Selasa, 05 Mei 2009

Cerpen dalam galau jiwa


DI PERSIMPANGAN TERAKHIR

Kembali aku terhenyak dari lamunan panjang, entah pantas disebut apa setelah beberapa hari aku terbuai dalam dekapan virus yang mengantarkanku ke tempat ini. Aku tak tahu berapa kali sudah sang mentari mendapat kesempatan menyinari bumi begilir dengan sang rembulan yang pasti aku merasakan kebosanan yang tak bertepi.
Aku meronta-ronta ingin bangkit menerjang onggokan tanah merah yang menghimpit dan menyesakkan dada ku, diiringi desahan panjang sebagai isyarat kekecewaan yang mendalam. Malam yang dingin seakan-akan sengaja diciptakan untuk membekukan darahku, hanya balutan rapi selimut putih bersih yang kini menemani ku menuju alam keabadian, kesunyian malam kian mencekam dalam kesendirian.
Dari cela selimut putih yang membalut tubuh ku, aku mencium wangi kesayanganku, ya “sekuntum mawar”. Mawar ini satu-satunya yang bersedia menjadi parfum di atas pusaran ku. Bila teringat akan mawar itu rasanya ingin ku tepis ulat-ulat yang sok setia memungut serpihan demi serpihan dagingku. Kesedihan kembali menyita imajinasiku. Sekilas tentang mawar itu, aku teramat sangat menyayangimu. Mulanya dulu kami bersua di persimpangan, saat ku tangkap secercah duka di matanya, aku kembali untuk membagi sekelumit kasih yang tak dia dapat dari yang lain. Kadang keegoan dan kemanjaanya membuat aku tak berdaya berlutut di hadapannya. Harapanku sepeninggalanku setidaknya mengurangi bebannya. Ia tidak perlu lagi menjagaku di pembaringan, tersiksa batin karena deritaku yang berkepanjangan. Tapi siapa yang akan menyentuhnya dengan sentuhan lembut setiap pagi? Siapa yang akan memandangnya dengan tatapan sinis saat dia tak mau berkata jujur, dan siapa yang akan memaksanya tuk tersenyum dikala air matanya terurai?
Aku memang tahu kalau dia tak menyayangiku, tetapi dia juga tak bias mengungkapkannya dengan kata. Aku mengetahuinya dari tatapan matanya yang sendu itu. Tapi dia pun tak kuasa ketika suatu masa ku harapkan untuk meninggalkanku. Akh sudahlah…! sekarang yang terpenting adalah bagaimana aku bisa mendobrak liang lahat ini, gumamku, lelah dengan tatapan sinis dari tulang-tulang yang sedikit demi sedikit mulai enggan tuk menyatu.
Beberapa detik kemudian, cacing-cacing berteriak kegirangan, mengejek, dasar tak punya hati nurani! Gerutuku. Ternyata harum mawar kesayanganku tak mampu menyumbat indra penciuman si cacing jahanam. Dia tahu manfaatkan aku yang telah mati. Sesekali terdengar lantunan merdu lagu dari Jangkrik-jangkrik mengumandangkan tembang kenangan malam demi malam yang telah dilewatinya dalam kegelapan dan kesendirian itu, sepi memang. Tempat pemakaman umum (TPU), tempat yang baru ini, sebenarnya cukup banyak penghuni, lebih dari 100 nisan berdiri megah disana. Tapi mereka semua angkuh, tak mau bersilahturahmi. Padahal kain kafan pembalut tubuhku masih suci dan perawan dari sentuhan penjaga pintu surga apalagi malaikat penjaga neraka. Hanya saja ada bercak noda titipan si penghisap selama aku belum menjadi beku dan kaku. Tapi sudahlah aku harus bisa pasrah dan menerima takdirku, maafkan aku mawarku tersayang, dunia kita kini telah berbeda. Rasa sayang pada dunia membuatku ingin kembali kedunia, tapi rasa kekecewaan yang mendalam akan perlakuan dunia membawaku pada suatu keputusan untuk bertapa selamanya di pusara terakhir. Berkali-kali aku terhempas, muak terhadap perlakuan dunia, sahabat, teman, kekasih atau apapun sebutan dunia aku tidak percaya. Karena mereka semua hanya bertopeng ketika bersua dengan ku, bahkan sampai kepusara terakhir inipun mereka masih tak mengerti betapa sakitnya dikhianati!. Kepada mawarku, tetaplah tebarkan harummu, dan tetap jaga dirimu jangan sampai melukai seperti yang mereka lakukan...



Di antara harap dan luka…kubiarkan menetes…