agama, 14% berdasarkan desa, 18% berdasarkan provinsi, 19% berdasarkan bangsa Indoensia, dan 39% berdasarkan suku (etnis). Data tersebut menunjukan bahwa masyarakat bangsa Indonesia lebih suka mengidentifikasikan diri sebagai komunitas suku (39%) dari pada sebagai orang Indonesia (19%). Lebih lanjut Komalasari menyatakan bahwa fakta ini dapat melahirkan ancaman berupa munculnya bentuk-bentuk relasi dalam masyarakat yang ekslusif, yang pada akhirnya dapat menjadi bibit bagi munculnya konflik-konflik horizontal antar kelompok masyarakat. Hal inilah yang terjadi di Kalimantan Barat, sebagai salah-satu provinsi yang dihuni oleh sekitar 85 etnik (Garna, 1991, Hidayah, 1996) dalam Liliweri 2005:8), dan berada di daerah yang berbatasan langsung dengan negara lain mempunyai kecenderungan rawan konflik yang dapat memudarkan rasa nasionalisme.
Tercatat telah berulangkali terjadi konflik etnis dalam sejarah kalimantan Barat dalam beberapa dekade secara berulang, menurut Adi Prasetijo (2008:2), yakni:
Misalnya pada masa Hindia Belanda ada beberapa kasus konflik yang melibatkan etnis Tionghoa, Dayak, dan Melayu. Kemudian pada masa setelah kemerdekaan pada tahun 1950 yang melibatkan etnis Tionghoa dan Melayu. Dan puncaknya memang kasus konflik etnis tahun 1997-1999 yang melibatkan etnis Madura, Melayu, dan Dayak. Konflik etnis yang menelan jiwa hingga ribuan nyawa melayang dan jutaan orang kehilangan tempat tinggal dan hartanya. Sedikit banyak fakta ini menunjukkan bahwa Kalimantan Barat memang rawan terhadap potensi-potensi konflik yang bersifat keetnisan yang dapat memudarkan semangat nasionalisme anak bangsa yang ada disana.

Secara nasional Kalimantan Barat menempati urutan tiga besar sebagai salah satu daerah yang cukup tinggi tingkat konflik, terutama konflik etnis. Data United Nation Developmen Program-Badan Perencanaan Nasional (UNDP-Bappenas) menunjukkan bahwa pada periode 1990 hingga 2003, konflik dengan kekerasan di Indonesia mengakibatkan kematian 10.758 orang, dengan proporsi terbesar yaitu konflik yang bersifat etno-komunal (antar etnik, agama dan sekte agama) sebesar 89.3 persen atau menelan 9.612 korban. Konflik terjadi di 14 propinsi dimana kasus tertinggi terjadi di Maluku Utara (72 insiden dan 2.794 korban jiwa); Maluku (332 insiden dan 2.046 korban jiwa) dan Kalimantan Barat (78 insiden dan 1.515 korban jiwa).


Fenomena nasionalisme Indonesia dengan segala problematikanya saat ini menjadi sebuah bahan kajian yang penting untuk diperhatikan. Salah satu aspek yang penting didalamnya menyangkut hubungan antara nasionalisme dengan fenomena kebangkitan sentimen primodialisme atau etnisitas didaerah perbatasan. Hal ini karena tidak dapat dipungkiri bahwa semangat kembali ke nilai-nilai primordial dirasakan makin tumbuh dan menguat setelah reformasi berlangsung persoalan kebangkitan sentimen primodialisme, baik dalam ekspresi keetnisan maupun keagamaan, penting untuk dipahami sebab eksistensi nasionalisme sebagai sumber semangat untuk mempersatukan keragaman masyarakat dan seluruh teritorial bangsa, dapat goyah ketika sentimen primordial menguat dan menunjukan ekpresi perlawananya.


Letak wilayah Kalimanatan Barat yang berbatasan langsung dengan negara Malaysia bukan tidak mungkin bahwa kondisi ini semakin menghimpit semangat nasinalisme anak bangsa, terutama anak-anak yang merupakan bagian dari masyarakat di daerah yang berbatasan langsung dengan negara lain. Pada hal nasionalisme sebuah bangsa menentukan arah pergerakan bangsa tersebut kepada pilihan yang lebih buruk atau baik. Tanpa adanya nasionalisme, tidak akan ada visi, tidak akan ada kedaulatan, dan tidak akan ada perubahan bagi bangsa ini (Therik, 2007). Untuk itu lah nasionalisme dan semangat kebangsaan perlu dibina, baik oleh individu warga negara maupun pemerintah.


Pada hakikatnya permasalahan ini tidak perlu dibiarkan terjadi berlarut-larut, kita harus mengkajinya terutama dari segi Pendidikan Kewarganegaraan. Sebab nasionalisme dan semangat kebangsaan tidak dapat terpelihara dengan sendirinya, melainkan perlu pembinaan secara berkesinambungan dari berbagai pihak, baik individu, kelurga, sekolah maupun masyarakat. Daerah perbatasan khususnya perlu mendapat pembinaan yang berkesinambungan tersebut terutama melalui strategi preventif dalam pembelajaran di sekolah yang dilakukan sejak dini. Bagi masyarakat daerah perbatasan semangat nasionalisme yang semakin menurun akibat pengaruh kosmopolitanisme dan etnisitas adalah hal utama yang harus mendapat perhatian. Dalam kaitannya dengan hal ini, Tri Poetranto dalam Buletin Puslitbang Strahan Balitbang Dephan (2008 : 4-6) mengemukakan nilai strategis mengapa daerah perbatasan perlu diperhatikan pembinaanya, antara lain:

1. Daerah perbatasan mempunyai pengaruh penting bagi kedaulatan negara.
2. Daerah perbatasan merupakan faktor pendorong bagi peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat sekitarnya
3. Daerah perbatasan mempunyai keterkaitan yang saling mempengaruhi dengan kegiatan yang dilaksanakan di wilayah lainnya yang berbatasan dengan wilayah maupun antar negara.
4. Daerah perbatasan mempunyai pengaruh terhadap kondisi pertahanan dan keamanan, baik skala regional maupun nasional.

Di sisi lain, semangat nasionalisme dalam suatu bangsa yang terbangun sejak jaman kemerdekaan lalu masih tetap relevan dengan dunia masa kini. Bagi Indonesia, rumusan paham kebangsaan nasional Indonesia telah tercantum dengan jelas dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu membangun sebuah negara kebangsaan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, membina persahabatan dalam pergaulan antar bangsa, menciptakan perdamaian dunia yang berlandaskan keadilan, serta menolak penjajahan dan segala bentuk eksploitasi, yang bertentangan dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Upaya mengembangkan paham kebangsaan itu, dengan sendirinya akan menyesuaikan diri dengan tantangan perubahan zaman. Namun, esensinya sama sekali tidak berubah. Nasionalisme harus memperkuat posisi ke dalam, dengan memelihara dan mempertahankan kedaulatan dan integritas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Nasionalisme yang harus dibangkitkan kembali adalah nasionalisme yang diarahkan untuk mengatasi semua permasalahan, bagaimana bisa bersikap jujur, adil, disiplin, berani melawan kesewenang-wenangan, tidak korup, toleran, dan lain-lain. Bila tidak bisa, artinya kita tidak bisa lagi mempertahankan eksistensi bangsa dan negara dari kehancuran total. (Abubakar, 2008). Untuk mencegah agar tidak terjadi hal-hal yang demikian maka sebaiknya kita harus mengupayakan secara sistematis, pragmatis, integrated dan berkesinambungan melalui pendidikan kewarganegaraan.


Pendidikan kewarganegaraan diharapkan mampu meningkatkan kesadaran masyarakat akan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Pendidikan kewarganegaraan sebagai sarana untuk membangkitkan semangat nasionalisme, yang dapat dilakukan dengan senantiasa memupuk rasa persatuan dan kesatuan bangsa dan bernegara dalam kehidupan bermasyarakat. Kehendak bangsa untuk bersatu dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia merupakan syarat utama dalam mewujudkan nasionalisme nasional. Di samping itu, perlu dikembangkan semangat kebanggaan dan kebangsaan dalam tiap individu rakyat Indonesia. Kebanggaan yang harus dikembangkan adalah kebanggaan yang dapat dirasakan oleh seluruh bangsa, sehingga kehendak untuk bersatu masih tetap berakar di dalam hati sanubari demi terciptanya nasionalisme.


