Selasa, 05 Mei 2009

cerpen: kembara from west borneo


SATU KATA KU EJA KE KOTA KEMBANG


Ya beranda tua itu, masih jelas melekat kental dalam ingatan. Sudah sekian lama ku tinggalkan. Tentang sebuah kota kecil di pinggiran barat pulau Kalimantan. Tidak banyak yang tahu tentang keberadaannya, ini bukan keanehan karena memang kota itu tiada di sebut dalam sejarah Indonesia. Kami pun tidak tahu dengan pasti mengapa demikian, mungkinkah karena pada zaman dulu tidak ada ilmuan asli setempat yang menceritakan sejarahnya secara ilmiah. Sungguh ironis, padahal menurut cerita nenek moyang kami banyak sekali peristiwa yang terjadi di kota ini yang pantas disebut sebagai fakta sejarah. Tidak ada yang terlalu istimewa di sana sebelum orang-orang menjejakkan kakinya di sana. Menurut kepercayaan kaum pribumi di sana dikenal mitos “ siapapun yang pernah datang dan meminum air sungai (sungai kapuas) pasti akan kembali “. Meski tidak ada penjelasan secara ilmiah, mitos ini sering terbukti secara fakta. Inilah yang membuatnya selalu berada dalam hati orang-orang yang pernah datang ke sana. Termasuk orang pribumi yang mencoba hidup diperantauan pun suatu saat pasti akan kembali.
Kota kecil itu kini ku tinggalkan sementara, anak manusia terasing dari keindahannya. Bukan karena terbuang ataupun membuang-buang waktu, tapi ini demi cita agar terhapus jejak ”buta” di negerinya. Dan kini mulai dengan perjuangan demi cinta kami. Akh... aku menerawang jauh, ku ingat semua kenangan, suka duka yang di jalani tiada satu pun yang membuat aku terkesan bosan akan semuanya. Sebelum lebih jauh menguntai kata tentangnya, sekilas tentang kami, tiada satu pun benak kami yang dapat membayangkan bagaimana caranya keanekaragaman ini dapat membaur dalam suatu masa. Tanpa ada kejelasan. Tapi yang pasti ini adalah awal dari babak penjelajahan yang baru dalam hidup ku. ”sukses, ya!” ”selamat!”
Pelan-pelan seraya pesawat mulai tinggal landas dari bandara Supadio. Beberapa saat kemudian sudah tinggal warna awan yang mulai menghiasi angkasa sore yang nampak dari jendela seperti harapan ku yang mulai tak menentu. Nanti malam aku sudah tiba di kota kembang, kota yang menjadi impian banyak orang, mudah-mudahan aku juga bisa menjadikannya impian yang menghapus segala jejak luka.
Akh… andai saja semuanya dapat terwujud, impian dan harapan yang kini tertepiskan. Tiba-tiba ingatan ku enggan beranjak dari kemelut itu, Sungguh suatu hal yang sangat sulit sekali bila diingat. Seperti ingin mengubur seluruh perjalanan hidup di kota ini. Mata ku menerawang jauh, seakan hilang dalam kenangan mengapa Dia secepat itu berubah. Bukankah hidup bersama adalah tujuan dari perjumpaan kita. Satu kata yang masih terlalu jelas untuk ku lupakan “yang jelas kamu harus memilih aku, dia, atau diri mu sendiri”. Kalau kamu pergi berarti kamu lebih memilih mengabdi pada dirimu sendiri dari semuanya, kamu terlalu egois! Mungkin ada benar dan juga banyak salahnya. Tapi sudahlah…aku tidak ingin menyesali, kesimpulan ku Dia lah yang terlalu egois untuk menerima kenyataan. Walau aku dianggap berhianat, wanita tidak mungkin lagi hidup dalam belenggu budaya. Demi kemajuan setapak demi setapak ku jejaki jalan berliku. Pendidikan adalah pilihan yang tidak kalah pentingnya dari sebuah pilihan.
Malam kian larut, namun kenangan seakan menyibak tirai hati jauh direlung jiwa yang terlanjur tercampakan. Aku masih mengeja juga kata itu. Aku sendiri heran mengapa aku terlalu rapuh untuk meninggalkan kenangan tentang Andi. Padahal bukankah Andi hanyalah pecundang sejati yang tak mampu berjuang demi cinta dan janjinya pada ku.
Dalam lamunan yang panjang yang sudah terbiasa ku ciptakan setiap waktu luang, tiba-tiba ada sentuhan halus dipunggungku.
”Fit, sedang ngalumin aku ya?”
”i..i..iya!” jawab ku gugup.
”ke PVJ yuk kawan-kawan pada kesana, kamu lupa ya?”
”gak kok aku ingat, kan hari ini promosi pertama album kamu kan Hen?”
