Rabu, 20 Mei 2009

Perkembangan PKn (civic education): STKIP-PK Sintang

solagracia-mardhawani-civic
PERKEMBANGAN CIVIC EDUCATION ATAU PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DI INDONESIA
Menganalisis perkembangan civic education di Indonesia dengan cermat, ternyata baik istilah yang dipakai, isi yang dipilih dan diorganisasikan, dan strategi pembelajaran yang diguakan untuk mata pelajaran Civics atau PKn atau PMP atau PPKn yang berkembang secara fluktuatif hampir empat dasawarsa (1962-1998) itu menunjukan indikator telah terjadinya ketidakajekan dalam kerangka berfikur, yang sekaligus mencerminkan telah terjadinya krisis konseptual, yang berdampak pada terjadinya krisis oprasional kurikuler. (Hal ini juga pernah dialami Amerika Selatan). Namun negara itu sekarang sudah mampu menanggulangi masalah krisis konseptal tersebut). Disamping itu penyelenggaraan PKn di Indonesia masih terbatas, dilakukan di sekolah sebagai program kurikuler, sedang di masyarakat dan keluarga belum terdapat program ber-PKn, jika pun ada hanya dilakukan secara sporadis. Coba jelaskan strategi apa yang anda tawarkan agar PKn dapat diselenggarakan secara komprehensive sehingga dapat berdampak baik pada pembentukan warganegara Indonesia yang cerdas dan baik (smart and good citizen). Jelaskan pula latar pemikiran apa yang mendasari strategi yang anda tawarkan tersebut.
Menurut Nu’man Somantri (1972), istilah Civics dan Civics Education telah muncul masing-masing dengan nama: (a) Kewarganegaraan (1957); (b) Civics (1962); dan (c) Pendidikan Kewargaan Negara (1968). Sebagai mata pelajaran di tingkat persekolahan pada saat itu, Kewarganegaraan (1957) membahas tentang cara memperoleh dan kehilangan kewargaan negara, sedangkan Civics (1962) lebih banyak membahas tentang sejarah kebangkitan nasional, UUD, pidato-pidato politik kenegaraan, terutama diarahkan untuk “nation and character building” – bangsa Indonesia. Pada masa pemerintahan Orde Baru, mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan (1968) telah membuang dan menghilangkan bahan-bahan pelajaran yang bersifat indoktrinasi serta melakukan perubahan materi dan metode penyampaian. Pada tahun 1975, nama pendidikan kewarga-negaraan berubah menjadi Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Mata pelajaran ini diberikan mulai dari Sekolah Dasar (SD), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) sedangkan di tingkat Perguruan Tinggi diberikan mata kuliah Pendidikan Pancasila. Pada tahun 1994, nama mata pelajaran ini berubah lagi menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Perubahan ini didasarkan atas bunyi UUSPN No.2/1989 pasal 39 ayat (2) yang menyatakan bahwa “Isi kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan wajib memuat: (a) pendidikan Pancasila; (b) pendidikan Agama; dan (c) pendidikan kewarganegaraan. Setelah bergulir reformasi terjadi revitalisasi terhadap mata pelajaran PPKN yang didasarkan pada UU No 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS PPKn diubah menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn).
Menurut Udin S. Winataputra. Sebagai mata pelajaran di sekolah, pendidikan kewarganegaraan telah mengalami perkembangan yang fluktuatif, baik dalam kemasan maupun substansinya. Pengalaman tersebut di atas menunjukkan bahwa sampai dengan tahun 1975, di Indonesia kelihatannya terdapat kerancuan dan ketidakajekan dalam konseptualisasi civics, pendidikan kewargaan negara, dan pendidikan IPS. Hal itu tampak dalam penggunaan ketiga istilah itu secara bertukar-pakai. Selanjutnya, dalam Kurikulum tahun 1975 untuk semua jenjang persekolahan yang diberlakukan secara bertahap mulai tahun 1976 dan kemudian disempurnakan pada tahun 1984, seba­gai pengganti mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara mulai diperkenalkan mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasi­la (PMP) yang berisikan materi dan pengalaman belajar mengenai Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) atau "Eka Prasetia Pancakarsa". Perubahan itu dilakukan untuk mewadahi missi pendidikan yang diamanatkan oleh Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengama­lan Pancasila atau P4 (Depdikbud:1975a, 1975b, 1975c). Mata pelajaran PMP ini bersifat wajib mulai dari kelas I SD s/d kelas III SMA/Sekolah Kejuruan dan keberadaannya terus dipertahankan dalam Kurikulum tahun 1984, yang pada dasarnya merupakan penyempurnaan Kurikulum tahun 1975. Di dalam Undang-Undang No 2/1989 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN), yang antara lain Pasal 39, menggariskan adanya Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai bahan kajian wajib kurikulum semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan.