Berkaitan dengan hal di atas, pendidikan kewarganegaraan memiliki peranan penting dalam upaya mengembangkan masyarakat Indonesia yang tetap memiliki semangat nasionalisme yang tinggi dalam menghadapi tantangan kosmopolitanisme dan etnisitas. Lebih lanjut dikatakan dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional (Sisdiknas) pasal 37, pendidikan kewarganegaraan merupakan nama mata pelajaran wajib untuk kurikulum pendidikan dasar dan menegah dan mata kuliah wajib untuk kurikulum pendidikan tinggi. Ketentuan ini dijelaskan lagi pada bagian penjelasan dari Undang-Undang tersebut bahwa ”pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air”. Di sana jelas menunjukkan bahwa pendidikan kewarganegaraan memegang peranan penting dalam membina semangat nasionalisme indonesia dalam wujud semangat kebangsaan dan cinta tanah air.


Dalam kaitanya dengan pengajaran PKn perlu dikembangkan pengajaran PKn yang bersifat maksimal yang ditandai oleh: “Thick, inclusive, activist, citizenship education, participative, proses-led, values-based, interactive interpretation, more difficult to achieve and meansure in practice”. Maksudnya adalah didefinisikan secara luas , mewadahi berbagai aspirasi dan melibatkan berbagai unsure masyarakat, kombinasi pendekatan formal dan informal, dilabel “citizenshipeducation”, menitikberatkan pada partisipasi siswa melalui pencarian isi dan proses interaktif di dalam maupun luar kelas, hasilnya lebih sukar dicapai dan diukur karena kompleknya hasil belajar (David Kerr, 1995: 5-7, Winataputra dan Budimansyah, 2007: 28) .
Pertimbangan akan pentingnya pembinaan semangat nasionalisme melalui pendidikan kewarganegaraan diperkuat oleh hasil penelitian terdahulu Litbang Kompas (2002), Triardianto dan Suhardiman (2002:321, Fajar (2003:137), Komalasari (2007561-562), dan Anggraeni (2009) yang menunjukkan bahwa nasionalisme bangsa Indonesia perlu mendapat pembinaan yang berkesinambungan guna menghadapi berbagai tantangan dewasa ini.


Dari uraian di atas, maka penulis terdorong untuk mengkaji lebih mendalam tentang masalah yang berkaitan dengan pentingnya: Pembinaan Semangat Nasionalisme Indonesia Dalam Menghadapi Tantangan Kosmopolitanisme dan Etnisitas Melalui Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (Studi Pada SMP Negeri 01 Entikong, Wilayah Perbatasan Indonesia-Malaysia)

C. Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang masalah di atas, dapat peneliti rumuskan suatu masalah pokok atau focus penelitian yakni “Bagaimana pembinaan semangat nasionalisme Indonesia dalam menghadapi tantangan kosmopolitan dan etnisitas melalui pembelajaran pendidikan kewarganegaraan?”
Agar penelitian ini lebih terarah dan memudahkan dalam penganalisaan terhadap hasil penelitian, maka masalah pokok tersebut dijabarkan dalam beberapa sub-sub masalah sebagai berikut:
1. Metode apakah yang digunakan oleh guru PKn untuk menerapkan konsep pembinaan semanagat nasionalisme Indonesia siswa di SMP Negeri 01 Entikong, wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia?
2. Bagaimanakah tantangan kosmopolitanisme dan etnisitas yang ada dalam masyarakat Entikong, wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia?
3. Upaya apakah yang dilakukan guru PKn dalam pembinaan semangat nasionalisme Indonesia siswa untuk menghadapi tantangan kosmopolitan dan etnisitas?
4. Hambatan apakah yang dihadapi oleh guru PKn dalam pembinaan semangat nasionalisme Indonesia di SMP Negeri 01 Entikong, wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia?
Sub-sub masalah di atas dapat penulis jadikan sebagai pertanyaan pokok penelitian.

D. Definisi Konsep
Dalam judul penelitian ini, terdapat lima konsep utama, yakni semagat nasionalisme, kosmopolitanisme, etnisitas, pendidikan kewarganegaraan dan wilayah perbatasan.
1. Pembinaan
Pembinaan adalah usaha suatu proses pengendalian profesional terhadap semua unsur agar unsur tersebut berfungsi sehingga rencana pencapaian tujuan dapat terlaksana secara efektif, efisien dan sempurna.

2. Semangat Nasionalisme Indonesia
Semangat adalah suatu perasaan atau keinginan yang bergelora untuk melakukan sesuatu. Sedangkan nasionalisme adalah suatu paham yang mengacu pada keadaan jiwa yang berupa keinsyafan dan kesadaran berbangsa, bernegara dan bertanah air yang lahir secara alamiah karena kesamaan sejarah, kebersamaan kepentingan, rasa senasib dan sepenanggungan dalam menghadapi masa lalu, kini dan akan datang yang dapat diwujudkan oleh sikap yang ditunjukkan oleh seseorang dalam bentuk mengutamakan kepentingan bangsa, negara, dan tanah air daripada kepentingan yang lainnya.
Dengan demikian maka pembinaan semangat nasionalisme dapat diartikan sebagai suatu upaya kepada pembinaan semangat agar memiliki keinsyafan dan kesadaran untuk mengutamakan kepentingan bangsa, negara, dan tanah air daripada kepentingan yang lain dalam menghadapi masa lalu, masa kini maupun masa yang akan datang.

2. Kosmopolitanisme
Kosmopolitanisme merujuk kepada suatu gagasan atau paham yang menyatakan bahwa semua manusia, tanpa memandang latar belakangnya, adalah anggota dari sebuah komunitas yang disebut warga dunia. Kosmopolitan merupakan pemusatan masyarakat menjadi satu visi yang cenderung kepada suatu budaya tertentu, yang disebut budaya dunia. Kosmopolitanisme dipicu oleh globalisasi yang melahirkan kehidupan tanpa batas.

3. Etnisitas
Dalam konsep ini yang dimaksud oleh penulis sebagai etnisitas adalah suatu kelompok sosial masyarakat atau suatu golongan manusia yang anggota-anggotanya mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya, biasanya berdasarkan garis keturunan, budaya, keturunan, adat-istiadat, agama, bahasa yang sama serta tinggal dalam satu kawasan tertentu sehingga memiliki sifat dan pandangan tertentu yang identik dengan kelompoknya tersebut.

4. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
Pembelajaran pada hakekatnya merupakan suatu proses penyampaian pengetahuan yang bertujuan membentuk manusia berbudaya melalui proses pewarisan dan upaya mempersiapkan peserta didik menjadi masyarakat yang baik. Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan diri yang beragam dari aspek agama, sosial kultural, bahasa, usia dan suku bangsa untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945 (Depdiknas, 2003:7).
Dari pengertian keduanya tersebut, maka yang dimaksudkan oleh penulis dengan pembelajaran pendidikan kewarganegaraan adalah proses belajar mengajar atau interaksi timbal balik antara guru dan siswa, siswa dengan siswa yang memfokuskan pada pembentukan siswa menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil dan berkarakter nasional.

5. Wilayah Perbatasan
Wilayah perbatasan adalah suatu daerah yang posisi/letaknya berbatasan lansung secara geografis dengan suatu kawasan (negara) lain. Masyarakat perbatasan adalah suatu kesatuan-kesatuan khusus dalam masyarakat yang menurut kategori sosial, golongan sosial, komunitas kelompok dan perkumpulan yang saling berinteraksi dan memiliki ikatan khusus dan bertempat tinggal di wilayah perbatasan (Gaspersz, 2008). Sedangkan yang dimaksud dengan masyarakat perbatasan di sini adalah orang-orang (Warga negara Indonesia) yang merupakan masyarakat bangsa Indonesia yang bertempat tinggal di wilayah perbatasan Indonesia dengan Malaysia.

E. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Secara umum, penelitian ini bertujuan menggali dan mengungkapkan pembinaan semangat nasionalisme Indonesia dalam menghadapi tantangan kosmopolitanisme dan etnisitas melalui pembelajaran pendidikan kewarganegaraan di SMP N 01 Entikong, wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia .

2. Tujuan Khusus
Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk mengali, mengungkapkan dan menganalisis informasi tentang:
1. Metode yang digunakan oleh guru PKn untuk menerapkan konsep semanagat nasionalisme Indonesia siswa di SMP Negeri 01 Entikong, wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia
2. Tantangan kosmopolitanisme dan etnisitas yang ada dalam masyarakat Entikong, wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia
3. Upaya yang dilakukan guru PKn dalam pembinaan semangat nasionalisme Indonesia siswa untuk menghadapi tantangan kosmopolitan dan etnisitas di SMP N 01 Entikong, wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia.
4. Hambatan yang dihadapi oleh guru PKn dalam pembinaan semangat nasionalisme Indonesia di SMP Negeri 01 Entikong, wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia

F. Signifikasi dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat baik secara keilmuan (teoritik) maupun secara empirik (praktis). Secara teoritik, penelitian ini akan menggali dan mengungkapkan pembinaan semangat nasionalisme Indonesia dalam menghadapi pengaruh kosmopolitanisme dan etnisitas melalui pembelajaran pendidikan kewarganegaraan yang akan menghasilkan kerangka dasar secara konseptual tentang pembelajaran yang dibutuhkan bagi pembinaan semangat nasionalisme Indonesia melalui pendidikan kewarganegaraan.
Dari temuan tersebut diharapkan dapat memberikan manfaat praktis bagi berbagai pihak, terutama sebagaimana yang diuraikan berikut:
1. Para akademisi atau komunitas akademik, khususnya dalam bidang pendidikan kewarganegaraan sebagai bahan kontribusi bagi pengembangan semanagat nasionalisme Indonesia.
2. Para pengembanga kurikulum pendidikan kewarganegaraan, baik pada tingkat pendidikan dasar, menegah, maupun pendidikan tinggi.
3. Para pengambil kebijakan, khusunya yang terkait dengan program pembinaan semangat nasionalisme Indonesia dalam menghadapi pengaruh kosmopolitanisme dan etnisitas.

G. Kerangka Konseptual
Nasionalisme apabila dilihat dari asal katanya berasal dari kata ”nation” yang diambil dari bahsa latin ”natio” yang berarti bangsa atau negara, yang apabila di berikan akhiran ”isme” menjadi paham kebangsaan. Nasionalisme juga berasal dari teori negara bangsa atau nation-state yang berpengaruh pada dunia modern. Dalam hal ini nasionalisme disebut sebagai suatu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (nation) dengan mewujudkan suatu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia (Wikipedia, 2006). Sejalan dengan pendapat di atas, Hans Konh sebagaimana yang terjemahkan oleh Mertodipuro (1984: 11) mendefinisikan:
Nasionalisme adalah suatu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan. Perasaan yang sangat mendalam akan suatu ikatan yang erat dengan tanah tumpah darahnya, dengan tradisi-tradisi setempat dan penguasa-penguasa resmi di daerahnya selalu ada di sepanjang sejarah dengan kekuatan yang berbeda-beda.

Dilain pihak Bradat (1994:41), menegaskan definisinya tentang nasionalisme sebagai nation state, bahwa:
”Nationalisme is the theory of the nation state, and as such it has had an enormous impact on the modern world...nation is a sosiological term referring to a group of people who have a sense of union with one another. State is a political term that includes four element: people, territory, government, and sovereignty...yet, several theories of the origin of the state have had an impact on ntionalism as ideology”

Artinya, Nationalisme adalah teori dari negara bangsa, dan sepertinya hal ini yang telah mempunyai suatu dampak mahabesar pada dunia modern... bangsa adalah suatu istilah sosiological merujuk pada sekelompok orang-orang yang mempunyai suatu rasa perserikatan satu sama lain. Negara adalah satu istilah politik yang termasuk empat elemen: orang-orang, wilayah, pemerintah, dan kedaulatan... namun, beberapa dari teori asal negara yang telah mempunyai suatu dampak pada pada nasionalisme sebagai idologi. Istilah nasionalisme oleh beberapa pakar sering dikaitkan dengan istilah-istilah seperti rasa kebangsaan, paham kebangsaan, semangat kebangsaan, dan yang tidak menyebutkanya secara harfiah.
Dalam konsep nasionalisme sebagai rasa kebangsaan, Poerwadarminta. M. Said dan Junimar Affan (1987:272) menyatakan bahwa nasionalisme sebagai rasa kebangsaan, adalah kesadaran diri yang meningkat berwujud kecintaan kepada tanah air dan bangsa sendiri. Sementara Kansil (1986:20), menyatakan bahwa salah satu kriteria kekuatan bangsa adalah nasionalisme dan rasa kebangsaan dalam arti kesadaran dan loyalitas pada kebangsaannya.
Selanjutnya, nasionalisme dalam arti paham kebangsaan dikemukan oleh Anshari (1988:191), nasionalisme adalah paham kecintaan terhadap tanah air, kecintaan pada negara, negeri dan bangsa sendiri. Dalam pandangan Islam, sejalan dengan hal tersebut, negara dan negeri adalah anugrah dan nikmat dari Allah yang harus disyukuri setiap bangsa dengan cara: menjaga, memelihara, dan membela negara dan negeri terhadap penjajahan bangsa sendiri, bangsa lain dan umat lain; menggunakan negara dan negeri ini.


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996:648) dan WJS Poerwadarminta (1976:648) dijelaskan bahwa nasionalisme adalah paham (ajaran) untuk mencintaai bangsa dan negara, kesadaran bersama, mempertahankan dan mengabdikan identitas-integritas, kemakmuran dan kekuatan bangsa itu ; semangat kebangsaan. Konsep ini menunjukkan adanya makna rasa kebangsaan dan paham kebangsaan serta keduanya membentuk terhadap semangat kebangsaan. Selanjutnya menurut Sarjono Poespawardojo (1995:16) nasionalisme berkaitan dengan paham kebangsaan yang menyatakan loyalitas tertinggi terhadap masalah-masalah duniawi dari setiap negara yang ditujukan kepada negara bangsa.
Sementara nasionalisme dalam pengertian semangat kebangsaan dapat dilihat seperti pada Ensiklopedia Populer Politik Pembangunan Pancasila menyatakan nasionalisme adalah etnosentris yang gejalanya seperti semangat nasional, kebanganggaan nasional, patriotisme untuk mensoladiritasikan diri dengan suatu kelompok yang senasib. Siswono dan Faisal Tanjung dalam Supriyogi (1997:28) menyebutkan bahwa semangat kebangsaan merupakan tekad sejati seluruh masyarakat bangsa untuk membela dan rela berkorban bagi kepentingan bangsa dan negara.


Adapun nasionalisme dalam pengertian umum yang tidak disebutkan secara harfiah yang dikemukakan pada Ensiklopedia Indonesia Jilid 4 Halaman 2338, yakni sikap politik dan sosial dari kelompok masyarakat yang mempunyai kesamaan bahasa, budaya, wilayah, cita-cita dan tujuan. Muhamad (2000:45) menyebutkan nasionalisme sebagai kriteria yang dijadikan dasar kewarganegaraan adalah kultur, etnisitas, bahasa dan wilayah geografis. Sementara itu, Silvert dalam Anthony D. Smith (1997:30) menyatakan ”nasionalisme the acceptence of state as the impersonal and ultimate arbiter of human affars. Secara bebas dapat diartikan sebagai penerimaan terhadap Negara sebagai bahan bersifat individu dan penentu tujuan akhir dari hubungan antar manusia.