”ya syukurlah... yuk.
Keramaian Paris Van Java (PVJ) tak juga berani menggusik rasa sepi ku, akh Hendra... andai saja kamu bisa menghapus jejak luka yang ada di hatiku, mungkin aku akan menjadi seperti apa yang ada di hatimu. Rasa iba ku pada ketulusan dan kepolosan Hendra seringkali membuatku tak mampu membendung kesedihan. Sekarang tubuh ku memang ada disamping mu, tapi tidak hati ku, aku merasa bersalah pada Hendra. Mengapa Hendra percaya dan yakin bahwa aku ditakdirkan untuknya.
”gimana Fit, menurut kamu apa penampilan ku malam ini ok?” tiba-tiba Hendra mematahkan kesunyiaan itu.
”menurut aku penampilan kamu luar biasa malam ini, ya semoga semua pengunjung merasa puas” jawabku penuh rasa kagum.
”iya, thanks ya sayang... karena kamu adalah sumber inspirasi bagiku”
Hendra andai kau tahu apa sebenarnya yang ada pada diri seorang Fitri yang kau kagumi ini, apakah kau akan mampu mengatakanya sekali lagi itu, aku terdiam lagi sejenak. Aku sendiri tak tahu mengapa hatiku seperti terbuat dari batu bila bicara tentang cinta yang lain. Bandung kota yang sangat menjanjikan keindahan, keramahan dan kesejukan ternyata tak mampu menyentuh hatiku yang terlanjur membeku.
Suatu hari dalam kebersamaan kami, tiba-tiba Hendra menyodorkan sebuah kotak kado yang ternyata berisi kado spesial sebentuk cincin permata. Sungguh saat itu hatiku benar-benar terenyuh, seketika menjadi hancur berkeping-keping. Aku sungguh tak ingin lebih lama lagi mengantungkan harapan Hendra. Aku tak kuasa menahan beban ini lagi, Hendra terlalu baik untuk kusakiti. Entah hatinya yang terbuat dari emas atau memang seluruh hidupnya yang terbalut dengan kebaikan, yang pasti aku terlalu kejam melakukan semua ini padanya. Dalam isak tangis yang tak tertahankan, butiran-butiran air itu keluar dengan sendirinya, aku tidak ingin lebih lama lagi melakoni drama ini. Aku harus katakan yang sebenarnya pada Hendra apa yang sebenarnya ku jalani selama ini hanyalah kepura-puraan, aku tidak pernah mencintaainya.
”Hendra, maafkan aku... maafkan aku”
”Mengapa sayang, apa ada yang salah?”
”tidak Hen...tidak ada yang salah dengan kamu, yang salah adalah aku!”
”Coba tenang dulu, cerita apa yang sebenarnya?”
”Aku tidak layak menerima ini, aku... aku tidak bisa”
”Aku sudah lama tahu sayang, tapi aku akan mencoba memperjuangkan cintaku, bahkan sampai batas akhir usia sekalipun. Walau tempatku bukan di hatimu, aku cukup merasa bahagia bila bisa bersama mu, itu sudah lebih dari cukup dari apa yang ku harapkan, oke? Kamu mengerti?”
”iya” ku anggukan kepala, walau berat sekali. Oh Tuhan... mengapa aku harus lakukan ini pada Hendra? Mengapa ini tidak ku lakukan pada Andi? Seribu pertanyaan pun yang terlontar tak akan ada jawaban. Sungguh aku pun tak pernah pahami mengapa aku bisa lakukan itu.
”Nak, sekarang usia mu sudah ¼ abad, apa tidak sebaiknya kamu pikirkan menikah?
”Iya bu, saya mengerti maksud ibu, tapi saya belum siap nanti setelah kuliah beres saya akan pikirkan”
”Lho, kok akan pikirkan lagi nak, bukankah Hendra itu sudah cukup mapan, dan usia mu juga sudah lumayan, ingat karir bisa menjebak mu”
Jantungku serasa berhenti berdetak mendengar ucapan ibu, aku tahu ibu ingin sekali aku perkenalkan seseorang seperti yang ku lakukan dulu, akh andai ibu tahu hatiku... Hendra bukan siapa-siapa, dia tidak lebih dari seorang teman setia. Cinta? Aku tidak percaya lagi! Aku hempaskan badan ku ditempat tidur keringat mengalir perlahan dari kening yang lelah oleh bathin dan pikiran yang kian menyesak.
”Andi, mengapa aku harus kau campakkan juga? Mengapa aku akhirnya kau sia-siakan? Padahal kau tahu aku lelah jalani hidup ini tanpamu” ucap ku dalam hati. Satu kata yang ku eja ke kota Kembang ternyata tak berhasil ku rangkai dengan sempurna menjdai satu kalimatpun, apa lagi menjadi satu episode dalam hidupku... hingga akhirnya cerita itu tak akan pernah rampung.