Sebagai implikasinya, dalam Kurikulum persekolahan tahun 1994 diperkenalkan mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) yang berisikan materi dan pengalaman belajar yang diorganisasikan secara spiral/artikulatif atas dasar butir-butir nilai yang secara konseptual terkandung dalam Pancasila. Bila dianalisis dengan cermat, ternyata baik istilah yang dipakai, isi yang dipilih dan diorganisasikan, dan strategi pembelajaran yang digunakan untuk mata pelajaran Civics atau PKN atau PMP atau PPKn yang berkembang secara fluktuatif hampir empat dasawarsa (1962-1998) itu, menunjukkan indikator telah terjadinya ketidakajekan dalam kerangka berpikir, yang sekaligus mencerminkan telah terjadinya krisis konsep­tual, yang berdampak pada terjadinya krisis operasional kurikuler. Krisis atau dislocation menurut pengertian Kuhn (1970) yang bersifat konseptual tersebut tercermin dalam ketidakajekan konsep seperti: civics tahun 1962 yang tampil dalam bentuk indoktrinasi politik; civics tahun 1968 sebagai unsur dari pendidikan kewargaan negara yang bernuansa pendidikan ilmu pengetahuan sosial; PKN tahun 1969 yang tampil dalam bentuk pengajaran konstitusi dan ketetapan MPRS; PKN tahun 1973 yang diidentikkan dengan pengajaran IPS; PMP tahun 1975 dan 1984 yang tampil menggantikan PKN dengan isi pembahasan P4; dan PPKn 1994 sebagai penggabungan bahan kajian Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang tampil dalam bentuk pengajaran konsep nilai yang disaripati­kan dari Pancasila dan P4. Krisis operasional tercermin dalam terjadinya perubahan isi dan format buku pelajaran, penataran guru yang tidak artikulatif, dan fenomena kelas yang belum banyak bergeser dari penekanan pada proses kognitif memorisasi fakta dan konsep.
Tampaknya semua itu terjadi karena memang sekolah masih tetap diperlakukan sebagai socio-political institution, dan masih belum efektifnya pelaksanaan metode pembelajaran serta secara konseptual, karena belum adanya suatu paradigma pendidikan kewarganegaraan yang secara ajeg diterima dan dipakai secara nasional sebagai rujukan konseptual dan operasional.
Keadaan ini mirip dengan situasi yang juga pernah dialami di Amerika Serikat, dimana “Civics, Civic/Citizenship Education, Social Studies/Social Science Education” sejak kelahirannya tahun 1880-an sampai dengan terbitnya dokumen akademis NCSS (1994) “Curriculum Standards for Social Studies: Expectations of Excellence”. Tampaknya mereka kini telah berhasil mengatasi krisis konseptual dan kurikuler. Setidaknya mereka kini telah mencapai suatu konsensus akademis dan programatik yang pada gilirannya akan memandu terjadinya proses kurikulum yang lebih koheren.
Bagi Indonesia konsensus serupa sangatlah penting dan didambakan untuk mendapatkan paradigma yang cocok mengenai pendidikan bidang sosial di sekolah. Namun sampai dengan saat ini rasanya belum juga tercapai. Sampai dengan saat ini sesuai dengan kurikulum persekolahan tahun 1994, terdapat tiga jenis pendidikan bidang sosial yakni Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang diwajibkan untuk semua jenis, jalur dan jenjang pendidikan; Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) sebagai bendera dari kelompok mata pelajaran ilmu bumi, sejarah nasional, dan sejarah umum pada jenjang pendidikan dasar; dan mata pelajaran sosial yang berdiri sendiri secara terpisah seperti geografi, sejarah, ekonomi, sosiologi, antropologi, dan tata negara di sekolah menengah.