Ada beberapa hal yang dapat menimbulkan sikap nasionalisme menurut Kumoro dalam artikelnya, yakni Perasaan senasib dan Ethno-nationalism. Dalam studi ilmu politik, pembahasan mengenai nasionalisme tak bisa lepas dari nation itu sendiri. Ernest Renan melalui tulisannya yang amat terkenal, What is a Nation? mengatakan, nation adalah jiwa dan prinsip spiritual yang menjadi sebuah ikatan bersama, baik dalam hal kebersamaan maupun dalam hal pengorbanan. Pemikiran Ernest Renan ini amat memengaruhi alur berpikir dari pemikir-pemikir sesudahnya, salah satunya Benedict Anderson. Benedict Anderson memaknai imagined community sebagai cikal bakal munculnya konsep nasionalisme. Melalui konsep imagined community dapat diidentifikasi beberapa unsur terbentuknya nasionalisme, yaitu adanya kesamaan perasaan senasib, kedekatan fisik/nonfisik, terancam dari musuh yang sama, dan tujuan bersama. Berbekal semangat itulah nasionalisme Indonesia lahir sebagai sebuah ikatan bersama. Dalam konteks ini, nasionalisme menjadi amunisi dalam menentang hegemoni kolonialisme.


Ethno-nationalism seperti dikatakan Francis Fukuyama-kepercayaan merupakan social capital terpenting di masyarakat. Nasionalisme etnik adalah bentuk nasionalisme yang berbasis identitas-indentiatas primordial seperti etnis, suku dan ras. Nasionalisme dapat berarti pula hilangnya loyalitas suatu masyarakat tertentu terhadap bangsa dan Negara.
Dari berbagai pendapat di atas tentang nasionalisme baik dalam arti rasa kebangsaan, paham kebangsaan, semangat kebangsaan, dan lainnya, pada hakikatnya mengacu kepada pengertian yang sama, yakni bermakna mendahulukan dan mengutamakan kepentingan bangsa, negara, dan tanah air daripada kepentingan yang lain. Perekat nasionalisme dari pendapat para pakar tersebutpun umumnya saling melengkapi yaitu; bahasa, adat, sejarah, keturunan, kepentingan, cinta tanah air, kesamaan wilayah, kesamaan cita-cita, rasa kesatuan dan persatuan, kesamaan tujuan, bahkan terkadang juga agama.


Menurut Sjamsuddin (1993: 38), nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang berpondasi berdasarkan Pancasila. Artinya, nasionalisme tersebut bersenyawa dengan sila-sila Pancasila, diantaranya apa yang disebut oleh Bung Karno sebagai Socio-Nationalisme. Nasionalisme yang demikian menghendaki penghargaan, penghormatan, dan toleransi dalam kerangka persatuan nasional. Maka dapat dikatakan bahwa nasionalisme bangsa Indonesia berbeda dengan nasionalisme yang dianut oleh negara-negara yang individualis. Semangat nasionalisme Indonesia dan negara-negara Asia pada umumnya adalah nasionalisme yang muncul sebagai reaksi terhadap penindasan penjajahan kolonial.


Lebih lanjut Sjamsuddin (1993: 38) menegaskan bahwa nasionalisme merupakan kekuatan bagi bangsa-bangsa yang terjajah yang kelak akan membuka masa depan gemilang bagi bangsa tersebut. Masih menurut Sjamsuddin, nasionalisme yang digagas oleh Soekarno tersebut mencerminkan rasa anti terhadap kolonialisme dan imperialisme. Nasionalisme yang diyakininya adalah lahir dari “nasionalismeku adalah perikemanusiaan”. Jadi nasionalisme yang hidup dan berkembang dalam perdamaian bangsa-bangsa. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh R. Mudhiyardjo (2001: 196) mengenai ciri-ciri nasionalisme Indonesia, yakni sebagai berikut:
a) Nasionalime kerakyatan/persatuan yang anti penjajahan. Kemerdekaan yang dirumuskan bangsa Indonesia adalah pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia , dan bukan pernyataan kemerdekaan perseorangan.
b) Nasionalime kerakyatan/persatuan yang patriotik, yang religius. Nasionalisme Indonesia lahir dari perjuangan gerakan kemerdekaan Indonesia dan bersumber dari Rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan keinginan luhur untuk membentuk kehidupan kebangsaan yang bebas.
c) Nasionalime kerakyatan/persatuan yang berdasarkan Pancasila. Nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang bersendikan kedaulatan rakyat yang berdasarkan Pancasila, yang dalam pelaksanaanya bertujuan melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia untuk mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut menciptakan perdamaian dunia yang abadi dan berkeadilan sosial.

Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa semangat nasionalisme Indonesia adalah semangat nasionalisme yang mencerminkan penolakan terhadap segala sistem kolonialisme dan imperialisme. Nasionalisme yang berdasarkan nilai-nilai luhur pancasila dan bukan atas dasar golongan atau etnis tertentu.
Disisi lain, dalam perkembangannya nasionalisme bangsa Indonesia menghadapi tantangan globalisasi yang berupaya menyatukan budaya dunia kearah tertentu yang dinamakan kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme yang berkembang di dunia Barat terdiri dari tiga aliran utama, yakni kosmopolitanisme moral, kosmopolitanisme politik dan kosmopolitanisme kultural. Ketiganya pada prinsipnya mengacu kepada sebuah pengertian bahwa universalime atau penyatuan manusia di dunia menjadi satu komunitas yang disebut sebagai warga dunia. Menurut Delanty dalam Kalidjernih (2009: 9) Konsep kosmopolitan dapat dikenali melalui dua arus, yakni sebagai konsepsi kuat kewarganegaraan dan demokrasi. Pendekatan ini melihat kosmopolitan sebagai manifestasi fundamental konteks politis yang dihadirkan globalisasi. Dalam pendekatan normatif ini, terdapat komitmen kuat terhadap universalisme. Dahlan sebagaimana yang dikutip Darmawan (2008:255) menegaskan bahwa proses globalisasi berjalan sangat cepat sehingga mendorong perubahan pada lembaga, pranata dan nilai-nilai sosial budaya. Oleh karena itu, globalisasi dapat pula mengubah perilaku manusia, gaya hidup (life style), dan struktur masyarakat menuju ke arah kesamaan (konvergensi) global yang menembus batas-batas etnik, agama, daerah, wilayah, bahkan negara.
Nasionalisme dan kosmopolitan merupakan dua sisi yang saling berkaitan. Bila nasionalisme menyangkut paham kebangasaan berupa kesetiaan warga negara terhadap negaranya, maka kosmopolitan sebaliknya merujuk kepada bahwa seseorang merasa adalah bagian keseluruhan secara global sehingga seringkali hilang identitasnya sebagai warganegara suatu bangsa. lebih lanjut dalam kaitannya dengan hal tersebut, Kalidjernih (2009: 4), menyatakan bahwa kosmopolitanisme merujuk kepada suatu paham atau gagasan bahwa semua manusia, tanpa memandang latar belakangnya adalah adalah anggota dari sebuah komunitas.
Selanjutnya Qomariyah (2007) menyatakan bahwa:
Globalisasi memicu bangkitnya suatu budaya global kosmopolitan yang akan semakin menelan dan mengikis budaya dan identitas nasional dan imperialisme budaya asing yang telah menyerang budaya asli Indonesia. Budaya asing yang mulai merasuki jiwa bangsa kita semakin melemahkan rakyat akan identitasnya dan kesadaran berbangsa kita. Mereka terombang- ambing dalam arus yang selalu bergerak cepat. Globalisasi ini juga yang dapat menyebabkan merosotnya nasionalisme. Globalisasi menyebabkan munculnya konsumerisme massa, di mana manfaat material banyak diperlukan oleh penduduk di seluruh pelosok dunia, dan produk teknologi, serta modal Barat mencari pasar baru. Arus komoditas dan daya tarik konsumerisme membuat batas nasional dan aturan pemerintah menjadi semakin tidak berdaya dan tidak relevan.