Dalam upaya mencari kesepakatan, yang kalau bisa dapat melahirkan “curriculum standards” seperti di Amerika Serikat, ada beberapa pertanyaan yang perlu dicari bersama-sama jawabannya, antara lain: Tujuan pendidikan nasional yang mana yang secara logis seyogyanya menjadi garapan utama bidang pendidikan sosial ? Bagaimana paradigma dasar bidang pendidikan sosial di sekolah ? Bila bidang pendidikan sosial itu perlu diwadahi oleh lebih dari satu mata pelajaran, bagaimana menetapkannya ? Bila telah ditetapkan adanya beberapa mata pelajaran sosial di sekolah bagaimanakah keterkaitannya satu dengan yang lainnya ? Dan bagaimanakah jati diri dari masing-masing mata pelajaran itu sehingga benar-benar memiliki keunikan yang nantinya harus dapat dilihat dari visi, missi, dan strateginya
Untuk menjawab semua pertanyaan tersebut, tampaknya perlu diadakan pengkajian khusus terhadap perkembangan pemikiran mengenai pendidikan kewarganegaraan di Indonesia sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 sampai dengan tahun 1999 sebagai titik akhir abad ke 20. Hal itu dapat dilihat dari cita-cita, konsep, nilai, prinsip yang secara konseptual tersurat dan atau tersirat dalam berbagai dokumen resmi, yang memang merupakan pilar-pilar pendidikan nasional Indonesia, sebagaimana dituangkan dalam buku “Lima Puluh tahun Perkembangan Pendidikan Indonesia” (Djojonegoro:1996), dan berbagai dokumen resmi lainnya sejak tahun 1995 sampai sekarang.
Di dalam teks Proklamasi, yang merupakan rumusan “the highest political decision” bangsa Indonesia, pada kalimat pertama dengan tegas dinyatakan “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia”. Dengan proklamasi tersebut berarti kita pada saat itu memasuki kehidupan bermasyarakat-bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Selanjutnya di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang disyahkan oleh dan dalam Rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945, selain ditegaskan kembali tentang pertimbangan pokok dan pernyataan kemerdekaan Indonesia, sebagaimana tersurat dalam alinea pertama, kedua, dan ketiga, juga dinyatakan tujuan dan dasar negara Indonesia, sebgaimana tertuang dalam alinea keempat. Dalam alinea tersebut dengan tegas dinyatakan bahwa pemerintah negara Indonesia dibentuk untuk: “…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abdi dan keadilan sosial,…” (Republik Indonesia, 1945 dalam BP7 Pusat:1994). Jika dikaji dengan cermat, tujuan yang ketiga, yakni “…mencerdaskan kehidupan bangsa”, secara tersirat mengandung arti bahwa kehidupan yang perlu dibangun itu adalah kehidupan masyarakat-bangsa Indonesia yang cerdas.
Sebagaimana lebih jauh ditegaskan dalam alinea tersebut, kehidupan masyarakat-bangsa tersebut ditata dengan Undang-Undang Dasar negara Indonesia, dalam susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat. Di situ juga tersirat bahwa negara Republik Indonesia adalah negara demokrasi yang berdasarkan hukum. Lebih lanjut ditegaskan bahwa yang menjadi dasar kehidupan masyarakat-bangsa Indonesia adalah :”Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Dengan kata lain, kehidupan masyarakat-bangsa Indonesia yang hendak diwujudkan adalah masyarakat-bangsa yang cerdas, religius, adil dan beradab, bersatu, demokratis, dan sejahtera. Karakteristik internal-konseptual masyarakat tersebut, pada dasarnya sangat koheren dengan konsep dan nilai “masyarakat madani”.Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, maka “Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran”, dengan “mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang” (Pasal 31 UUD 1945). Di dalam pasal tersebut tersirat adanya upaya yang sengaja untuk mengembangkan warga negara yang cerdas, demokratis , dan religius, yang secara programatik merupakan tujuan dan missi dari pendidikan kewarganegaraan dalam arti yang sangat luas, atau “citizenship education” menurut Cogan (1996). Penegasan mengenai tujuan dan missi tersebut secara konsisten terus dipertahankan dalam berbagai dokumen resmi yang berkenaan dengan pendidikan di Indonesia, seperti akan dibahas lebih lanjut dalam uraian berikutnya.
Di dalam usulan yang diajukan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat atau BP KNIP tanggal 29 Desember 1945 (Djojonegoro,1996:73) ditekankan bahwa “1. Untuk menyusun masyarakat baru perlu adanya perubahan pedoman pendidikan dan pengajaran. Paham perseorangan yang pada saat itu berlaku haruslah diganti dengan paham kesusilaan dan peri kemanusiaaan yang tinggi. Pendidikan dan pengajaran harus membimbing murid-murid menjadi warganegara yang mempunyai rasa tanggung jwab” (Cetak miring dari penulis). Kemudian oleh Kementrian PPK dirumuskan tujuan pendidikan “…untuk mendidik warga negara yang sejati yang bersedia menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk negara dan masyarakat”, dengan sifat-sifat sebagai berikut. ”Perasaan bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa; Perasaan cinta kepada alam; Perasaan cinta kepada negara; Perasaan cinta dan hormat kepada ibu dan bapak; Perasaan cinta kepada bangsa dan kebudayaan; Perasaan berhak dan wajib ikut memajukan negaranya menurut pembawaan dan kekuatannya; Keyakinan bahwa orang menjadi bagian tak terpisah dari keluarga dan masyarakat; Keyakinan bahwa orang yang hidup dalam masyarakat harus tunduk pada tata tertib; Keyakinan bahwa pada dasarnya manusia itu sama derajatnya sehingga sesama anggota masyarakat harus saling menghormati, berdasarkan rasa keadilan dengan berpegang teguh pada harga diri; dan Keyakinan bahwa negara memerlukan warga negara yang rajin bekerja, mengetahui kewajiban, dan jujur dalam pikiran dan tindakan.” (Djojonegoro, 1996:75-76)
Dari semua karakteristik tersebut, karakteristik perasaan bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa, cinta kepada negara, cinta kepada bangsa dan kebudayaan, berhak dan wajib ikut memajukan negaranya, keyakinan hidup tak terpisah dari keluarga dan masyarakat, keyakinan harus tunduk pada tata tertib, keyakinan sama derajat dengan sesama anggota masyarakat, mengetahui kewajiban, dan jujur dalam pikiran dan tindakan, pada dasarnya termasuk ke dalam bingkai tujuan dan missi pendidikan untuk pengembangan warga negara yang cerdas, demokratis, dan religius, yang merupakan garapan dari bidang pendidikan kewarganegaraan.
Hakikat tujuan pendidikan tersebut, di dalam Undang-Undang No.4 tahun 1950, Bab II,Pasal 3 (Djojonegegoro,1996:76) dirumuskan menjadi “ membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air”. (Cetak miring dari penulis). Disitu pun, hakikat pengembangan warga negara yang “cerdas, demokratis, dan religius” secara konsisten dipertahankan.
Di dalam kurikulum atau Rencana Pelajaran Sekolah Rakyat tahun 1947, walaupun hakikat tujuan membentuk warga negara yang cerdas,demokratis, dan religius itu sudah ditegaskan, ternyata tidak diwadahi oleh mata pelajaran khusus dengan nama semacam kewarganegaraan, tapi tampaknya diwadahi oleh mata pelajaran Didikan Budi Pekerti mulai dari kelas I s/d VI , dan Pendidikan Agama mulai kelas IV s/d VI. Di dalam Kurikulum SMP tahun 1962 juga hanya diwadahi oleh Budi Pekerti yang diintegrasikan kedalam semua mata pelajaran dan usaha sekolah, mata pelajaran Agama yang diatur oleh Kementrian Agama, dan Kelompok Pengetahuan Sosial yang mencakup Ilmu Bumi dan Sejarah. Sedangkan di dalam Kurikulum SMA tahun 1950/1951, kelihatannya diwadahi oleh mata pelajaran Tata Negara, Sejarah, dan Ilmu Bumi. (Djojonegoro,1996:96-100)
Pada tahun 1954 dikeluarkan Undang-Undang no12 tahun 1954 tentang dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah, yang pada dasarnya merupakan pemberlakuan kembali UU No 4 tahun 1950 di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam kurun waktu berlakunya undang-undang tersebut terbit Keputusan Presiden RI No.145 Tahun 1965, yang isinya antara lain menetapkan tujuan pendidikan nasional untuk “…melahirkan warga negara sosialis, yang bertanggung jawab atas terselenggaranya Masyarakat Sosialis Indonesia , adil dan makmur baik spirituil maupun materiil dan yang berjiwa Pancasila …” (Djojonegoro,1996:103). Tujuan tersebut, tampaknya bersifat ambivalen karena menekankan pada pengembangan warga negara sosialis, dan yang berjiwa Pancasila, dan memberi indikasi masuknya paham komunisme, yang memang pada saat itu masuk melalui PGRI non-vak sentral yang beraliran kiri. Pada era inilah di SMP dan SMA muncul mata pelajaran “Civics” yang isinya didominasi oleh materi indoktrinasi Manipol USDEK. Walaupun namanya pelajaran Civics, yang mestinya secara programatik mengembangkan civic virtue dan civic culture, dan berorientasi pada pengembangan warga negara yang cerdas, demokratis, dan religius, dalam kenyataanya digunakan untuk kepentingan indoktrinasi penguasa pada saat itu.