Lebih lanjut, Dalam seminar nasioanal Refleksi Kebangsaan Menuju Visi Indonesia 2025, yang diadakan oleh Prodi PKn SPs UPI tanggal 5 Desember 2009 secara khusus Freddy K Kalidjernih menyatakan bahwa posisi kosmopolitanisme harus tetap berada dalam kerangka nasionalisme bangsa Indonesia. Ini mengisyaratkan bahwa kita tidak bisa menghindari pengaruh dari kosmopolitanisme namun kita harus meletakkanya di dalam kerangka nasionalisme. Dengan kata lain kita harus dapat menempatkan nasionalisme bangsa kita sebagai jati diri bangsa dalam menghadapi tantangan kosmopolitanisme yang datang dari luar.
Menurut Frederich Barth (Mendatu, 2007) istilah etnik menunjuk pada suatu kelompok tertentu yang karena kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa, ataupun kombinasi dari kategori tersebut terikat pada sistem nilai budayanya. Etnisitas dalam istilah Dr. A.N.J. den Holander (Sunarto, 1998:207-208) mengacu kepada suatu sikap ekslusivisme terhadap kelompok-kelompok lain diluar diri. Sikap eklusivisme dalam kelompok justru berjalan seiring dengan berkembangnya kesadaran kesatuan kelompok. Dalam kaitannya dengan nasionalisme, Eriksen (1993, 118-120) menyatakan bahwa Nationalisme dan etnisitas adalah konsep yang mirip, dan mayoritas dari nasionalisme adalah karakter kesukuan. Pembedaan di antara nasionalisme dan etnisitas sebagai hal yang mudah dalam konsep analisis, kalau kita mendekatkan pada taraf formal dari definisi. Satu aliran politik nasionalis adalah satu aliran politik kesukuan yang menuntut satu status atas nama golongan kesukuan. Dalam bagian dari penjelasanya yang lain Eriksen berpendapat bahwa bagaimanapun, dalam praktek pembedaan antara nasionalisme dan etnisitas sangat tinggi meragukan. Mengacu kepada pendapat di atas, maka kita dapat menyimpulkan bahwa terdapat konsep yang erat sekali kaitannya antara nasionalisme dan etnisitas.


Muhamad (2000:45) menyebutkan nasionalisme kriteria yang dijadikan dasar kewarganegaraan adalah kultur, etnisitas, bahasa dan wilayah geografis. Sukuisme adalah suatu paham yang memandang bahwa suku bangsanya lebih baik dibandingkan dengan suku bangsa yang lain, atau rasa cinta yang berlebihan terhadap suku bangsa sendiri. Pada umumnya anggota-anggota suatu kelompok etnik memiliki kesamaan dalam hal sejarah (keturunan), bahasa (baik yang digunakan ataupun tidak), sistem nilai, serta adat-istiadat dan tradisi.
Dalam berbagai kasus yang berkaitan dengan permasalahan perbedaan etnis di masyarakat sebenarnya dapat terselesaikan jika saja kita mau belajar dan memiliki kesadaran sejarah melalui evolusi dan transformasi yang beratus-ratus tahun, maka organisasi sosial politik kita dalam berbangsa dan bernegara, segala kekurangan-kekurangannya akan tampak dihadapan kita. Walaupun secara antropologis, bangsa Indonesia yang kaya akan keragaman etnis, budaya, agama, adat-istiadat yang hidup ditengah masyarakat plural, semuanya tergantung dari lokal genius yang bersifat primordial (Sumardjo, 2002:23, Supardan, 2008).


Pada hakikatnya etnisitas dalam kaitannya dengan nasionalisme bangsa Indonesia harus diletakkan dalam kerangka yang lebih luas, yakni dalam kerangka nasionalisme bangsa dan negara Indonesia yang bersamaan asal-usul sebagai bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bersamaan dalam hal latar belakang sejarah, bahasa nasional, idiologi Pancasila sebagai sistem nilai, serta adat-istiadat dan tradisi.


Untuk memaknai kembali akan arti dari pentingnya pembinaan semangat nasionalisme Indonesia dalam menghadapi tantangan kosmopolitanisme dan etnisitas dewasa ini, tidak pernah terlepas dari bagaimana peranan pendidikan kewarganegaraan dalam mewujudkanya. Sebab secara subtantif PKn adalah satu-satunya mata pelajaran yang diamanahkan untuk membentuk karakter siswa sebagai warga Negara yang baik. Tantangan yang dihadapi guru PKn tentunya tidak mudah mengingat salah satunya adalah pengajaran PKn di Indonesia yang masih pada titik minimal, sebagaimana yang dikemukakan oleh David Kerr (1995) dalam Winataputra dan Budimansyah (2007: 28) bahwa Citizenship Education pada titik minimal ditandai oleh: “Thin, exclusive, elitist, civics education, formal, content led, knowledge-based, didactic transmission, easier to achieve and meansure in ractice. Maksudnya adalah didefinisikan secara sempit, hanya mewadahi aspirasi tertentu, berbentuk pengajaran kewarganegaraan, bersifat formal, terikat oleh isi, berorientasi pada pengetahuan, menitikberatkan pada proses pengajaran, dan hasilnya mudah diukur.


Jika PKn diajarkan hanya sampai pada titik minimal ini maka akan dikhawatirkan juga tidak dapat menyentuh pada pembinaan semagat nasionalisme Indonesia yang diharapkan. Oleh sebab itu sebagai renungan akhir dari kita, mengapa kita tidak mencoba menanta pengajaran PKn sampai pada titik maksimal. Lebih lanjut David Kerr (1995) dalam Winataputra dan Budimansyah (2007: 28) menambahkan bahwa yang bersifat maksimal ditandai oleh: “Thick, inclusive, activist, citizenship education, participative, proses-led, values-based, interactive interpretation, more difficult to achieve and meansure in practice”. Maksudnya adalah didefinisikan secara luas , mewadahi berbagai aspirasi dan melibatkan berbagai unsure masyarakat, kombinasi pendekatan formal dan informal, dilabel “citizenshipeducation”, menitikberatkan pada partisipasi siswa melalui pencarian isi dan proses interaktif di dalam maupun luar kelas, hasilnya lebih sukar dicapai dan diukur karena kompleknya hasil belajar.
PKn tidak hanya tanggung jawab guru PKn, melainkan menjadi tanggung jawab semua komponen yang ada. Dengan perkataan lain, pembelajaran PKn seyogyanya diorganisasikan secara lintas-bidang ilmu, dengan pembelajaran yang partisipatif dan interaktif, isi dan proses dikaitkan dengan kehidupan nyata, diselenggarakan dalam suasana demokratis, diupayakan mewadahi keanekaragaman social budaya masyarakat, dan dikembangkan bersama antara sekolah, orang tua, masyarakat dan pemerintah (Winataputra dan Budimansyah, 2007: 29)

H. Asumsi Penelitian
Berdasarkan landasan teori di atas dirumuskan asumsi penelitian sebagai berikut:
1. Pembinaan semangat nasionalisme merupakan suatu kebutuhan bagi bangsa Indoensia yang beranekaragam, sebab pengaruh arus globalisasi (kosmopolitanisme) dan etnisitas dapat mengancam nasionalisme Indoensia (Komalasari, 2007).
2. Pengaruh pembelajaran Pkn yang begitu kuat terhadap integrasi bangsa (interaksi antar etnis dan rasa nasionalisme). Upaya yang dapat dilakukan adalah menyelenggarakan program pendidikan yang memberikan berbagai kemampuan sebagai seorang warga negara melalui mata pelajaran PKn. Untuk mencegah rasa nasionalisme yang selama ini semakin menurun bahkan pudar dikalangan para pelajar, adanya konflik antar etnis, suku, agama, ras yang berujung pada pertikaian pelajar/mahasiswa diberbagai kampus, rasa tidak menghargai jasa para pahlawan bangsa indonesia dikalangan para pelajaran. (Sundari, 2007)
3. Pada era globalisasi sekarang ini, nasionalisme sangat dibutuhkan oleh negara. Negara membutuhkan rakyat yang memiliki rasa nasionalisme yang tinggi disemua tingkat umur, terutama ditingkat pelajar dan remaja, karena mereka adalah generasi penerus bangsa. (Sundari,2007).
4. Pembinaan semangat nasionalisme Indonesia yang secara sistematis, pargmatis, integrated dan berkesinambungan, yang dapat dilakukan melalui pendidikan kewarganegaraan di tingkat persekolahan penting dilaksanakan(Anggraeni, 2009).
5. Pembelajaran PKn memberikan kontribusi yang cukup besar dalam membentuk rasa nasionalisme siswa di sekolah (Erari, 2009).