Keadaan ini berlangsung sampai tumbangnya pemerintahan Orde Lama dan lahirnya pemerintahan Orde Baru, yang kemudian menerbitkan Kurikulum SD tahun 1968, dan Kurikulum SMP dan SMA tahun 1969. Dalam Kurikulum SD 1968 muncul mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara yang mencakup Ilmu Bumi dan Sejarah Indonesia, dan Civics (Pengetahuan Kewargaan Negara), dan dalam Kurikulum SMP dan SMA muncul mata pelajaran Kewargaan Negara. Mata pelajaran tersebut, serta merta diisi dengan materi UUD 1945 , Ketetapan MPRS/MPR, serta dokumen resmi lainnya dengan misi utama untuk meningkatkan pemahaman terhadap UUD 1945 serta berbagai Ketetapan MPRS/MPR. Keadaan tersebut berlangsung sampai berlakunya Kurikulum SD,SMP,SMA,SPG tahun 1975/1976 (Winataputra:1978).
Jika dianalisis secara cermat, baik ide, instrumentasi, maupun praksisnya, walaupun namanya sudah menjadi Pendidikan Kewargaan Negara, yang dapat diidentikkan dengan Civic Education di Amerika Serikat, nuansa kurikulernya masih kental dengan sifat indoktrinasi dengan sedikit aplikasi pendekatan yang demokratis. Harus dikatakan bahwa pengembangan civic virtue dan civic culture, sesungguhnya belum banyak mendapat perhatian. Keadaan ini juga belum mendapat dukungan kajian akademis yang memadai, karena memang program pendidikan guru pendidikan kewargaan negara yang ada di IKIP/STKIP/FKIP baru saja (mulai tahun 1966) berubah nama menjadi Jurusan/Program Studi “Civic Hukum”, yang kurikulumnya lebih bernuansa pendidikan hukum dan tata negara, ditambah sedikit materi tentang “Civic Education”. Dengan sendirinya penelitian yang ada pun tampaknya belum mendukung berkembangnya paradigma “civic education” yang khas untuk kondisi Indonesia. Oleh karena itu dapat dipahami mengapa kurikulum Pendidikan Kewargaan Negara begitu dengan mudah berubah menjadi Pendidikan Moral Pancasila, tanpa kerangka paradigmatik “civic education” yang secara akademis solid, dan secara pedagogis adaptip untuk Indonesia.
Dalam kondisi belum berkembangnya paradigma civic education untuk Indonesia, pada tahun 1975/1976 muncul mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang visi dan misinya berorientasi pada value inculcation dengan muatan nilai –nilai Pancasila dan UUD 1945. Kondisi ini bertahan sampai disempurnakannya Kurikulum PMP tahun 1975/1976 menjadi Kurikulum PMP tahun 1984, dengan visi dan misi yang sama namun dengan muatan baru Pedoman Pemahaman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila ( P-4) atau Eka Prasetya Pancakarsa, dengan 36 butir nilai Pancasila sebagai muatannya. Namun demikian visi dan misinya masih kental dengan “value inculcation”, yang pada dasarnya merupakan improvisasi dari “unavoidable indoctrination”. Yang perlu dicatat, adalah dengan berubahnya Pendidikan Kewargaan Negara (PKN) menjadi Pendidikan Moral Pancasila (PMP) baik menurut Kurikulum tahun 1975/1976 maupun Kurikulum tahun 1984, pengembangan civic virtue dan civic culture dalam praksis demokrasi, yang seyogyanya menjadi jati diri PKN, berubah menjadi pendidikan prilaku moral, yang dalam kenyataannya lepas dari konteks pendidikan cita-cita, nilai, dan konsep demokrasi. Hal ini terjadi, seperti juga pada perubahan kurikulum 1968 menjadi kurikulum 1975, antara lain karena belum berkembangnya paradigma “civic education” yang melandasi dan memandu pengembangan kurikulumnya.