I. Paradigma Penelitian
Paradigma penelitian yang penulis kembangkan pada penelitian tentang pembinaan semanagat nasionalisme Indonesia dalam menghadapi tantangan kosmopolitanisme dan etnisitas melalui pembelajaran pendidikan kewarganegaraan (Studi pada SMP N 01 Entikong, Wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia) ini dapat dilihat dalam gambar di bawah ini :

Implikasi
Reduksi data, Analisis data, dan Penyajian data
Tantangan kosmopolitanisme dan etnisitas di masyarakat

Upaya guru PKn

Hambatan
Teori Nasionalisme,Kosmopolitanisme, dan Etnisitas
Temuan Penelitian
Pembinaan semangat nasionalisme Indonesia dalam menghadapi tantangan kosmopolitanisme dan etnisitas


Pendekatan, Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Penelitian
Rekomondasi

Kesimpulan
Pembinaan Semangat
Nasionalisme
Metode pembinaan semagat nasionalisme
Temuan Penelitian


J. Metodologi Penelitian
1. Metode dan Pendekatan
Metode adalah suatu cara, prosedur, prinsip-prinsip dan proses yang digunakan untuk memecahkan masalah dalam penelitian. Pengertian metode merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiyono, 2007:2). Berdasarkan pengertian tersebut, maka pada rencana penelitian tesis yang hendak penulis lakukan ini menggunakan pendekatan kualitatif. Sebagaimana yang dikemukan oleh Creswell (1998), penelitian kualitatif adalah:
Qualitative research is a inquiry process of understanding based on distinct methodological tradition of inquiry that explore a social or human problem. The researcher builds a complex, holistic picture, analyses words, reports detailed views of informants, and conducts the study in a natural setting.

Dari kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah proses penelitian untuk memahami berdasarkan tradisi metodologi penelitian tertentu dengan cara menyelidiki masalah sosial atau manusia. Peneliti membuat gambaran kompleks yang bersifat holistik, menganalisis kata-kata, melaporkan pandangan-pandangan para informan secara rinci, dan melakukan penelitian dalam situasi alamiah.
Lebih lanjut menurut Nasution (1996:18) penelitian kualitatif disebut juga dengan penelitian naturalistik. Disebut kualitatif karena sifat data yang dikumpulkan bercorak kualitatif, bukan kuantitatif, karena tidak menggunakan alat-alat pengukur. Disebut naturalistik karena situasi lapangan penelitian bersifat natural atau wajar, sebagaimana adanya, tanpa dimanipulasi, diatur dengan eksperimen atau tes. Dalam kaitan dengan hal ini Nasution (1996:9) berpendapat bahwa:
Hanya manusia sebagai instrumen dapat memahami makna interaksi antar manusia, membaca gerak muka, menyelami perasaan dan nilai yang terkandung dalam ucapan atau perbuatan responden. Walaupun digunakan alat rekam atau kamera peneliti tetap memegang peran utama sebagai alat penelitian.

Dari kutipan di atas, peneliti sendiri yang bertindak sebagai alat penelitian utama, yang bertindak dilapangan dalam pelaksanaan penelitian. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Moleong (2005:9) bahwa :
Bagi peneliti kualitatif manusia adalah instrumen utama, karena ia menjadi segala dari keseluruhan penelitian. Ia sekaligus merupakan perencana, pelaksana, pengumpul data, analisis, penafsir, dan pada akhirnya ia menjadi pelopor penelitiannya.

Disamping menekankan pada aspek peneliti sebagai alat penelitian utama, rencana penelitian tesis inipun memperhatikan metode yang digunakan agar hasilnya sesuai dengan yang diharapkan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam penelitian ini penulis menggunakan penelitian kualitatif dengan metode studi kasus dimaksudkan untuk mengungkapkan dan memahami kenyataan-kenyataan yang terjadi di lapangan sebagaimana adanya. Menurut S. Nasution (1996:55): Studi kasus atau case study adalah untuk penelitian yang mendalam tentang suatu aspek lingkungan sosial termasuk manusia di dalamnya. Case study dapat dilakukan terhadap seorang individu, kelompok atau suatu golongan manusia, lingkungan hidup manusia atau lembaga sosial.


2. Instrumen Penelitian
Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas bahwa dalam penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif pada umumnya menggunakan peneliti sendiri sebagai instrument atau manusia sebagai instrument utama. Dalam hal Sugiyono (2008) mengemukakan, terdapat dua hal utama yang mempengaruhi kaulitas dari hasil penelitian, yakni kualitas instrument penelitian dan kualitas pengumpul data. Kualitas instrument penelitian berkenaan dengan validitas dan reliabilitas instrumen dan kualitas pengumpul data berkaitan dengan ketepatan cara-cara yang digunakan untuk mengumpulkan data. Dalam penelitian kualitatif, yang menjadi instrumen atau alat penelitian adalah peneliti itu sendiri. Dalam hal ini, peneliti adalah instrumen utama (key instrument) dalam pengumpulan data. Jadi peneliti adalah merupakan instrumen kunci dalam penelitian kualitatif.

3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik sebagai alat bersifat paling kongkret dibanding metode, sebagai instrumen penelitian teknik dapat dideteksi secara indrawi. Menurut Vredenberght teknik berhubungan dengan data primer (Ratna, 2007a: 37). Pengumpulan data dan informasi dalam penelitian ini dilakukan dengan berbagai cara dan teknik yang berasal dari berbagai sumber baik manusia maupun bukan manusia. Sugiyono (2008: 62-63) mengemukakan bahwa bila dilihat dari segi cara atau teknik pengumpul data dapat dilakukan dengan observasi (pengamatan), interview (wawancara), kuesioner (angket), dokumentasi dan gabungan keempatnya. Teknik pengumpulan data dan informasi yang digunakan oleh peneliti adalah teknik pengumpulan data kualitatif, yang meliputi studi wawancara mendalam, studi dokumentasi, studi literatur dan observasi.


Menurut Dexter, 1970 (Lincoln dan Guba, 1985:265), wawancara adalah suatu percakapan yang bertujuan. Tujuannya ialah mendapatkan informasi tentang perorangan, kejadian, kegiatan, perasaan, motivasi, kepedulian, disamping itu dapat mengalami dunia pikiran dan perasaan resonden, merekonstruksi pengalaman-pengalaman masa lalu dan masa depan yang akan datang. Wawancara mendalam ialah cara untuk menggali informasi, pemikiran, gagasan, sikap dan pengalaman narasumber. Wawancara tatap muka dilakukan secara langsung antara peneliti dan narasumber secara dialogis, tanya jawab, diskusi dan melalui cara lain yang dapat memungkinkan diperolehnya informasi yang diperlukan. Wawancara ini bertujuan untuk mengali data dan informasi dari subyek penelitian yang berkaitan dengan item-item pertanyaan penelitian.