Keadaan itu ternyata terus berlanjut sampai berubahnya Kurikulum PMP 1984 menjadi Kurikulum Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) tahun 1994, yang walaupun namanya mencakup kajian pendidikan Pancasila dan pendidikan kewarganegaraan sesuai dengan Undang-Undang No 2 tahun 1989, tetapi karakteristik kurikulernya sangat kental dengan pendidikan moral Pancasila, yang didominasi oleh proses value inculcation dan knowledge dissemination.
Hal tersebut dapat disimak dari profil kurikulum PPKn 1994, yang menunjukkan karakteristik sebagai berikut (Depdikbud:1993).
Di SD PPKn bertujuan untuk Menanamkan sikap dan prilaku dalam kehidupan sehari-hari yang didasarkan kepada nilai-nilai pancasila baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat,dan memberikan bekal kemampuan untuk mengikuti pendidikan di SLTP” (Depdikbud,1993:1). Sementara itu di SLTP, PPKn bertujuan untuk Mengembangkan pengetahuan dan kemampuan memahami dan menghayati nilai-nilai Pancasila dalam rangka pembentukan sikap dan prilaku sebgai pribadi, anggota masyarakat dan warga negara yang bertanggung jawab serta memberi bekal kemampuan untuk mengikuti pendidikan di jenjang pendidikan menengah” (Depdikbud, 1994:2). Sedangkan di SMU, PPKn bertujuan untuk Meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan kemampuan memahami, menghayati, dan meyakini nilai-nilai Pancasila sebagai pedoman berprilaku dam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sehingga menjadi warga negara yang bertanggung jawab dan dapat diandalkan, dan memberi bekal kemampuan untuk belajar lebih lanjut ”(Depdikbud, 1994b:2).
Dari analisis terhadap perkembangan pendidikan kewarganegaraan di Indonesia sampai dengan saat ini, dapat dikatakan bahwa baik dalam tataran konseptual maupun dalam tataran praksis terdapat kelemahan paradigmatik yang sangat mendasar. Yang paling menonjol adalah kelemahan dalam konseptualisasi pendidikan kewarganegaraan, penekanan yang sangat berlebihan terhadap proses pendidikan moral yang behavoristik, ketakkonsistenan penjabaran dimensi tujuan pendidikan nasional kedalam kurikulum pendidikan kewarganegaraan, dan keterisolasian proses pembelajaran nilai Pancasila dengan konteks disiplin keilmuan dan sosial-budaya. Oleh karena itu pendidikan kewarganegaraan seyogyanya dikembangkan sebagai pendidikan demokrasi konstitusional Indonesia yang religius dan mencerdaskan (sesuai amanat UUD 1945 dan UU No.20 Tahun 2003) dan bersifat multidimensional dan ditangani secara profesional karena diyakini bahwa “democracy cannot teach itself and it is not inherrited – it is learned as a life-long learning ptrocess” (Gandal and Finn:1996, CIVITAS:2000, Winataputra:2001)
Untuk Indonesia tampaknya pendidikan kewarganegaraan yang bersifat “exclusive and formal” dalam dunia persekolahan dan pendidikan tinggi masih perlu dipertaahankan, namun harus mulai dikembangkan menjadi program pendidikan yang mensintesiskan secara harmonis pendekatan “content-related” dan “process-led” serta “value-based”, yang berarti juga meminimumkan modus “didactic transmission” dan mengoptimalkan penerapan prinsip “participative and interactive”. Dengan kata lain PKn Indonesia yang kini bersifat “minimal” itu seyogyanya dikembangkan menjadi PKn yang “moderate”, sehingga ia berubah dari paradigma “education about democracy” menjadi “education in democracy”. Dalam konteks itu maka kelas PKn seyogyanya dikembangkan sebagai “laboratory for democracy” dan masyarakat sebagai ”open global classroom”. Oleh karena berbagai kegiatan “co-curricular” dan kegiatan “extra curricular”seperti debat publik, praktik belajar, kajian sosial, aksi sosial, dan simulasi dengan pendapat seyogyanya digalakkan karena secara psiko-pedagogis dan sosio-kultural sangat potensial mengembangkan karakter warganegara yang cerdas, partisipatif, dan bertanggungjawab melalui pengembangan aneka ragam “instructional effects” dan “nururant effects” (Winataputra: 1998; 2001, Suryadi:1998, Joyce and Weill:1966)
Untuk memfasilitasi perubahan paradigmatik PKn dari kategori “minimal” ke “moderate” tersebut diperlukan hal-hal sebagai berikut. Kurikulum berbasis karakter yang berorientasi pada pengembangan “civic intelligence, civic participation, and civic responsibility”dalam konteks kehidupan demokrasi konstitusional Indonesia. Aneka ragam pendekatan dan model belajar dan pembelajaran yang mengkombinasikan kegiatan intra, ko, dan ekstra kurikuler dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia sebagai kelas global yang terbuka. Akses yang luas bagi para siswa, mahasiswa, dan pemuda terhadap berbagai sumber informasi tercetak, terrekam, tersiar, dan elektronik. Wawasan, sikap, dan kemampuan para guru, tutor, dosen dalam konteks kehidupan demokrasi konstitusional Indonesia yang sehat.
Untuk kondisi Indonesia pendidikan kewarganegaraan yang bersifat “exclusive dan formal” dalam dunia persekolahan masih perlu tetap dipertahankan, namun harus dikembangkan menjadi program pendidikan yang mengkombinasikan “content-related” dan “process-Led” artinya meminimumkan “didactic transmission”dan meningkatkan penerapan prinsip “participative and interactive. Dengan kata lain PKn Indonesia yang “Minimal” seyogyanya dikembangkan menjadi PKn yang “moderate” sehingga ia mulai berubah dari “education about democracy” menjadi “education in democracy”. Belum perlu kita berangan-angan melompat ke “education for democracy” karena memang proses pendidikan bersifat “developmental” sejalan dengan perkembangan individu dan masyarakatnya. Untuk menuju kepada PKn sebagai “ education in democracy” yang religius dan mencerdaskan diperlukan hal-hal sebagai berikut:
• Kurikulum yang berorientasi pada pengembangan “civic intelligence, civic participation, and civic responsibility” bukan yang berbasis kompetensi dalam arti sempit terbatas pada prilaku yang secara “behavioral” terukur. Karena itu KBK seyogyanya diartikan sebagai “Kurikulum Berbasis Kepribadian”.
• Model-model Pembelajaran Kreatif dan Demokratis yang memungkinkan peserta didik secara aktip mengkaji gagasan, instrumentasi, dan praksis demokrasi dan berlatih menerapkan konsep dan prinsip demokrasi secara kontekstual sebagai bagian integral dari proses belajar.
• Pelatihan dosen/guru dalam bentuk “site-based workshop” yang memungkinkan para guru secara bersama-sama mempraktekkan model-model belajar yang kreatif dan demokratis itu, kemudian menerapkan model itu dalam koridor “penelitian tindakan kelas”. Dengan cara itu para dosen/guru akan semakin “well educated and trained”
• Aneka bahan belajar bahan tercetak, terekam, tersiar, dan elektronok mengenai PKn yang memungkinkan para peserta didik bukan hanya memahami substansi tetapi juga melakukan penerapan substansi dalam konteks yang relevan, termasuk melaksanakan proses demokrasi. Kerjasama antar dosen/guru PKn dengan sumber-sumber keahlian PKn “civic education expert center” seperti Jurusan PPKn di LPTK, LSM dalam dan luar negeri melalui penggunaan jaringan teknologi informasi yang tersedia

DAFTAR PUSTAKA


Budimansyah, Dasim dan Suryadi, Karim . (2008), PKN dan Masyarakat Multikultural, Bandung : Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Pendidikan Indonesia.

Cogan, John J & Derricott, Ray (1998), Citizenship for the 21st Century; an International Presfectives on Education, Kogan Pages.

Sumantri, N. (2005). Menggagas Pembahruan Pendidikan IPS. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Ubaedillah, dkk (2008). Pendidikan Kewargaan. Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah dan Prenada Media Group.

Winataputra, Udin S dan Budimansyah, Dasim (2007), Civic Education: konteks, landasan, bahan ajar dan kultur kelas, Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan, Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia

Winataputra, Udin S (2001), Jati diri Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Wahana Sistemik Pendidikan Demokrasi, Program Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"hadir bukan karena kesempurnaan,tetapi eksis karena sebuah keinginan"