Studi dokumentasi, ialah cara untuk menggali, mengkaji, dan mempelajari sumber-sumber tertulis baik dalam bentuk Laporan Penelitian, Dokumen Kurikulum, Makalah, Jurnal, Klipping Media Massa, dan Dokumen Negara (Pemerintah). Pemilihan metode ini dilandasi oleh pemikiran bahwa dalam sumber-sumber tertulis tersebut dapat diperoleh ungkapan gagasan, persepsi, pemikiran, serta sikap para pakar dan praktisi pendidikan kewarganegaraan.
Studi literatur, dimaksud untuk mengungkapkan berbagai teori-teori yang relevan dengan permasalahan yang sedang dihadapi/diteliti sebagai bahan pembahasan atas hasil penelitian. Teknik ini dilakukan dengan cara membaca, mempelajari dan mengkaji literatur-literatur yang berhubungan dengan semangat nasionalisme, kosmopolitanisme, etnisitas dan pendidikan kewarganegaraan. Faisal (1992:30) mengemukakan bahwa hasil studi literatur bisa dijadikan masukan dan landasan dalam menjelaskan dan merinci masalah-masalah yang akan diteliti; termasuk juga memberi latar belakang mengapa masalah tersebut penting diteliti.
Sejak awal studi pendahuluan telah dilakukan observasi terutama dalam hal melihat kondisi objektif lokasi yang menjadi objek penelitian. Observasi partisipatif, Observasi partisipasi dilakukan untuk memperoleh informasi yang seutuh mungkin dengan memperhatikan tingkat peluang kapan dan di mana serta kepada siapa peneliti sebagai instrumen dapat menggali, mengkaji, memilih, mengorganisasikan, dan mendeskripsikan informasi selengkap mungkin. Menurut Arikunto (2002:133) observasi merupakan suatu pengamatan yang meliputi kegiatan pemusatan perhatian terhadap suatu objek dengan menggunakan seluruh alat indra. Untuk mendukung ketersediaan data dan analisis data, peneliti memanfaatkan sumber-sumber lain berupa dokumen negara, catatan dan dokumen (non human resources). Menurut Lincoln dan Guba (1985: 276-277) catatan dan dokumen ini dapat dimanfaatkan sebagai saksi dari kejadian-kejadian tertentu atau sebagai bentuk pertanggungjawaban. Dalam studi dokumentasi ini, peneliti akan memanfaatkan sumber kepustakaan berupa hasil penelitian, dan pembahasan konseptual dengan menggunakan teknik analisis yang dikaitkan dengan pembelajaran kewarganegaraan.

4. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan yakni reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi (Miles dan Huberman dalam Sugiyono, 2008:183). Analisis data kualitatif merupakan upaya yang berlanjut, berulang dan terus menerus. Masalah kegiatan reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan merupakan rangkaian kegiatan analisis yang saling susul menyusul.


Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan berikut:
Pengumpulan data
Reduksi data
Kesimpulan: Penarikan/verifikasi
Penyajian data


Bagan 1.1 Komponen-komponen Analisis Data
(Miles dan Huberman dalam Sugiyono, 2008:183)

Dari bagan di atas dapat dijelaskan bahwa terdapat tiga jenis kegiatan utama dan analisis data merupakan proses siklus yang interaktif. Peneliti harus siap bergerak diantara empat ”sumbu” kumparan itu selama pengumpulan data, selanjutnya bergerak bolak-balik di antara kegiatan reduksi, penyajian, dan penarikan kesimpulan/verifikasi.

5. Lokasi dan Subjek Penelitian
Mengacu pada apa yang dikemukan oleh Nasution (1992:43) bahwa lokasi penelitian menggambarkan pada kondisi sosial yang ditandai oleh adanya tiga unsur, yakni tempat, pelaku dan kegiatan. Dalam hal ini lokasi penelitian adalah SMP N 01 Entikong, wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia, yang merupakan sekolah yang letaknya berbatasan langsung dengan wilayah negara Malaysia. Adapun alasan mengapa peneliti memilih lokasi tersebut adalah atas dasar pertimbangan bahwa lokasi tersebut cukup strategis letaknya yang tidak terlalu jauh dari tempat tinggal peneliti dan merupakan daerah yang berbatasan langsung dengan Negara Malaysia, serta data-data yang mudah di dapat. Sehingga memungkinkan peneliti untuk mengadakan penelitian mendalam mengenai permasalahan yang dimaksudkan di atas.
Subjek penelitian yang dijadikan sumber data meliputi para siswa, Guru PKn, Kepala Sekolah dan masyarakat. Tetapi tidak meunutup kemungkinan akan didapatkannya data-data dari sumber selain yang telah ditetapkan di atas, selama data tersebut dapat menunjang keberhasilan penyelidikan dalam penelitian ini.


K. Sistematika Penulisan
Rencana penulisan tesis ini akan dilakukan dalam lima bab, yang lebih jelasnya dapat dilihat pada paparan berikut:
1. Bab 1 berisi latar belakang penelitian, identifikasi masalah dan pertanyaan penelitian, definisi operasional, tujuan penelitian, signifikasi dan manfaat penelitian, kerangka konseptual, serta metodologi penelitian.
2. Bab 2 akan menguraikan tinjauan teoritis tentang: Nasionalisme dan konsep yang mendasarinya; Semangat nasionalisme Indonesia; Nasionalisme dan kosmopolitan; Nasionalisme dan Etnisitas.
3. Bab 3 akan diuraikan metodologi penelitian, yang terdiri atas pendekatan dan metode penelitian, teknik pengumpulan data,teknik analisis data, dan latar belakang subjek penelitian.
4. Bab 4 akan menguraikan temuan dan hasil penelitian, dan
5. Bab 5 akan menguraikan tentang rumusan kesimpulan dan rekomondasi penelitian.


L. Agenda Kegiatan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan semenjak bulan November 2009 sampai dengan selesai. Rencana agenda kegiatan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:

No
Keterangan
Waktu
Nov
Des
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
1 Penyusunan Proposal Penelitian

2 Seminar Proposal Penelitian

3 Pelaksanaan Penelitian


4 Penyusunan Hasil Penelitian dan Pembahasan

5 Ujian Sidang Tesis Tahap 1

6 Ujian Tesis Tahap 2



DAFTAR PUSTAKA


Abdullah, Taufik (2001) Nasionalisme & Sejarah, Bandung: Satya Historika.

Anthony D Smith (1983). Theories of Nationalism. New York: Harves and Meir Publisher.
Anderson, Benedict. (1983). Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. London: The Thetford Press Ltd.

_____. (2002). Imagined Communities (Komunitas-komunitas Terbayang). Yogyakarta: Kerjasama Insist dan Pustaka Pelajar.

Branson, M.S. (1998). The Role of Civic Education. Calabasas: CCE.

Creswell, J.W. (1994) Research Design Qualitative & Quantitative Approach. London: Publications.

Clark, John D. (2003). Globalizing civic engagement : civil society and transnational action. First published in the UK and USA: Earthscan Publications Ltd

Cogan, J.J. and Ray Derricott (eds). (1998). Citizenship for The 21st Century: An International Perspective on Education. London: Kogan Page.

Eriksen, T.H (1993). Ethnicity dan Nationalism: Anthropological Perspectives. United State America: Pluto Press.

Faisal, S. (1992). Format-format Penelitian Sosial (Dasar-dasar dan Aplikasi). Jakarta: Rajawali Pers.

Hobsbaum E.J. (1990) Nasionalisme Menjelang Abad XXI, Penerjemah: Hajartian Silawati, Yogyakarta: Tiara Wacana.

Kalidjernih, Freddy K (2009). Puspa Ragam Konsep dan Isu Kewarganegaraan. Bandung: Widya Aksara Press.

Kohn, Hans (1984). Nasionalisme Arti dan Sejarahnya. Terjemahan Sumantri Mertodipuro. Jakarta: Erlangga.

Kansil (1986). Aku Pemuda Indonesia Pendidik Politik Generasi Muda. Jakarta: Balai Pustaka.
Lincoln, Yvonna S. dan Guba, Egon G. (1985). Naturalistic Inquiry. Baverly Hills: Sage Publications.

Liliweri, A (2005). Prasangka dan Konflik: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur. Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara

Moleong, Lexy J. (2005). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Muhamad, H (2000). Pergulatan Pesantren dan Demokratisasi, LKIS: Jakarta

Montgomery Watt (tt). Politik Islam Dalam Lintas Sejarah. Jakarta: P3M
Michael A, Riff (1995). Kamus Ideologi Politik Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nasution, S. (1996). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito.

_____. (2007). Metode Research (Penelitian Ilmiah). Jakarta: Bumi Aksara.

Ohmae, Kenichi. (1993). Dunia Tanpa Batas. Alih Bahasa Budiyanto. Jakarta: Binarupa Aksara.

_____. (2002). Hancurnya Negara-Bangsa : Bangkitnya Negara Kawasan dan Geliat Ekonomi Regional di Dunia tak Berbatas. Penerjemah Ruslani. Yogyakarta: Qalam.

Renan, Ernest. (1990). “What Is A Nation ?” dalam Nation and Narration. Diedit oleh Homi Bhabha, London: Routledge.

Said, M & Affan, J (1987). Mendidik dari Zaman ke Zaman. Jemmars: Bandung.

Sapriya, dkk. (2008). Konsep Dasar Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung: Laboratorium PKn UPI.

Said M dan Junimar (1987). Mendidik Dari Zaman ke Zaman, Bandung: Jemmars.
Sugiyono (2008). Memahami Penelitian Kualitatif. Alfabeta: Bandung.

Siswono Yudhohusodo. (1996). Semangat Baru Indonesia. Jakarta: YPB
Sarjono, Puspawardjo (1995). Pendidikan Wawasan Kebangsaan. Jakarta: Gramedia.
Saefudin Anshari, E (1998). Wawasan Islam. Bandung: Mizan.
Sunarto S.S, A (1998). Masyarakat Indonesia Memasuki Abad Ke Dua Puluh Satu. Jakarta: Dirjendikti Depdikbud.

Tilaar, H.A.R. (2004). Multikulturalisme: Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo.

_____. (2007). Mengindonesia Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia. Jakarta:Rineka Cipta.

_____. (2002). Membenahi Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta

Triardianto, Tweki. dan Suwardiman (2002) “Potret Konflik di Indonesia” dalam Indonesia dalam Krisis 1997-2002, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

WJS. Poerwadarminta (1976). Kamus Umum Bahsa Indonesia. Jakarta: Pustaka Setia.
Winataputra & Budimansyah. (2007). Civic Education: Kontek, Landasan, Bahan Ajar dan Kultur Kelas. Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan, SPs, UPI Bandung.


Disertasi dan Tesis

Anggraeni, L. (2009). Kajian Tentang PKn Berbasis Multikultural Dalam Menumbuhkan Nasionalisme: Studi Kasus Di SMA Santo Aloysius Bandung. Tesis Magister pada Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung

Erari, Flora S (2009). Pembelajaran PKn Dalam Pembentukan Nasionalisme Siswa: Study Deskriftif Kualitatif Pada Siswa SMA N 1 Serui Kabupaten Yapen Waropen Provinsi Papua. Tesis Magister pada Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung

Fajar, Arnie. (2003). Pengemabangan sikap nasionalisme dalam pembelajaran ppkn melalui pendekatan sains-teknologi-masyarakat (S-T-M) pada pokok bahasan ”kesetiaan”, Bandung: Tesis syarat memperoleh gelar megister pada program
pascasarjana UPI.

Gaspersz, E (2009). Esensi Wawasan Kebangsaan Masyarakat Indonesia di Daerah Perbatasan Propinsi Papua: Study Kasus di Kampung Mosso Kota Jayapura. Bandung: Pascasarjana UPI

Hermiati, E. (2008). Peranan Pembelajaran PKn Dalam Meningkatkan Disiplin Siswa di Sekolah: Studi Kasus Terhadap Peningkatan Kedisiplinan Siswa di SMP 13 Bandung. Pascasarjana UPI.

Ismadi, Fajar. (2007). Model Pembelajaran Pendidikan Berbasis Pendekatan Multikultural dalam Pembentukan Karakter Bangsa (Penelitian Tindakan Kelas di SMP Negeri 2 Lelea Indramayu). Tesis Magister pada Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: tidak diterbitkan.

Sundari (2008). Hubungan antara faktor guru, lingkungan, dan siswa dengan sikap nasionalisme di kalangan pelajar SMA: Suatu Studi Tentang peranan pembelajaran pkn untuk menumbuhkan sikap nasionalisme. Bandung:Disertasi syarat memperoleh gelar doktor sekolah pascasarjana UPI.

Suprayogi (1997) Wawasan Kebangsaan Generasi Muda: Studi Deskriftif Analitik Kasus Pendidikan Wawasan Kebangsaan Generasi Muda pada Lingkungan Masyarakat di Kodya Semarang. Tesis Magister pada Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung



Jurnal dan Makalah

Aziz A, Wahab. (2001). “Implementasi dan Arah Perkembangan PKn (Civic Education) di Indonesia”. ACTA CIVICUS, Tahun 2001 Edisi 1. Jurnal Ilmu Politik, Hukum dan Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia

Azra, A. (2004). “Identitas dan Krisis Budaya: Membangun Multikulturalisme Indonesia”.

Darmawan, C (2008). “Demokrasi dan Globalisasi: Memperkuat Peran PKN Sebagai Wahana Pendidikan Demokrasi”. Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial dan Humaniora ALUMNI, Tahun 2008, Vol. 1 No. 3. Universitas Pendidikan Indonesia.

_____(2008). “Me-Refleksi Ke-Indonesiaan: Refleksi 100 Tahun Kebangkitan Nasional”.

Kalidjernih, Freddy K. (2009). “Globalisasi dan Kewarganegaraan”. ACTA CIVICUS, Tahun 2009, Vol 2, No. 2, Jurnal Jurusan PKN-FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia.

_____(2009). Kosmopolitanisme: Implikasi Terhadap Kewarganegaraan (Makalah). Prodi PKn SPs Uviversitas Pendidikan Indonesia.

Komalasari, K (2007). “Nasionalisme Di Era Otonomi Daerah”. ACTA CIVICUS, Tahun 2007, Vol 1, No. 8, Jurnal Jurusan PKN-FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia.

Purwanto, Iwan (2007). “Paradigma Ekonomi Global”. Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, Tahun 2007, Edisi XV. No. 29. Bandung: Forum Komunikasi FPIPS/FIIS-JPIPS Universitas/STKIP se-Indonesia.

Setiawan, Deny. (2009). “Paradigma Pendidikan Kewarganegaraan Bervisi Global dengan Paradigma Humanistik”. ACTA CIVICUS, Tahun 2009, Vol 2, No. 2, Jurnal Jurusan PKN-FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia.


Supardan, D. (2008). “Peluang Pendidikan dan Hubungan Antaretnik: Perspektif Pendidikan Kritis Poskolonialis”. Jurnal ACTA CIVICUS, Tahun 2008, Vol 2, No. 1, Jurusan PKn Universitas Pendidikan Indonesia.

Suparlan, P. (2001). “Kesetaraan Warga dan Hak Budaya Komuniti dalam Masyarakat Majemuk Indonesia”. Jurnal Antropologi Indonesia 66, 2001.


Internet:

Abubakar, Mustafa. Nasionalisme [Online]. Tersedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Nasionalisme. 2008. [ 2 Oktober 2009]

Aris. Konflik Tragedi Mangkok Merah.. [Online). Tersedia: : http://aristonokov.blogspot.com/2009/02/tragedi-mangkok-merah-67-konflik-di.html. [25 September 2009]
Prasetijo. Mencermati Kasus Konflik Etnis di Kalimantan Barat Tantangan Untuk Mempertahankan Perdamaian Berkesinambungan. [Online]. Tersedia :http://prasetijo.wordpress.com/2007/12/09/mencermati-kasus-konflik-etnis-di-kalimantan-barat-tantangan-untuk-mempertahankan-perdamaian-berkesinambungan. [20 September 2009].

Kumoro, Bawono. Nasionalisme Indonesia Setelah 61 Tahun Merdeka. [Online]. Tersedia:http://www.kompas.co.id/kompas%20cetak/0608/16/opini/2886194.htm. Nasionalisme Indonesia Setelah 61 Tahun Merdeka.[4 Agustus 2009].

Mendatu, Achmad. Etnik dan Etnisitas. [Online]. Tersedia : http://smartpsikologi.blogspot.com/2007/08/etnik-dan-etnisitas.html. [22 Agustus 2009].

Poetranto,Tri.Nasionalisme.[Online].Tersedia:http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?vnomor=14&mnorutisi=6. Nasionalisme. [1 November 2009].

Qomariyah,L. Nasionalisme dan Globalisasi. [Online]. Tersedia: http ://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=7559&Itemid=62. Nasionalisme dan Globalisasi. [22 Oktober 2009].



Peraturan Perundang-undangan

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Sinar Grafika.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Sinar Grafika

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Sinar Grafika.


N/B: Diharapkan masukan khususnya dari rekan-rekan yang berkompeten pada bidang yang akan saya teliti. Atas bantuanya terima kasih...GBU All!!!